Menulis cerita bukan sekedar selesainya kisah.

Monday, June 25, 2012



tulisan ini murni dari copas catatan mas Handoko F Zainsam yang diposting di grup RUMAH PENA

Selamat menikmati ;)

***

Menulis cerita bukan sekedar selesainya kisah. Namun, bagaimana mampu mengatur emosi, membangun suasana, dan memilih bahasa yang tepat untuk memberikan kekuatan maknanya. 

Mengatur emosi memiliki keterkaitan dengan managemen konflik. Membangun suasana terkait dengan kemampuan deskripsi. Sedangkan, memilih bahasa adalah kepekaan kita untuk menyampaikan perasaan melalui kata.

Ada beberapa orang yang menanyakan perihal kemampuan menyusun bahasa dalam kisah menjadi hal terpenting. Aku bilang tidak sesederhana itu. Kemampuan mengisahkan, jika tidak ditunjang dengan kemampuan mengatur emosi (managemen konflik) dan renungan pesan maka akan terasa hambar.

Hal yang menjadi luar biasa, jika kisah tersebut mampu menciptakan 'theater of mind'. Artinya, kisah tersebut bergerak sendiri ke pikiran dan perasaan pembaca. Dan ini akan senantiasa terkenang dan di kenang. Inilah sesungguhnya kekuatan cerita.

*Loncat sedikit.

Menulis memang memiliki dan tidak memiliki keterkaitan dengan bakat. Aku cuman bilang, taruh dulu seputar bakat. Karena menulis adalah kedisiplinan, ketekunan, dan kepekaan. Di sisi lain menulis adalah terapan dan lakuan. Artinya, ya terus menulis. Untuk menunjang kemampuan menulis adalah membaca. Jangan pernah membatasi terhadap apa yang harus dibaca.

*Balik lagi.
Membangun 'theater of mind' adalah memasukkan rasa atau jiwa dalam kisah. Ini terkait dengan sensitifitas manusia dalam menyikapi dan menikmati perasaan. Plus, ditunjang dengan runutan peristiwa logisnya.

Hal-hal yang paling dasar adalah mampu menggali dan memaksimalkan unsur dasar pembangunan cerita. Di antaranya adalah tokoh dan penokohan (kakter tokoh), runutan peristiwa yang menjadi alur (jalannya cerita), sudut pandang kisah (pola pengisahan), pembangunan suasana atau latar kisah, dan tema cerita.

***

Bagaimana dengan kerangka cerita?
Kerangka cerita adalah sarana bantu. Artinya, bisa dipakai atau ditinggalkan. Ada beberapa kelebihan jika kita menulis kerangka cerita. Dengan adanya kerangka kita akan mampu meletakkan dan mengatur ritme cerita. Termasuk memanagemen konfliknya. Nah, konflik di sini buka sebuah pertengkaran. Namun, kemunculan masalah yang akhirnya menggelindingkan kisah melalui peristiwa-peristiwanya.

Dengan adanya kerangka, ini menghindarkan diri dari munculnya lanturan yang berlebihan. Selain itu kerangka cerita juga akan memudahkan kita menyusun jalannya cerita. Fokus pada kisah yang hendak disampaikan. Dengan kerangka cerita kita juga akan lebih mudah menelusi data-data yang dibutuhkan jika ini diperlukan.

Namun, ketika kata 'harus' pakai kerangka cerita, aku bilang 'tidak harus'. Karena, sekali lagi, kerangka adalah sarana bantu. Jika memang tidak nyaman, maka lakukan seperti biasanya. Mengalir. Namun, jgn lupa untuk membacanya ulang. Akankah masih berada dalam track-nya?

Selanjutnya.
Konsistensi dan logika cerita sangat penting untuk menghindarkam diri dari keluarnya jalur kisah. Seharusnya jika kita mampu meletakkan logika cerita dengan tepat maka akan terhindar dari keluarnya jalur. Hal ini (logika cerita) tentu terkait dengan bagaimana tokoh dan penokohannya. Artinya, dengan karakter tokoh yang terbentuk atau yang melekat, tentu akan memiliki penyikapan yang tetap dalam menyikapi masalah.

Nah, dengan kuatnya karakter tokoh maka konflik akan berjalan mengalir. Jika sampai terjadi tolak belakang dengan karakter tokoh, maka ini akan menyesatkan kisahnya itu sendiri atau inkonsistensi.

Peristiwa juka akan terkontrol jika kita sadar bagaimana karakter tokoh tersebut bersikap atas sebuah masalah.

***

*Loncatan pikiran: 

Di pagi yang beranjak dewasa ini, aku masih saja berkarib dengan rasa malas. Ah, memanjakan tubuh dengan terkapar di sofa memang sangat menyenangkan. Enggan rasanya beranjak dari kondisi yang sangat nyaman ini. Memang, benar ya, rasa nyaman itu jika terusik akan membuat kacau rasa, bahkan hilang mood. Namun, harus bagaimana lagi. Ini namanya tuntutan, ya, sekali lagi tuntutan yang memaksaku harus bangkit.

"Mas banguuunn!"

Huftt. Berisik banget ya.

Ah, barangkali segarnya air yang mengguyur tubuh akan memberikan nuansa lain. Tapi, bagiku kali ini, mandi adalah kegiatan yang sangat membosankan, memuakkan, dan tidak menyenangkan. Meskipun begitu, aku tetap harus mandi. Aku harus mandi. Aku harus...

"Mandiiiiiinnnnnnn!"

Heh?

Lanjut lagi. Tapi ngopi dulu, ah!
Cleguk! cleguk!

***

Pembangunan suasana itu merupakan kepekaan dan kemampuan kita menyimak dan mencermati konsisi sekeliling. Bukan hanya yang terlihat oleh mata, namun juga yang terasa oleh hati. Artinya, dalam pembangunan suasana hal terpenting adalah membuka sega penginderaan kita.

"Eh, ngomong-ngomong, indra kemana ya? Bodo, ah! ngapain juga aku ngebahas indra ya, lha wong indranya aja masih nyungsep di kos."

Lanjut ah,

"Indra itu memang pemalas. Ya, kalau terkait dengan ujian di pagi hari di kampusnya. Welah, pasti bakal ujian susulan. Belum lagi kalo harus pake sepatu ke kampus. Beuh, bisa mbolos saban harinya. Nah, loh! Kenapa juga aku bahas indra lagi ya? hihi..."

Udahan, ah!

Akibat Ikhlas

Sunday, June 24, 2012


~ IKHLAS ~
  Achi TM

            Apa hal yang paling sulit dilakukan dalam hidup kita selain sabar dan menahan amarah? Ya, jawabannya adalah ikhlas. Sekitar 3 bulan yang lalu aku ditinggal pergi oleh seorang karyawan. Rasanya saat itu aku marah sekali. Awal aku menerima dia kerja adalah karena rasa kasihan. Karena rasa kasihan itu pula aku memberi izin kepadanya untuk kembali melanjutkan sekolahnya ke SMA. Ya, ia adalah lulusan SMP yang putus sekolah.
            Singkat cerita, setelah membantu dia untuk mencari tempat kos bersama teman dekatku. Dia pun akhirnya sekolah. Dengan sedikit bantuan dariku yang nilainya tak seberapa. Sebulan pertama sekolah semua baik-baik saja. Pulang sekolah dia masih rajin bekerja sampai malam. Bahkan bila sudah jam 7 malam, ia aku beri izin untuk belajar. Gaji tak pernah aku potong.
            Sampai tiba di bulan kedua, mendadak ia minta berhenti kerja karena alasan capek. Sontak saat itu aku menahan amarah padanya. Aku memberi dia pesangon dan enggan untuk menemuinya lagi. Padahal sekolahnya tepat berada di depan rumah kantorku. Bayangkan, nyaris setiap minggu aku melihatnya dari kejauhan. Begitu juga dirinya, aku menunggu itikad baik dirinya untuk datang dan minta maaf tapi nyatanya hari itu tak pernah tiba. Lama-lama amarah demi amarah menumpuk di dadaku. Sesak. Hingga suatu hari aku merasakan hidupku menjadi sangat susah.
            Honor-honor menulis yang seharusnya turun menjadi tertunda. Kemudian job-job mengajar yang sudah ada di depan mata tiba-tiba lenyap. Kenapa rejeki menjadi susah kudapat? Bahkan perlahan-lahan penyakit menggerogoti badanku. Kepala yang sering pusing dan badan yang sangat lemas. Akhirnya aku pun pergi ke terapis langgananku. Di sana, selain diurut aku aku juga diberikan wejangan-wejangan.
            Di sanalah aku disadarkan kalau selama ini aku tidak ikhlas melepas seseorang yang sudah aku bantu lalu dia pergi. Jika kita mau membantu orang, ikhlaskan saja. Kalau dia pergi biarkan saja, akan ada orang lain yang datang silih berganti. Ketika kita ikhlas dan mau memaafkan, maka rejeki akan datang mengalir dengan cepat.
            Sepulang dari terapis aku segera merenung sendirian di kamar. Menghela napas panjang, mengosongkan pikiran dan mengatakan bahwa aku harus ikhlas. Maka dengan sigap aku mengirim sms kepada mantan karyawanku itu. Aku meminta maaf kalau aku masih sempat marah padanya. Aku mencoba melupakan semua kebaikan yang pernah aku berikan. Ikhlaskan, kosongkan!
            Malamnya, tepat jam 12 dini hari. Salah satu produser sebuah PH meneleponku. Dia memberikan kabar baik bahwa beberapa program yang akan aku tulis segera jalan. Kemudian ia menawarkan pekerjaan pada suamiku. Ini benar-benar keajaiban semua rasa ikhlas! Jam 12 dini hari dia menelpon dan memberikan kabar baik. Tak berhenti sampai di situ, esoknya honor menulis yang ditunggu-tunggu pun turun. Kemudian ada orderan mengajar di suatu tempat dengan nilai jutaan. Aaah… betapa bersyukurnya diriku.
            Hal ini meyakinkan aku bahwa ketika kita ikhlas maka alam semesta akan mendukung semua karier dan impian-impian kita. Aku segera pergi ke kamar dan merenung. Apalagi yang harus aku lepaskan? Sesuatu yang harus aku ikhlaskan….

***
Rumah Pena, 24 Desember 2011

Setelah Ayah Pergi # malam itu

Friday, June 22, 2012



                                         Ayah (5 bulan sebelum beliau meninggal) dan Mama 



2 Tahun setelah ayah pergi aku keguguran.
Janinku baru 3 bulan saat itu. Yang membuat aku sangat sedih adalah kehilangan ini lagi-lagi datang. Aku teringat saat Ayah pergi untuk selama-lamanya. Aku ingat bagaimana malam itu, setelah aku dan suamiku baru saja hendak pergi tidur, kakak iparku datang. Mengetuk pintu dan mengatakan bahwa Ayah sudah sembuh. Rasanya dunia begitu bahagia dan segala beban yang menghimpit terasa lega. Aku dan suami segera berpakaian, kami membungkus Abiy dengan selimut dan bersepeda di tengah malam menuju rumah Ayah.
           Jam 2 malam saat itu. Kami belum punya motor. Kayuhan suamiku terasa berat, setiap gelontor bannya terasa penuh tanda tanya. Keajaiban apa yang tiba-tiba datang sehingga membuat Ayah mendadak sembuh? Padahal baru kemarin, baru kemarin aku dan suamiku menjenguk Ayah. Kutatap mata terakhir Ayah yang penuh dengan berjuta nasihat. Aku tahu mata itu ingin berbicara banyak hal, sinarnya, sorotnya masih penuh semangat tapi apa daya Ayah sudah susah bicara. Bahkan untuk duduk pun tidak mampu!
            Bagaimana aku bisa dengan begitu bodohnya menyangka bahwa Ayah benar-benar sembuh. Saat aku tiba di rumah Mama, aku langsung pergi menyeruak masuk ke dalam rumah. Di sana kakakku tersenyum kecil lalu membisu sambil terus menyapu lantai, kakak iparku mengeluarkan kursi dan menyingkirkan lemari. Ruang tengah menjadi lengang. Pikiranku mendadak kusut dan campur aduk.
              Mana Ayah? Katanya Ayah sudah sembuh?
             Ayah lagi di jalan pulang, jawab kakak iparku tenang. Kutatap kakakku yang masih sibuk menyapu, mengepel, memberikan pengharum ruangan. Ia bekerja tanpa ekspresi tapi aku tahu dia tengah menahan tangis. Mendadak kakiku lemas. Sungguh aku masih memercayai keajaiban itu. Aku terus mendesak kakak iparku. Apa yang terjadi dengan Ayah? Berulang kali ia hanya bilang, Ayah sudah sembuh dan akan pulang ke rumah.
         Ya Allah… apa-apaan ini! Aku terduduk di kasur, menangis sesegukan. Membayangkan situasi terburuk dan aku tak mau mengakui bahwa ini adalah kenyataan. Berkali-kali aku memukuli pipiku, tetap sakit. Suamiku meletakkan Abiy yang masih tertidur di atas kasur kakakku, ia lalu memelukku lembut. Menenangkan aku agar sabar dan ikhlas.
            Sabar untuk apa!? Ikhlas untuk apa?! Aku sewot bukan main. Lalu meyakinkan diri sendiri. Ya… ya… Ayah sudah sembuh, ayah sudah sehat! Besok bisa main lagi sama cucunya. Ya… ya… pasti keajaiban itu datang.
           Kakakku menyuruh aku untuk mandi. Dia minta agar aku menyambut Ayah dengan badan yang bersih. Aku semakin nangis menjadi-jadi. Gila! Ini gila! Rumah sudah bersih, semua orang sudah mandi dan menyambut Ayah. Mengapa menyambut Ayah harus begini? Kenapa tikar harus digelar? Tepat setelah beberapa menit adzan shubuh berkumandang, aku melihat sosok Ayah datang. Dipapah oleh beberapa orang yang asing bagiku. Terbujur kaku. Dibungkus oleh kain batik. Bau harum kucium selintas lalu. Aku melihat Ayah sedang tidur di atas tikar. Aku tahu Ayah sedang tidur saja. Ayah pasti bangun. Aku meraih tangannya, masih hangat. Aku tahu Ayah pasti masih tidur. Bukankah Ayah sudah sembuh?
             Aku menunggu selama beberapa jam, matahari pagi sudah menyibak malam. Kokok ayam pejantan di kejauhan. Satu per satu tetangga berdatangan. Memberikan ucapan bela sungkawa. Kenapa? Ayah hanya tidur. Lihat dia terlihat damai, Ayah terlihat putih padahal kulitnya hitam. Ayah baik-baik saja, kok. Tak perlu ucapkan bela sungkawa. Aku ingin menangis dan meledak tapi begitu melihat Mamaku tersenyum menghadapi semua pelayat, air mata itu mendadak tertelan oleh senyum Mama.
            Mama sudah ikhlas.
        Itulah kenapa Mama bisa tersenyum. Mama tidak menangis. Itulah yang membuat anak-anaknya menahan tangis setengah mati. Tapi aku tak sanggup dan akhirnya meledak. Sebelum ayah dimandikan, berkali-kali aku menciuminya. Berharap dia akan bangun. Berharap ada keajaiban dari negeri dongeng yang sudi bertandang ke rumahku.
            Namun ayah tetap dimandikan. Di luar rumah, tepat di depan masjid yang berhadapan dengan rumah kami. Tubuhnya bersinar ditimpa cahaya. Membuat aku lega dan bahagia. Ayah begitu sempurna dalam kematiannya. Aku masih berharap Ayah hanya mati suri lalu mendadak membuka matanya. Saat Ayah dikafani, aku tak kuasa lagi menatap Ayah. Aku masuk ke kamar. Menangis sejadi-jadinya sampai kemudian kami harus pergi. Untuk mengantarkan Ayah ke tempat istirahatnya yang terakhir.
            Aku tahu aku akan berada di posisi Ayah saat itu. Aku, Mama, Kakakku, kita semua, akan melalui prosesi itu. Ditimbun tanah itu. Dan hanya meninggalkan anak shaleh, amal jariyah serta ilmu yang bermanfaat. Aku terduduk lemas di gundukan tanah yang masih basah. Aku yakin ini masih mimpi… aku berharap bangun. Tapi waktu terus berjalan….
            Aku bisa melalui dua tahun tanpamu, Ayah. Aku bisa melaluinya… meski kerinduan ini dan segala kenangan tentang kita tak akan pernah hilang.
            Dua puluh lima tahun aku mengenal Ayah. Dua puluh lima tahun aku punya ribuan kenangan yang kuingat maupun luput dari ingatanku. Dua tahun aku bisa menerima kepergianmu Ayah. Selama ini aku hanya berpikir kau pergi dinas ke Padang dan entah kapan pulang. Tapi aku salah… kau sudah berpulang ke tempat abadi.
            Malam ini aku mengelus perutku yang sudah kempes. Kosong.
            Dear my angel : baru tiga bulan kita berkenalan. Semoga aku tak butuh dua tahun untuk menerima kepergianmu. Baru tiga bulan kita bertemu di dunia yang berbeda. Semoga kelak kita berjumpa di Surga, Nak. Bersama Atok, Ayah, yang sudah mendahului kita.
            Ya Allah… jika ikhlas adalah sebuah pelajaran yang begitu sulit, izinkan aku untuk mempelajarinya. Lewat cinta kasih-Mu. Dekap Aku…. 


Achi TM
(Rumah Pena - 22 Juni 2012)

renungan : perempuan bekerja di luar

Sunday, June 17, 2012


Saya tahu setiap pemikiran perempuan itu berbeda. Tapi saya mau sharing pemikiran saya saja :) saya dibesarkan oleh mama yang sempat bekerja jadi guru sampai saya kelas 4 SD. Setelah adik kedua saya lahir, mama saya jadi full mother di rumah. Memang, sih, mengurus 6 orang anak bukan perkara mudah *ini kusadari setelah jadi mama* jadi aku bisa maklum kenapa dulu mamaku suka marah sama aku, suka ngomel, banyak aturan dan lain sebagainya. Ayahku hanya PNS, guru di STM 12, skrang SMK 56 Jakarta. Selama hidupnya, seperti PNS kebanyakan, ayah mau kerja banting tulang apa saja selepas mengajar-dengan cara jujur. Mulai dari jualan nata de koko (aku kerja di sini jadi pengemas dan dikasih upah sama ortu), jualan koran (aku kerja jadi loper koran umur 9 thn), jualan air mineral (SMP aku angkat2 galon dan ngedorong pake gerobak ke pembeli), jualan ikan, ternak cacing, jualan parfum, tas, sampai kemudian beliau jadi konsultan pendidikan dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Bahkan alm pernah jadi asisten menteri di awal 2000-an, 4 thn sebelum akhir hayatnya beliau jadi konsultan untuk INS Kayu Tanam.

Ya, jadi cerita ayah terus hehehe*kangen sih*
Intinya, aku dibesarkan dengan kehidupan yang pas-pasan aja. Sederhana. Itu mengapa yang membuat aku pernah bercita-cita jadi orang kaya raya dan punya segalanya. Tapi setelah menikah dan punya anak sepertinya cukup jadi kaya saja tidak perlu raya-raya atau punya segalanya.

Sejak SMA aku sudah berniat ingin jadi penulis. Waktu kuliah sempat juga pengen jadi wanita karir, kerja kantoran, melejit dan punya banyak relasi. Tapi niat itu tak didukung oleh Allah. Akhirnya aku kembali pada niatku semula : Aku ingin jadi PENULIS dan Ibu Rumah Tangga, buka usaha di rumah saja.

Well itu niatku. Tapi barusan baca thread di sebuah forum, kebanyakan perempuan yang komentar justru merasa terkekang apabila tidak bisa kerja di luar rumah. Ada pula beberapa orang yang dibesarkan dari keluarga yang ibu bapaknya kerja, rumah tangga harmonis aja menurutnya tapi menomorduakan soal agama. Ada juga yang anak-anaknya ternyata lebih dekat sama baby sitter. Tapi ada juga pandangan yang mengatakan : kalau kerja di rumah tapi ibu ngga bener-bener ngasuh anak ya sama aja bohong (ini betul). Apa pun itu pandangan mereka...

Aku ingin sekali -kita sebagai perempuan- merubah mind set berpikir kita, bahwa kerja di rumah adalah aib. Bahwa kerja di luar adalah sesuatu yang keren. Apa pun itu, kerja di rumah atau di luar tetap harus menjadikan anak dan suami sebagai prioritas utama. Kalau kerja di rumah juga mengabaikan suami dan anak ya sama juga bohong (merenung sendiri).

Kerja di luar juga bukanlah aib. Ada banyak faktor yang menuntut seorang istri harus kerja di luar. Setiap keluarga punya alasan beda-beda. Apa pun itu, semoga niat kita tetap diluruskan oleh Allah. Sambil terus berdoa, semoga niat kita kerja di luar pun karena Allah ta'ala, bukan hanya karena mau keren-kerenan semata apalagi bila penghasilan yang kita punya hanya digunakan buat mempercantik penampilan semata, berlebih-lebihan supaya bisa dianggap high class.

*hanya renungan malam*
 ·  · 
 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati