Aku Penanam Bibit Kata

Sunday, November 1, 2020

 Terkadang aku merasa, Allah SWT menciptakan aku ke dunia ini memang untuk membimbing penulis-penulis baru. Karena banyak penulis yang semula seperti benih di tanganku, kemudian melesat jauh melintasi awan-awan di angkasa. Aku masih seperti petani yang berdiri di atas tanah, menemukan bibit-bibit baru dan menanamnya. 


Tahun 2007, baru sebulan menerbitkan novel perdana, aku sudah ingin berbagi semangat dan ilmu kepenulisanku kepada banyak orang. Aku membuat pelatihan menulis sendiri. Benar-benar mengurusnya sendiri. Bekerja sama dengan sebuah sekolah, setiap hari ke sekolahan itu untuk promosi dari kelas-ke kelas, tidur di ruangan OSIS, bergaul dengan anak-anak OSIS-nya. FYI, sekolah ini pun bukan almamater aku. Karena saat aku menawarkan ke sekolahan SMA-ku, aku ditolak mentah-mentah. 


Aku masih ingat nama sekolah yang menerimaku untuk mengadakan kelas menulis pertama kali adalah  SMA PGRI 109 Di Tangerang. 3 Bulan lebih persiapan. Mengundang sekolah-sekolah lain juga ikut serta. Biayanya murah meriah hanya 15 ribu saja. Habis untuk bayar narasumber (selain aku ada 2 narsum lainnya), makan siang, snack, panitia dan untung saja dapat sponsor yang mau memberikan notes lucu dan pulpen kepada peserta. 


Ada kepuasa batin saat kulihat ada yang bisa menulis dari sana. Dua di antaranya kemudian menjadi penulis, mencari nafkah dari menulis. Lalu tahun 2009, bersama Alm Ayahku, membentuk RUMAH PENA TALENTA. Pesan ayah, didiklah penulis-penulis baru sehingga mereka menemukan bakat mereka. 


11 Tahun sudah mengajar, nyaris setiap bulan selalu buka kelas. Mulai dari kelas privat, rombongan, atau kelas tertutup. Apa artinya ilmu sudah seluas samudera? Tidak begitu. Justru setiap aku mengajar, aku mendapatkan ilmu baru. Setiap aku mendapat pertanyaan kasus-kasus masalah kepenulisan, aku belajar hal baru. 


Kini aku belajar platform. Setiap hari oprek sana-sini, promo sana sini untuk tahu seperti apa, bagaimana dan celah seperti apa agar bisa sukses di platform-platform lokal. Begitu tahu, aku langsung share ke teman-teman di grupku. Karena aku senang melihat penulis-penulis baru bertumbuh. 


Ada selip haru melihat anak SMP yang dulu datang malu-malu ke Rumah Pena untuk belajar menulis denganku, kini sudah jadi narasumber seminar. Ada semangat baru ketika melihat murid Rumah Pena yang dulu belajar menulis skenario kini sudah memenangkan perlombaan skenario. 


Sungguh, dulu aku bertanya-tanya untuk apa aku dilahirkan Ya Allah? Kini aku tahu, mungkin ini salah satunya. 


Aku mungkin tak pernah Engkau takdirkan jadi penulis melegenda. Tapi jalan-Mu mengijinkanku membuka jalan panjang membentang bagi penulis baru. Jalan mereka yang masih luas di depan sana dengan imajinasi-imajinasi yang masih merekah, segar dan insya Allah membawa ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin dalam naskah mereka. 


Sementara aku mungkin jalan di tempat, renta, penaku menua.

Dua Juta Dalam Doa

Thursday, April 30, 2020


Kebaikan Berbagi akan terus mengalir meski kamu dalam masa sulit. 

            Malam itu, pertengahan Ramadhan tahun 2019. Seorang mahasiswa datang bertamu ke rumah saya, membawa proposal pengajuan donasi santunan yatidonasi.dompetdhuafa.orgm dan dhuafa. Sudah dua tahun terakhir, saya dan suami menjadi donator tetap dalam setiap santunan yang diadakan oleh kampusnya. Namun tahun 2019, adalah tahun terburuk kami dalam keuangan. Kontrak novel saya yang seharusnya dibeli oleh PH dan dibayar April 2019 harus dibatalkan sepihak. PH melanggar perjanjian yang sudah tertera di kontrak dan kami tak punya cukup daya dan upaya untuk mempermasalahkannya ke ranah hokum. Naasnya, kami sudah terlanjur membeli 200 novel dari penerbit yang rencananya akan kami bayar dari uang pembelian right film novel dari PH. Rupanya manusia memang hanya berencana, Allah yang berkehendak. Alhasil kami harus menggunakan uang tabungan kami untuk membayar novel yang sudah terlanjur dibeli.
            Tentu saja, menjual novel dalam waktu singkat bagi saya bukan hal mudah. Saya belum menjadi penulis sehebat itu yang membuka PO Novel dalam sekejap 1000 eks terjual. Semua tabungan digunakan untuk membayar novel ke penerbit, maka biaya hidup sehari-hari kami gunakan dari jualan novel yang sudah dibeli. Saya dan suami adalah penulis freelance. Kami menulis skenario dan buku. Maka harus pandai-pandai mengatur keuangan. Rupanya awal tahun 2019, kami harus salah perhitungan juga.
            Mahasiswa itu masih menunggu di sofa ruang tamu. Saya menghela napas panjang lalu mengambil novel terbaru saya dari dalam kardus besar yang diletakkan di sudut ruang tamu  
            “Tahun ini, saya ngga punya uang. Tapi saya mau sedekah, silahkan bawa 10 novel terbaru saya ini. Harga normalnya 80 ribuan. Kamu jual saja 50 ribuan, mudah-mudahan ada yang mau beli.”
            Awalnya, mahasiswa itu ragu-ragu menerima novel yang saya berikan tapi akhirnya dia menerima dengan optimis. Yakin pasti ada yang beli. Saya hanya minta didoakan semoga rejeki saya dilancarkan. Setelah mahasiswa itu pamit dan menghilang di balik pintu gerbang, saya mengelus perut saya yang mulai membuncit. Ya, bertepatan dengan pembatalan kontrak penerbit saya mendapat sebuah kenyataan jika saya hamil 2 bulan. Masya Allah nikmat mana lagi yang mau kamu dustakan? Saya tetap mensyukuri hadirnya janin ini. Anak ketiga saya. Meski dokter mengatakan bahwa saya kena Toksoplasma dan harus melakukan sesi pengobatan yang cukup mahal setiap pertemuannya. Itu pun tak ada jaminan bayi saya lahir dengan sempurna.
            Tak terbayangkan, berapa banyak tangis saya. Bahkan untuk berobat ke dokter pun saya berjualan macam-macam barang. Suami sedang tidak ada pekerjaan menulis skenario. Bukan berarti ia tak berusaha, sudah sangat keras usahanya tapi entah kenapa setiap program TV yang hendak ia ikuti selalu batal atau gagal. Saya mencoba berbaik sangka kepada Allah. Di sinilah ujian berbagi dimulai. Tapi saya yakin kebaikan berbagi selalu ada. Alhamdulillah, novel itu laku dan semua hasil penjualannya disedekahkan. Allah langsung membayar kebaikan berbagi saya. Seorang sutradara, menawarkan saya untuk menulis novel autobiografi ibunya. Meski dengan harga kecil dan baru dibayar setengah dimuka, tapi cukup untuk saya dan suami melewati sisa ramadhan, idul fitri dan tentu saja membayar zakat.
                
          Namun setelahnya, tak ada lagi pekerjaan menulis yang menghasilkn uang untuk saya dan suami saya. Salah satu klien menulis saya menghubungi saya dua bulan setelah ramadhan, ia mengajak saya untuk menulis artikel di bulletin masjid yang sedang dia buat. Bulletinnya gratis untuk umat, ujarnya. Dia bercerita kalau sedang membuat Rumah Tahfidz, dia menggelontorkan banyak uang untuk itu.
“Umur gue udah 38 tahun, rasanya dunia udah cukup gue raih. Gue lagi mau ‘berdagang’ sama Allah, dagang sama Allah ngga bakalan rugi. Udah saatnya lebih banyak ngeluarin duit buat akherat,” katanya membuat jantungku berdegup kencang.
             Dia memang pengusaha muda yang sukses. Sedekahnya kencang, karena dia tahu kebaikan berbagi tak akan pernah pudar selama hayat di kandung badan. Mendengar ceritanya saya mau sekali ikut berbagi.
              “Jadi berapa harga satu artikelnya, Chi?”
            “Mas, saya juga mau coba ‘berdagang’ sama Allah, mas. Saya akan nulis artikel gratis, mas untuk bulletinnya.”
             “Masya Allah, bener, nih?”
           Saya menjawab, saya sedang tak punya uang lebih. Sebenarnya butuh banget uang hari iu. Makan pas-pasan, buat biaya periksa janin, biaya PKBM anak saya yang homeschooling, biaya kursusnya dan lain sebagainya itu kadang masih kurang. Maka saya sedekah pakai kemampuan saya saja. Alhamdulillah, sudah lebih dari 6 artikel bulletin yang tayang.
       Begitu kita berbagi, maka kebaikan berbagi itu akan segera datang kepada kita. Saya ‘hanya’ sanggup sedekah tulisan tapi Allah SWT membalasnya bertubi-tubi. Pertama melalui tangan beberapa orang, Allah memberikan saya pekerjaan sebagai pembicara/narasumber dalam acara-acara pelatihan menulis. Masya Allah meski hanya dibayar 1,5 juta atau 2 juta sekali isi pelatihan, sudah saya dan suami syukuri. Sebulan bisa 2-3 kali pelatihan menulis. Dengan uang 5-6 juta dan hidup di kota Tangerang, bersebelahan dengan DKI Jakarta tentu uang segitu sangat pas-pasan tapi tetap kami syukuri.




        Puncaknya sampai suatu hari, saya dapat surat peringatan dari PKBM tempat anak saya belajar karena belum melakukan pembayaran selama 6 bulan sebesar 2 juta rupiah. Ya Allah uang darimana sebanyak itu? Ketika keadaan begitu sempit, jumlah 2 juta sangatlah besar. Sementara bayi di kandungan saya sudah siap untuk dilahirkan. Saya meminta keringanan kembali dari pihak PKBM tapi hanya bisa melakukan pembayaran dua kali saja. Akhirnya saya sempat sampaikan di grup orang tua murid bahwa kemungkinan anak saya tidak ikut UAS. Semalaman saya menangis dan memohon kepada Allah. Darimana saya bisa dapat uang 1 atau 2 juta dalam waktu singkat? Allah Maha Besar dengan segala kehendak-Nya.
        Esok pagi selepas shalat shubuh, saya mendapat pesan WA dari admin PKBM kalau biaya PKBM anak saya sudah dibayarkan oleh salah satu orang tua murid yang tidak mau disebutkan namanya. Allahu Akbar. Hati saya menghangat. Pagi itu saya menangis. Saya meminta info siapa nama orang tua murid itu, rupanya memang benar-benar dirahasiakan.
       Hati saya bergetar. Belum pernah saya mendapatkan bantuan sebesar itu. Sungguh saya merasakan dipeluk seolah ‘dipeluk’ oleh Allah SWT. Sangat dicintai. Benarlah memang memintalah dan memohon hanya kepada-Nya saja. Maka saya berdoa, Ya Allah jika engkau memberikan hamba kelebihan rejeki. Maka hamba akan sebarkan kebaikan berbagi ini. Kebaikan harus disebar.

        





       Saya tidak menunggu Allah memberikan kelebihan rejeki untuk menyebar kebaikan itu kembali. Tepat sebelum saya melahirkan, seorang teman meminta bantuan cameramen tim film pendek saya untuk proyeknya. Jika saya mau mengambil keuntungan, saya bisa menjadi makelar. Tapi tidak saya lakukan karena saya yakin jika membuka pintu rejeki orang lain, maka pintu rejeki kita akan dibuka oleh Allah. Tahun 2019, proyek film pendek kami juga mandek karena saya sendiri kesulitan keuangan. Terlebih cameramen saya juga orang tak berpunya yang butuh makan. Maka saya sambungkan keduanya. Masya Allah… kasih sayang Allah tak ada duanya.
       Selang beberapa minggu setelah saya lahiran dan cameramen saya mendapat banyak uang dari pekerjaan barunya. Allah memberikan pekerjaan untuk suami saya. Seorang teman yang sudah lama tak berkabar, mengajak menulis bareng. Hanya dalam kurang dari satu bulan, suami saya mendapatkan proyek menulis bernilai lebih dari 50 juta. Masya Allah kami sudah senang dan bersiap untuk segala rencana jalan-jalan dan pulang kampong.
         Qadarullah, covid-19 datang masuk ke Indonesia di awal bulan Maret. Bertepatan dengan seperempat honor suami saya yang cair. Uang yang semula akan digunakan untuk jalan jalan dan pulang kampong pun harus kami simpan baik-baik. Semakin hari, berita covid-19 semakin mengkhawatirkan. Orang orang terdekat kami mulai mengalami masalah masalah keuangan. Saat inilah, saya teringat pada janji kebaikan yang harus disebarkan ketika mendapat bantuan 2 juta rupiah dari hamba Allah. Maka saya dan suami memutuskan untuk membantu teman-teman dekat dan saudara yang terkena dampak covid-19 ini. 
            Termasuk membantu adik saya uyang merupakan salah satu kontributor artikel di donasi.dompetdhuafa.org untuk melancarkan pernikahannya pada  tanggal 23 April 202 kemarin. Tentu saja tidak banyak karena honor suami pun belum sepenuhnya turun. Meski begitu, kami bersyukur di saat kondisi seperti ini Allah SWT limpahkan rejeki dan kecukupan meski kami hanya diam di rumah saja. Dialah sebaik-baiknya pembuat rencana.
               Yakinlah, dalam keadaan lapang atau sempit, kebaikan berbagi tak pernah kehilangan tempat.  Semakin sering kita menyebar kebaikan, semakin banyak kebaikan yang akan datang pada diri kita. 

 "“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”


#MenebarKebaikan
#LombaBlogMenebarKebaikan
 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati