Yakin Anakmu Baik-Baik Saja?

Saturday, December 14, 2019

Yakin Anakmu Baik-Baik Saja?

Saat anak pertama usia 1 tahun, saya rajin ikut kegiatan parenting. Bukan hanya seminar tapi juga workshop parenting untuk guru guru paud meski saat itu saya belum jadi guru paud. Semua atas dorongan mama saya, katanya supaya saya paham mendidik anak. Saya jalani berbagai seminar dan workshop Alhamdulillah banyak ilmu yang saya dapat untuk membesarkan anak saya.

Anak pertama saya, Abiy Alhamdulillah anak yang mudah dididik. Bisa diajak main mainan edukatif, mampu main puzzle ukuran kecil usia 3 tahun, mampu main catur lawan orang dewasa usia 4 tahun, bisa diatur, bisa dinasehati, bisa diajak diskusi pokoknya lempeeeng.

Waktu punya anak kedua, Arkan, saya sedang sibuk sibuknya jadi narasumber seminar menulis di berbagai tempat. Waktu dia masih menyusui, saya bawa dia kemana mana karena dia tidak mau susu formula. Tapi ketika ada event event pelatihan/penjurian yang mengharuskan saya menginap selama 3 hari bahkan sampai 6 hari, akhirnya saya tinggalkan Arkan. Saat Arkan usia 3 tahun, hampir sebulan sekali saya tinggalkan dia untuk menginap di hotel. Sampai kemudian saya mendapati anak saya main game dan nonton YouTube terus menerus sampai lebih dari 8 jam.

Saya tahu ini kesalahan saya, saya pun mulai mengatur jam dia main game dan mulai berusaha mengajarkan dia mainan edukatif seperti yang dulu saya ajarkan ke abangnya. Tapi dia sama sekali tidak paham cara bermain mainan edukatif, tidak bisa menyusun puzzle bahkan ngga ngerti memasang Lego ukuran besar. Saya mulai stress dan kesal karena dia ngga seperti abangnya. Sempat khawatir kalau dia teernyata anak bodoh 😭😭 Dia tantrum terus menerus.

Jurus menenangkan tantrum ala abangnya sudah saya lakukan yaitu abaikan saja, keinginannya ngga usah dipenuhi kemudian alihkan dengan kegiatan lain. Mengatur Abiy ya semudah itu, paling 10 menit selesai. Tapi tantrumnya Arkan bisa sampai 2 jam dan semua barang dibanting sama dia. Ngamuk luar biasa, kalau abangnya dipeluk sudah tenang, dia dipeluk tambah meradang.

Masalah hape mudah dikendalikan, tidak perlu kaish dia hp. Beres tapi yang terjadi dia gampang marah, uring2an, tantrum, semua kegiatan edukatif di rumah yang saya berikan tak bisa dia lakukan. Bahkan dia tidak suka saya  bacakan buku. Lagi lagi saya membandingkan dengan abangnya.

Ada apa dengan anak kedua saya? Kalau dari yang saya pelajari, ada yang salah dengan perkembangannya. Seharusnya umur 3 tahun dia sudah bisa menyusun puzzle sederhan, bisa menyusun Lego/balok. Akhirnya saya memutuskan untuk tes sidik jari demi mengetahui seperti apa anak saya (meski banyak yang meragukan metode ini) tapi saya terbantu.

Anak saya ternyata tipe anak kinestetik. Kebutuhan nya adalah berlari dengan kaki, bermain dengan tangan, banyak berbicara dengan mulutnya. Psikolognya berkata, kalau mau dia konsentrasi bermain, ajak dia ke taman. Habiskan energinya dulu. Lalu saya terapkan. Setiap hari ke taman, tapi bukan energi dia yang habis melainkan energi saya.

Pulang dari taman, hatinya Arkan riang, masih sanggup dia bermain lagi. Main air, main lari larian dekat rumah dan sebagainya. Malam harinya baru dia agak redup, mulailah saya ajak main mainan edukatif, saya bacakan buku, pelan pelan. Amazing dia mau dan bisa.

Saya senang, setiap hari begitu. Setelah energinya dihabiskan sepanjang pagi sampai sore, malamnya dia memperlihatkan hal hal amazing buat saya. Ternyata dia cerdas. Tapi dia masih tantrum. Kemudian saya ke psikolog kedua, penjelasan nya sama. Anak saya kinestetik, kebutuhan geraknya tinggi tinggal difasilitasi dan berlatih membuat kesepakatan dengannya supaya dia tidak tantrum.

Saya lakukan semua nasehatnya. Karena psikolog kedua susah ditemui (beda kota) akhirnya saya ketemu psikolog ketiga. Kurang lebih sama penilaian mereka, psikolog ketiga ini banyak support saya dan memberikan saya masukan.

3 tahun terakhir yang lumayan melelahkan buat saya. Karena saya harus punya stok seribu sabar hehee. Yang paling berat adalah menurunkan waktu bermain hp/menontonnya. Dari yang 8 jam sehari sekarang hanya 40 menit sehari. Saya tidak pakai metode games Sabtu Minggu karena buat saya susah saya jaga ritmenya.

Saya tidak masukkan Arkan ke PAUD sampai 3 bulan yang lalu ketika usianya 6,5 tahun. Perkembangan Arkan selama belajar dengan saya juga pesat, sudah bisa konsentrasi main Lego (bikin rancang bangun), bisa menggambar, menggunting, menulis sendiri, menari, bernyanyi, berhitung cepat, bahkan dia sekarang bisa bikin animasi (yang dulu saya berpikir Arkan tak mungkin bisa melakukan nya) oh iya dia gampang belajar berenang karena anak kinestetik, di kolam pun ga bisa diam. Main cemplung aja. Makanya suka was was kalau dia berenang sendirian.

Saya tidak susah2 mengajarinya. Cukup bawa dia ke taman, biarkan dia bermain. Atau kita jalan jalan ke Playground, atau main kemah2an, pokonya habiskan energi dia. Saya pernah memberikan 1 buku latihan anak paud dan dia kerjakan dalam waktu 30 menit saja, semuanya benar. Setelah itu dia bosan dan merengek mau pergi ke suatu tempat.

Pada masanya ketika dia puas main main, 3 bulan yang lalu dia minta sekolah ke paud. Saya fasilitasi.

Ayah bunda, kalau menemukan hal hal janggal seputar perkembangan anak bunda segera teliti apa yang salah. Yang pertama harus dilakukan adalah tarik ponsel dari tangannya. Meski dia hanya mendengar video klip atau lagu lagu saja di hapenya, tapi kalau dilakukan terlalu lama justru menghambat perkembangan nya. Ada 6 aspek perkembangan anak dan semua ada waktu waktunya. Kalau anak tidak berkembang saat waktu yang ditentukan, jangan termakan ucapan orang : setiap anak berbeda perkembangan nya.

Ya memang tiap anak berbeda perkembangan nya, tapi ada batas waktu maksimal yang harus diperhatikan. Apakah anak saya baik baik saja? Normalkah? Turunkan ego bunda, tepiskan rasa malu dan gengsi. Pergilah ke psikolog. Tidak mahal kok, akan lebih mahal rasanya kalau kita telat memfasilitasi tumbuh kembang anak kita. Apalagi langsung menitipkan anak ke sekolah TK tanpa mendampingi proses tumbuh kembangnya.

Setiap anak berbeda dan istimewa'


Saya Tidak Memaksa Anak Saya Untuk Berbagi

Friday, August 16, 2019

Saya Tidak Memaksa Anak Saya Untuk Berbagi

"Ayo, dek mainannya dikasih pinjem temen kamu. Kamu jangan pelit."

Si adek tidak mau tapi tetap dipaksa berbagi oleh orang tuanya. Kasus lain.
"Kaka kan minta makanan kamu, ayo dibagi," lalu tanpa ijin sang adek, ibu langsung membagi dua makanan yang notabene milik si adek.

Saya pikir dulu, mengajarkan anak berbagi harus sejak usia dini. Kalau perlu sejak dia usia 1 tahun. Tapi ternyata setelah belajar parenting di komunitas HS, terkuaklah bahwa anak usia 1-3 tahun tidak perlu diajarkan berbagi. Karena fase umur itu adalah fase mereka egois dengan barang mereka sendiri dan sebaiknya biarkan mereka puas merasa memiliki. Cmiiw ya soal fase ini.

Ketika anak kedua saya berumur 4 tahun saya baru dapat ilmu ini. Cara cara saya mengajarkan anak pertama saya berbagi, ternyata salah. Akhirnya saya terapkan ilmu baru pada anak kedua saya. Apa itu?

Yaitu belajar kepemilikan. Wah bagi saya ini ilmu baru soal kepemilikan. Hal yang disepelekan tapi rupanya punya dampak besar.

Jadi sejak kecil jangan langsung diajarkan harus berbagi tapi ajarkan kepemilikan.

Ini makanan kamu. Ini milik kamu. Kamu boleh membaginya dengan orang lain boleh tidak.

Ini mainan kamu. Ini mainan kakak.
Itu barang ibu. Itu barang kakak.
Kalau kakak minta makanan kamu dan kamu tidak mau kasih, kakak tidak boleh memaksa. Begitu juga sebaliknya. Selama 1-2 tahun pertama dia ogah berbagi sama orang lain. Tidak apa apa batin saya, dia belajar menikmati kepemilikan dia dulu.

Efeknya ternyata luar biasa buat anak kedua saya. Di umur dia ke-5 saya terkaget-kaget melihat dia begitu mudahnya berbagi pada orang lain. Kalau beli susu kotak dia beli 3, untuk dirinya untuk kakak dan untuk sepupunya. Minggu lalu, teman lama datang ke rumah bawa bayinya. Karena gemas dengan si dedek, anak kedua saya langsung ambil boneka kesayangan nya dan dikasih ke si dedek Bayi itu..benar benar dikasih. Syok sekaligus takjub melihatnya. Padahal setahun lalu, minjemin mainan ke teman aja pelit banget.

Lalu esoknya lagi dia jajan dengan uang THR nya dan dia bagi bagi makanan ke temannya. Lalu berbagi mainaan ke teman ke abangnya. Dan saya bahagia mengetahui kenyataan bahwa saya tak perlu memaksa dia untuk berbagi.

Manfaat lain dari belajar kepemilikan. Dia merasa memiliki kamarnya, maka saat kamarnya kotor dia rapihkan sendiri, dia sapu dan dia ganti sprei sendiri tanpa disuruh. Dia juga merapikan mainan sendiri dan menatanya. Karena dia merasa itu miliknya maka secara fitrah dia pasti akan merawat apa yang jadi miliknya.

Kalau dia merusak milik orang lain dia harus ganti rugi sesuai kesepakatan dengan orang yang barangnya dia rusak. Soal belajar ganti rugi ini juga mengajarkan dia buat tanggung jawab dan akan berhati hati sama barang orang.

Manfaat belajar kepemilikan lainnya adalah, jadi mudah mengatur dia main gadget.

Ini, kan ponsel mama. Mama yang punya hak mau berapa lama kasih pinjam kamu. Jadi kalau kita belikan gadget buat anak, wajar kita akan susah kendalikan mereka karena itu, kan milik mereka. Secara naluri mereka akan masa bodo aja, bebas dong punyaku. Kalau kita rampas gadget milik mereka, mereka akan terluka karena merasa hak miliknya dirampok.

Dengan belajar kepemilikan mudah mengatur anak kedua saya untuk tidak lari larian di rumah orang lagi.

Ini rumah orang bukan rumah kamu. Kalau ada barang rusak kamu harus ganti rugi. Meski kadang buat bagian ini dia akan jawab : aku larinya hati hati kok. Hufft masih sulit bagian ini. Tapi setidaknya sudah bisa lebih dikontrol.

Dia juga tidak akan mengambil barang orang lain tanpa ijin. Karena dia tahu nikmat nya memiliki maka dia juga akan paham rasanya kalau milik dia diambil paksa.

Jadi jangan paksa anak anda berbagi dengan orang lain kalau dia belum mau berbagi. Cukup kita iklan kan sifat berbagi itu dari sikap kita, anak pasti akan mencontoh perilaku kita. Biarkan anak berbagi dengan bahagia.

Catatan Homeschooling 2 : SUDAH SETAHUN HOMESCHOOLING, INI GAYA SAYA.

Monday, August 5, 2019

Saya memutuskan untuk tidak menyekolahkan anak-anak kembali alias Homeschooling tepat 1 tahun yang lalu. Tak terasa ya, satu tahun penuh dengan segala cerita naik turun hehehe. Memutuskan untuk HS itu tidak mudah, galaunya saja bertahun-tahun. Setelah mantap HS pun masih sering diterpa oleh kebimbangan, belum lagi kalau teman bertanya kenapa HS? Terus komentari : sayang banget anaknya berhenti sekolah. Atau orang tua dan mertua yang masih sesekali meminta anak-anak buat sekolah. Tapi apa pun itu saya dapat jawaban dari seorang psikolog.

Kalau ditanya kenapa HS? Jawab saja karena ini pilihan cara belajar saya dan anak-anak.

Sudah, tak perlu dijelaskan karena begini begitu. Dijelaskan seperti apa pun kalau orang tidak menerima konsep HS pasti akan menentang dan hanya akan mencari debat. Saya menghindari perdebatan. Intinya sekolah itu bagus, HS itu bagus. Metode mana yang tepat untuk diterapkan pada keluarga dan anak-anak itu adalah pilihan setiap keluarga. Karena setiap keluarga punya metode mendidik yang berbeda-beda. Saya tidak mau jelek-jelekin orang yang sekolah karena saya tahu, ada anak-anak yang memang cocok dengan konsep sekolah.

Sayang sekali, sejauh ini anak-anak saya belum menemukan sekolah yang cocok dengan karakter mereka. Ya, sebelum HS saya konsultasi ke 3 psikolog dan menemukan karakter-karakter anak saya yang tersembunyi. Yang sebenarnya saya tahu tapi saya baru NGEH setelah diselepet sama psikolog wkwkwkw.

Ada pertanyaan yang nonjok banget dari salah satu psikolog saya : emang kamu HS-in anak buat apa?

Saya jawab : Ya buat mengembangkan bakat anak-anak saya.
Psikolog : Misalkan anak-anakmu bakatnya main piano, kamu asah terus main piano dia sampai dia jadi masternya master piano, terus apa? Gimana kalau 20 tahun lagi ternyata pemain piano ngga diperlukan? Gimana kalau ternyata 20 tahun lagi, penulis, pemusik, tukang masak dll digantikan sama robot atau mesin?

Makjleb banget saya bingung jawabnya. Diskusi-diskusi selama beberapa hari sampailah saya pada sebuah kesimpulan bahwa mendidik anak sesungguhnya adalah membuat anak mampu Akil Baligh dengan sempurna. Anak mempunyai daya juang, ngga baperan, bisa bermasyarakat dengan baik, mandiri, bisa mengelola emosi dll. Nah sikap-sikap begitu yang harus diutamakan. Dengan anak punya daya juang, dia akan berjuang untuk beribadah, belajar, memperbaiki diri dll.

Jadi fokus saya HS selama setahun ini saya tidak membuat jadwal macam-macam. Untuk Abiy (11th) saya masukkan dia ke PKBM, karena tuntutan ortu dan mertua tetap mau dia punya legalitas. Belajar di PKBM online yang hanya seminggu 3 kali @2 jam. Ujian tengah semester ada, ujian akhir semester juga ada.

Selain urusan belajar di PKBM, saya ngga menuntut Abiy belajar keras. Dia lagi suka bikin game sederhana (coding) dan animasi setahun ini, ya, saya biarkan saja dia kembangkan kesukaannya sambil setiap hari melahap buku-buku. Konsentrasi saya adalah di daya juang dia dan adiknya. Abiy jadi bisa masak sendiri, kalau lapar dan mamanya tidak sempat masak, dia masak telur sendiri. Setahun ini inisiatif dia meningkat, rumah berantakan dia rapihkan, ada yang tidak beres dia bereskan, Abiy juga hanya ikut kursus badminton dan tahsin. Tidak ada jadwal khusus yang membuat saya sebagai ibunya pusing wkwkwkw. Makanya ini HS yang santai buat saya.

Karena saya tidak memindahkan sekolah ke rumah tapi menciptakan kebahagiaan belajar di rumah.
Abiy tetap main game dan nonton youtube dengan syarat : harus mandi sebelum jam 8 pagi, sebelum jam 1 siang harus setor resensi buku yang dia baca. Ya saya mewajibkan dia menulis resensi pendek setiap hari dan menerjemahkan 3 kata bahasa inggris dari kamus Inggris-inggris, bukan kamus Indonesia-Inggris. Sejauh ini baru itu saja tugas pribadi dari saya. Tugas-tugas PKBM dikerjakan menjelang UTS dan UAS saja.

Begitu juga dengan adiknya, Arkan. Kalau dia mau sesuatu dia harus berjuang. Misal dia mau mainan A, harga 50 ribu. Saya iyakan dengan syarat kamu harus kumpulkan 20 bintang dari mama, satu bintang harganya 2500. Bintang bisa didapat setelah dia mengerjakan Logico (search aja ya di google apa itu logico wkwkwk). Dia yang kinestetik mau dong mengerjakan logico yang mengharuskan konsentrasi. Wuih awalnya susah bikin dia konsen, 5 bulan pertama treatmentnya adalah diikutkan kelas lego. Karena Arkan ini kinestetik banget. Sampai kemudian bulan 6 HS barulah ketahuan dia suka menggambar dan JAGO meniru gambar. Masya Allah. Jadilah saya fasiitasi dia kertas berim rim dan spidol banyak-banyak.

Awalnya susah membuat syarat-syarat ini karena kita sebagai orang tua harus konsisten dengan ucapan kita dan harus TEGA melihat anak menangis, kecewa, sedih ketika dia tidak bisa memenuhi syarat dari kita. Karena hidup itu kan memang berjuang wkwkwkw. Arkan ini karena kinestetik dan masih 6 tahun, masih suka tantrum awalnya. Saat main game hanya dibatasi 50 menit sehari dia ngamuk-ngamuk, wah butuh 2 bulan buat konsisten dengerin dia ngamuk sampai akhirnya ya... saat kita bilang waktu habis. Semua langsung nutup ponsel/laptop dan berhenti main game.

Duh banyak banget yang mau diceritakan soal HS ini. Perjalanan 1 tahun kayaknya ngga cukup hanya dijabarkan di satu post wkwkw. Tapi saya malas ngisi blogspot sih. Ini aja maksain pengen nulis nulis biar ngga lupa huhuhu.

Dari hasil finger print, Arkan ini ternyata mudah sekali meniru dan kinestetikm jadi kalau mau mengajarkan dia suatu hal, buat energinya habis dulu (kata salah satu psikolognya). Akhirnya ya kami lebih sering jalan-jalan hampir setiap hari minimal ke taman-taman kota Tangerang, thanks pak Walikota udah bikin banyak taman di Tangerang. Memfasilitasi Arkan. Sehari 1-2 jam buat main-main sampai capek, lalu main lagi di rumah, main pasirlah, minta diajarin masak telurlah, minta masak donatlah, pokoknya dia harus capek. Malamnya baru bacain Arkan buku.

Arkan ini kalau dibacain buku selalu kabur-kaburan, ngga kayak abangnya, jadi saya harus sabar habisin energi dia. Alhamdulillah dengan metode habiskan energi dia di pagi-sore, maka malam harinya dia bisa konsentrasi buat dengerin buku meskipun yaa awalnya dia bosan. Lambat laun, dia ngga bisa tidur kalau belum dibacakan buku. Membacakan buku membuat dia penasaran sama huruf, dan dia pun mulai menanyakan huruf huruf namanya. Saya hanya menuliskan nama ARKAN di atas kertas dan dia meniru hanya dengan sekali goresan, saya saja melongo melihatnya.

Padahal ABC-Z dia belum hapal wkwkw cuma modal meniru. Nah modal inilah yang saya nikmati, dia beljar banyak dari jalan-jalan. Belajar huruf, angka, warna dari jalan-jalan. Belajar mneghitung duit dari uang ampao lebaran dan semalam saya syok saat dia mengerjakan soal penambahan dan pengurangan matematik dengan cepat dan jawabannya BENAR. Wkwkwkw... jadi 2 tahun lalu saya membeli buku tambah2an dan pengurangan tapi Arkan ga tertarik sama sekali. Tiba-tiba sekarang dia tertarik sama hitung-hitungan. WOWWW.... terima kasih ampao lebaran.

Jadi semakin percayalah saya bahwa setiap anak sudah ada fitrah belajarnya masing-masing. Fitrah belajar baca-tulis dan matematika Arkan muncul saat usianya 6,5 tahun. Kalau di TK sudah TK B itu, wkwkwkw... tapi saya tidak mengajarkan. Saya hanya menyediakan fasilitas, seperti Logico itu permainan logika dan dasar menulis membaca adalah bermain logika bukan? Thanks Logico (bukan ngiklan karena ngga jualan hahahaha)

Intinya, saya mencoba memahami karakter belajar anak-anak saya. kalau Abiy lebih konsentrasi belajar dalam ketenangan dan kenyamanan, dia tipe anak rumahan. Beda sama Arkan yang hobinya main keluyuran di komplek dan pengen selalu main ke taman karena butuh menghabiskan energinya. Pernah berminggu-minggu Arkan setiap hari hanya menari ratoe jaroe dari meniru gerakan Asean Games dan saya biarin aja, sih. Asal dia capek wakakakaka.... dan dia belajar hal-hal lain dalam setiap kegiatannya.

Sekarang dia bilang mau belajar baca Al-Qur'an wah saya sambut dong langsung deh ajakin hapalan, belajar Iqro. Sejak 2 tahun lalu saya coba ajarin dia tapi dia kabur-kaburan terus, ya sudah saya hanya memberikan contoh nikmatnya baca Al-Qur'an. Lama-lama dia merasa itu nikmat dan kepengen belajar. Kalau soal shalat, dia peniru ulung, jadi rajinlah ke masjid meski banyakan mainnya. Toh belum 7 tahun. Tapi beberapa bulan lalu, abangnya sudah mulai mengajarkan dia berwudhu dan gerakan shalat dengan benar, beberapa kali juga saya melhat mereka shalat berjamaah. Duh... emak santai beud deh. Karena Abang Abiy sudah bisa mengajarkan adik.

Abang Abiy juga yang mengajarkan adik bikin telur dadar enak, ngajarin adik main badminton, ngajarin adik shalat, ngajarin adik bikin animasi wkwkwkw... asyiknya :D

Ya, baru segini perjalanan HS saya. Masih panjaaang euy. Saya termasuk mama yang susah bikin worksheet  atau program program apalah. Kalau ada buku aktifitas yang bisa dibeli ya beli. Karena pekerjaan menulis saja sudah menyita waktu dan tenaga, belum lagi kegiatan menjadi narasumber di sana sini, kegiatan bikin proposal dll. Alhamdulillah sih semua bisa dilakukan di rumah, kalau lagi jadi narasumber di beberapa tempat ya saya ajak anak-anak, karena mereka juga HS. Pekerjaan suami juga menulis naskah, jadi fleksibel deh kemana-mana. Alhamdulillah setelah 4 tahun menolak HS, suami tahun kemarin akhirnya juga mantap buat HS-in anak-anak.

Satu hal yang saya rasakan luar biasanya HS. Saya dan suami juga dituntut buat belajar, dituntut untuk menjadi lebih baik lagi, belajar parenting lagi lebih giat, belajar sabar, dan yang terpenting adalah belajar menciptakan suasana BAHAGIA di rumah. Kalau nanti Abiy SMP/SMA mau HS jugakah?

Wah itu belum tahu... tergantung Abiy-nya dan perkembangan dia selanjutnya bagaimana. Kalau ada sekolah yang cocok buat karakternya dengan harga terjangkau ya bolehlah. Kebanyakan sekolah bagus sedikit kan biaya masuknya aja 30 juta wkwkwkw....

Ternyata nulis 1 blog ini 30 menit. Seharusnya saya bisa lebih rajin ngeblog, nanti kalau ada momen momen lain yang saya ingat, saya akan share. Terima kasih sudah baca blog saya ^^ 
 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati