Antara
Anne Shirley dan Sebuah Novel Islami Yang (menurut saya) biasa banget.
Saya bukan pembaca buku yang pandai.
Dulu waktu kecil, cita-cita saya ada 2, ingin menjadi komikus dan sastrawan.
Akan tetapi referensi bacaan saya sedikit sekali, maklum Alm. Ayah saya guru
SMK yang Insya Allah jujur, dengan 5 anak kecil yang harus dibesarkan, membeli
buku termasuk hal mewah. Bahkan untuk berlangganan majalah Bobo saja hanya
tahan beberapa edisi, sisanya saya harus nabung mati-matian untuk bisa punya
buku dan majalah. Sejak SD, saya dan saudara-saudara saya sudah disuruh nyari
uang sendiri. Kami akan dikasih uang saku kalau kami bekerja –dari sinilah saya
belajar arti kerja keras-. Kalau mau membeli buku saya harus jadi loper Koran
yang setiap jam 5 shubuh keliling 1 RW untuk memberikan Koran ke pelanggan.
Kebetulan Ayah saya nyambi bikin agen Koran untuk menambah-nambah penghasilan.
Jadi guru SMK di tahun 1990-an belumlah sesejahtera jaman sekarang.
Saya pernah juga membantu Mama yang
jualan air mineral gallon, mengantar gallon ke sana kemari, meski menepikan
rasa malu sebagai ABG cewek yang baru tumbuh. Di saat anak-anak lain sibuk ke
Mall, saya sibuk nabung dan kerja Cuma buat beli buku. Ayah saya sering bilang
ke anak-anaknya. Urusan sekolah dan makan, semua ditanggung Ayah. Urusan
senang-senang kayak beli Diary, buku, ke Mall dan lain-lain harus kerja dulu.
Digaji dulu….
Nah, dari sanalah, akhirnya saya
condong untuk lebih banyak baca majalah Bobo bekas, di dekat SD saya ada tukang
loak. Sesekali beli Bobo baru. Tapi setiap hari saya wajib baca Koran karena
selama beberapa tahun Ayah jadi agen Koran, otomatis baca Koran jadi bacaan
rutin. Dari uang yang saya punya, saya bisa beli komik-komik murah, donal
bebek, petruk, mister Q, Pansy dan lain sebagainya. Sisanya hanya bisa beli
novel-novel remaja dan novel anak yang murah. Sampai kuliah pun begitu, koleksi
buku saya minim sekali. Koleksi perpustakaan sekolah saya pun minim banget. Gak
kerenlah. Akhirnya saya sering nebeng baca komik sama tetangga yang kaya raya,
sisanya saya jadi kerja jadi “tukang nagih denda buku” di sebuah rental komik
langganan saya. Lumayan sekali dapat denda, saya bisa dapat puluhan ribu. Si
pemilik rental sih santai aja, dia Cuma minta sedikit bagian yang penting
koleksi bukunya balik.
So’ jadi wajar (saya mewajarkan diri
sendiri hehehe) kalau saya bukan pembaca buku yang pandai khususnya ngga pernah
baca buku-buku klasik. Buku-buku terkenal seperti Life of pi, Old Man (apa ya
lupa), terus Romeo Juliet, Mockingbird, dan lain-lain saya ngga bisa tuh
bacanya. Bahkan buku-buku detektif terkenal penulis cewek luar negeri, saya
ngga pernah baca. Karena saya memang ternyata lebih suka dengan komik,
visualisasi, audio dan agak ngga ngerti baca buku terjemahan. Belakangan saya
paham, bahwa ternyata bukan saya yang OON, ternyata ngga semua buku terjemahan
diterjemahkan dengan baik dan bagus. Buktinya, setelah saya punya uang dan agak
mapan, saya beli buku terjemahan banyak-banyak dan saya bisa ambil kesimpulan.
Ada buku yang diterjemahkan dengan baik ada yang tidak.
Saya tipe orang yang Cuma mampu baca
buku terjemahan yang diterjemahkan dengan baik hehehe. Jangan suruh saya baca
buku versi asli, karena bahasa inggris saya jongkok banget. Ngga bego-bego
amat, sih, Cuma ngga punya motivasi kuat aja buat memelajarinya dengan
semangat.
Nah! Akhirnya, setelah agak mafan, pada
suatu waktu saya memborong banyak novel klasik. Salah satunya adalah novel Anne
Shirley before Green Gables. Kayaknya sih dia ngga klasik karena ditulis sama
penulis masa kini, prekuel Anne Shirley begitulah. Singkat kata, setelah saya
beli buku itu 2 tahun lalu, saya hanya membaca halaman awalnya dan udah pusing.
Hadeh, kalimatnya membosankan, model-model buku klasik. Akhirnya saya tutup.
2 Tahun pun berlalu, sungguh, saya
sudah kehabisan bahan bacaan dan ngga sempat-sempat ke Gramedia. Akhirnya iseng
ambil kembali buku Anne Shirley, awalnya say abaca sesekali saja, tapi semakin
ke dalam ceritanya semakin asyik. Kenapa?
Karena saya ingat masa kecil saya.
Duluuuuuuuuuuuuu waktu kecil, saya kira orang tua saya jahat karena saya
dipekerjakan hehehe, tapi sejak saya nikah saya paham bahwa orang tua saya
sengaja memperlakukan anak-anaknya begitu supaya ngga manja. Duluuuu saya kira
saya anak kecil yang menderita, sampai kemudian saya pernah baca komik Pansy
tentang anak kecil yang hidup sendiri di hutan karena ortunya meninggal. Si
Pansy yang sudah anak-anak ini pun hidup menderita saat dibawa pergi ke kota.
Perjuangannya untuk menjadi Lady, benar-benar memecut semangat masa kecil saya
untuk jadi Lady juga, eh, ternyata sampe sekarang ngga pernah jadi Lady L yang ada juga Lady gembrot.
Nah, kembali ke novel Anne Shirley.
Ternyata novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang anak yang ditinggal
meninggal kedua orang tuanya sejak masih bayi, sungguh tragis emang dan sedih
banget. Dia diambil/adopsi oleh pembantu rumah tangga ibunya, si pengadopsi ini
berharap bisa mendapatkan barang-barang mewah orang tua Anne Shirley karena
sudah mengadopsi si Anne tapi ternyata tidak. Apalagi si pengadopsi yang
bernama Mrs. Thomas ini punya suami yang suka mabuk-mabukan yaitu Mr.Thomas.
Entah apes atau apalah namanya,
setelah mengadopsi si Anne Shirley, Mrs. Thomas yang sudah punya 3 anak gadis
ini malah hamil. Hamilnya pun berturut-turut, setahun 1 anak. Sampai Anne
berusia 5 tahun, Mrs. Thomas punya 4 bayi laki-laki. Walah walah… sampai di
sini saya sudah berpikir bahwa si Anne pasti akan melewati masa sulit. Benar
saja, ia kehilangan masa kanak-kanaknya, bayangkan di umurnya yang baru
menginjak 4 tahun ia sudah disuruh merawat bayi, disuruh nyuci popok dan
mengupas kentang.
Saya jadi ingat masa kecil saya,
umur segitu saya sih masih pake kutang dan lari-larian dengan rambut kepang.
Saya jadi merasa masa kecil saya lebih indah ketimbang si Anne Shirley ini.
Uniknya, dia punya segudang imajinasi. Banyak imajinasi. Saya pun jadi ingat
memori masa kecil saya, saat saya lagi mencuci piring saya juga suka
berimajinasi bahwa saya ada di negeri busa, saya punya pasukan bernama piring,
gelas dan sendok. Eh, Si Anne gitu juga ternyata.
Kalau sedang mengantar Koran, saya
selalu berimajinasi sedang balapan naik motor di pagi hari atau naik kuda
Pegasus sambil melempar Koran ke rumah pelanggan. Si Anne pun begitu, saat dia
lagi mencuci popok, dia berimajinasi jadi puteri.
Ah, dari segi cerita memang agak
membosankan, terlalu detail, nyaris konfliknya ngga terlalu menukik. Tapi dari
segi gaya bahasa, penceritaan, diksi dan karakter Anne, saya jatuh cinta. Saya
jatuh cinta dengan deskripsinya, narasinya, dialognya. Indah banget. Saya jadi
menyesal kenapa ngga baca novel ini 2 tahun yang lalu. Setelah menyelesaikan
Anne Shirley itu saya bahkan terbawa-bawa dengan gaya bahasanya, saya
mendapatkan mood nulis yang bagus dan belajar beberapa gaya menulis yang baru
dan indah.
Saya pun buka –buka internet dan
melihat ternyata novel Anne Shirley-nya yang ditulis Lucy M Montgomery, katanya
lebih bagus. Gaya bahasanya lebih indah. Waaah saya jadi penasaran dan langsung
berburu ke gramedia, sayang ngga ada. Ujung-ujungnya saya pun memesan online.
Sambil menunggu kiriman, saya lalu
kehabisan bacaan. Kebetulan saya sedang di rumah mertua di Jogja dan hanya
membawa sedikit novel. Saya menuntaskan Anne Shirley di rumah mertua saya,
komplit banget, bahasa yang indah dan suasana kampung yang syahdu. Lalu saya
melihat ada novel karya penulis fenomenal. Penulis Indonesia yang novelnya
laris ratusan ribu eksemplar, dijadikan film dan buku-bukunya juga dijadikan
sinetron. Saya pikir untuk novel yang megabestseller itu karyanya bagus, gaya
bahasanya indah, dan saya pikir novelnya yang lain, saya sedang say abaca pun
juga akan bagus.
Tapi ternyata saya menemukan
kekecewaan mendalam. Novel ini, novel yang sudah difilmkan dan laris ratusan
ribu eks ternyata gaya bahasanya jelek banget. Deskripsinya jelek, narasinya
jelek. Aduh saya sok tahu banget ya mengatai seorang penulis besar dengan
tulisan jelek hehehe. Kebetulan saja mungkin say abaca bukunya yang memang
kurang bagus. Saya pun akhirnya menyadari satu hal : ternyata bukan tulisannya
yang jelek, tapi karena saya baru saja menyelesaikan novel Anne Shirley, saya
terbawa euphoria keindahan novel itu.
Sehingga saat say abaca novel
penulis Indonesia itu saya syok karena secara kualitas jauh panggang dari api,
kayak langit dan bumi. Padahal itu adalah novel islami. Ya, yang saya suka dan
saya kagumi, novel itu punya nilai lebih ketimbang Anne Shirley, tentu saja
mengajarkan pemahaman-pemahaman islam dengan baik. Tapi gaya berceritanya lebih
bagus novel Anne Shirley. Akhirnya saya membaca novel yang saya tulis sendiri
dan manggut-manggut. Ternyata novel saya juga punya gaya bahasa yang jelek!
Jelek!
Ternyata saya juga harus banyak
belajar menulis, tulisan saya juga masih kalah bagus dari Anne Shirley. Saya
jadi yakin dan paham kenapa cerita Anne Shirley bisa bertahan sampai 100 tahun
dan punya banyak penggemar. Jujur saya memaksakan diri membaca novel islami
yang menurut saya biasa banget itu karena ada cover actor idola saya sebagai
tokoh utama di novel itu. Saya kan penggemar dia juga hehehe….
Tapi dibandingkan sama novelnya yang
MegaBestseller yang filmnya pun laris di mana-mana, novel yang say abaca ini
jauh berbeda kualitasnya. Kalau boleh jujur, bagusan novel yang MegaBestseller
itu. Dari segi bahasa maupun cerita. Yaaa…. Dari sini saya belajar satu hal.
Belajar untuk lebih membuka wawasan
membaca saya. Mungkin selama ini saya cupet (istilah saya ya kurang update
gitu) kurang buka wawasan sehingga bacaan yang say abaca Cuma novel-novel
islami yang kualitas bahasanya biasa
aja. Pantes tulisan saya jadi biasa-biasa aja. Banyak novel islami yang keren,
punya gaya bahasa bagus dan wajib saya pelajari. Saya bahkan belum baca novel
klasiknya Buya Hamka, novel klasik islami lainnya juga belum say abaca. Jadi
saya kemana ajaaaa? Plaaak!
Jadi ceritanya, isi blog yang saya
tulis ini hanyalah sebuah curahan hati atas kegelisahan saya mengenai kualitas
penulis-penulis dalam negeri. Termasuk saya sendiri. Well… jadi penulis memang
tidak bisa cepat berpuas diri. Harus terus menggali dan menggali bahan bacaan
lain. Lebih banyak lagi dan lagi supaya kita tahu diri. Tahu bahwa tulisan kita
masih cupet, masih picik, masih biasa banget. (SUMPAH INI NASIHAT BUAT SAYA
SENDIRI)
Saya tidak menyalahkan masa kecil
saya yang kurang fasilitas. Toh banyak di luar sana penulis yang tumbuh dari
kekurangan juga tapi bisa mendapat akses bacaan yang banyak. Saya murni
menyalahkan diri saya sendiri yang terlalu “bodoh” untuk mau memahami
bacaan-bacaan terjemahan atau sastra klasik Indonesia.
Lalu saya pun memahami, mengapa
seorang penulis wajib banyak membaca. Agar dia bisa berkata-kata dengan indah
dan menghanyutkan pembacanya. Cita-cita saya, ingin novel-novel saya bisa
bertahun 100 tahun atau lebih.
***
Bantul,
25 Januari 2014
Di
teras rumah mertua, jam 5:47 WIB.
Haha, emang levelnya beda jauh Montgomery sama novel-novel punya kita. Walaupun novelnya berbau Kristen (yah, wong settingnya di PEI yang orangnya protestan semua), masih lebih suka aku daripada novel Islami yang sering lebay (apaan tuh, nangis nginget Islam di Andalusia. Orang kaya gini nih yang bakal diketawain sama Montgomery)
ReplyDeletehehehe iya Ugoki, sebagai penulis saya terpecut banget nih supaya bisa bikin novel sebagus itu hihihi
DeleteHaha, kalo ada penulis kaya Montgomery di sini mungkin bakal bahaya kali. Dia kan suka mengkritik gereja di sana (kalo di sini mesjid).
DeleteOh ya, udah baca Emily series tulisan Montgomery juga ga? Di situ ada trik bagus gimana dia bisa nulis karakter dan dialog sebagus itu.
Delete"Kamu selama tiga tahun hanya tulis kebenaran."
Maksud gurunya adalah protagnya yang seorang penulis dilatih untuk mengamati dan menulis karakter dan dialog orang lain di sekitarnya dengan baik. Ga ada maenan plot ato apa. Cuma menulis tentang keseharian orang-orang yang benar-benar terjadi.