Pesan Ayah Kepada Anak Gadisnya Sebelum Meninggal
Pagi ini aku membuka jendela dapur rumahku. Wajahku
disambut terpaan angin dingin sisa hujan semalam, lambaian pohon pisang dan
awan mendung yang masih menggelayut. Pandanganku menerawang melihat langit
kemudian tersadar kalau anakku harus segera sekolah. Dengan cepat aku
mempersiapkan sarapan praktis untuknya. Saat ini dapurku hanya berupa meja belajar
kayu berukuran kecil yang aku beli dari sekolah dasar, dua tahun yang lalu.
Artinya itu meja belajar bekas anak-anak SD dan banyak tulisan pulpen di
atasnya. Ada sejarah tersendiri kenapa meja belajar kayu itu bisa ada di
dapurku.
Tapi saat ini aku mau bercerita tentang pesan almarhum
ayahku. Sebuah pesan yang lama kupendam, tapi pesan itu selalu terbit mendadak
seperti matahari yang kesiangan, setiap aku melihat kompor. Selama 9 tahun
menikah, kompor yang aku gunakan dengan suami adalah kompor yang dipasang
menyatu dengan tabung gas, otomatis hanya satu tungku dan bentuk kompornya juga
tidak seksi.
Setiap aku melihat kompor, wajah almarhum Ayah selalu
terbersit sekilas kemudian pesannya menggaung-gaung di telingaku.
Dulu sekali, satu
bulan sebelum aku menikah, Ayah selalu bilang : “Chi, kamu harus belajar masak.
Bagaimana pun juga, suami pasti mau makan masakan istri.” Jawabku saat itu
hanya, “Iya, ayah.” Tapi belum ada niatku untuk belajar memasak. Aku hanya bisa
memasak mie instant yang kadang kematengan atau masak nasi goring yang rasanya
antah berantah.
Sampai kemudian aku punya bayi dan mengurus bayiku
sendirian, mulai hidup terpisah dari orang tua. Beruntung suamiku orang yang
pandai memasak dan memang hobi masak, jadi kami berbagi tugas rumah tangga. Dia
memasak, aku menanak nasi, aku menyapu, dia mengepel, aku mengurus bayi, dia
bekerja. Setelah beberapa kali berkunjung main ke rumah kontrakan petak kami,
ayah pun kembali berpesan. “Nak, belajar masak, masa suami terus yang masak.”
Jleb. Mulai ada rasa malu di hatiku. Iya, ya, kemudian
aku mulai belajar masak dari yang mudah-mudah yaitu membuat bubur bayi sendiri
untuk bayiku, lalu membuat nasi tim, kemudian belajar bikin nasi goring lagi
buat suami yang seringnya gagal jadi enak. Kemudian datanglah kembali pekerjaan
menulis scenario dan nulis novel bertubi-tubi. Lalu kesibukan baru mengurus
kelas menulis Rumah Pena membuat aku lupa lagi belajar memasak. Beruntungnya,
karena keadaan ekonomi yang membaik, aku bisa menyewa ART yang juga memasakkan
makanan untuk kami. Selanjutnya selama 6 tahun, kami selalu makan masakan dari
ART kami, atau dari warung nasi terdekat.
Saat anakku berusia 1 tahun 6 bulan, saat aku
keasyikan kerja, Ayah terkena penyakit kanker tiroid. Sontak saja dunia terasa
berguncang karena kanker telah membalikkan keadaan Ayah. Ayah yang dulu kekar
mendadak jadi rapuh, Ayah yang senang bercanda, mendadak sering menangis, Ayah
yang penuh semangat mendadak terlihat putus asa. Kanker juga yang merenggut
banyak impian dan cita-citaku bersama Ayah. Berbagai macam pengobatan kami coba
tapi memang semua sudah terlambat. Siang itu, saat aku mendapat jadwal merawat
Ayah, Ayah berkata : Chi, udah bisa masak? Gimana pun juga, suami dan anak-anak
pasti mau makan masakan istri dan ibunya.
Satu bulan setelahnya, Ayah meninggal dunia.
Menyisakan banyak penyesalan. Maaf Ayah, belum bisa membahagiakan Ayah, maaf
ayah belum bisa menjadi anak yang berbakti, Maaf Ayah atas banyaknya
pertengkaran di antara kita, maaf Ayah karena banyak nasehat Ayah yang belum
aku jalankan. Ya, Ayah sering bilang : Nasehat ayah ini mungkin baru kamu
dengerin kalau Ayah udah mati. Ya Allah... ampun... tapi memang benar adanya.
Banyak nasehat Ayah yang baru kurasakan manfaatnya karena aku jalani, justru
setelah Ayah tiada.
Kenapa? Kenapa tidak saat Ayah masih hidup? Pasti Ayah
akan bahagia, bukan, melihat nasehatnya dipatuhi? Enam bulan setelah masa
berkabung, aku pindah rumah kontrakan dan mencari rumah kontrakan baru yang
memiliki dapur lebih bagus dan lebih manusiawi. Karena dapur sebelumnya penuh
dengan tikus, bagaimana aku bisa belajar masa bareng tikus? Di rumah kontrakan
baru, aku mulai belajar memasak. Masak makanan yang aku sukai dulu, aku membuat
mulai belajar membuat siomay, membuat pempek, belajar bikin tekwan, bikin tahu
isi goreng lalu belajar bikin sayur bayam. Dua tahun di kontrakan itu, aku
mulai belajar masak meski tidak rutin. Setiap aku masak, ucapan Ayah selalu terngiang-ngiang.
Benar kata Ayah, meski aku hanya memasak tahu isi
goreng, anakku makan dengan riang dan lahap, suamiku makan dengan senang.
Melihat mereka makan masakanku adalah kebahagiaan yang tak bisa diukur oleh apa
pun. Lalu aku pindah ke kontrakan selanjutnya, di kontrakan yang ketiga,
dapurnya lebih bagus lagi. Gairah memasakku lebih tinggi lagi. Aku mulai belajar
membuat pizza di Teflon, belajar membuat nasi goreng yang lebih enak, belajar
membuat bakso –ini yang sering gagal, sulit tapi menyenangkan. Sampai kemudian
aku punya rumah dan dapurku hanyalah sebuah ruangan kecil yang diisi meja
belajar anak SD. Tidak ada kitchen set dapur seperti dua kontrakan sebelumnya.
Tapi justru di sinilah, di rumah tanpa dapur ini,
keinginanku memasak semakin menggebu. Aku juga semakin ingin membuat dapur
impianku. Kitchen set impian yang nyaman untuk masak. Tempat yang akan
membuatku betah untuk memasak. Bagaimana aku bisa mencapai impianku itu? Ya,
salah satunya adalah dengan memantaskan diriku.Untuk apa dapur yang cantik,
tentu agar aku semakin semangat masak bukan? Oleh karena itu, sebelum dapur
cantikku terwujud, aku pun belajar memasak hal-hal lain. Mulai membuat roti,
membuat brownies, membuat sop ikan dan aneka makanan lainnya.
Semakin aku semangat belajar, jalan untuk terwujudnya
dapur cantik itu pun semakin lebar. Allah membukakan jalan kepadaku,
mempertemukanku dengan Imania Desain. Jasa interior yang professional dan
membuat nyaman. Sudah satu bulan, kitchen setku sedang diproduksi oleh Imania
Desain. Tak lama lagi... Beberapa hari lagi, dapur cantikku akan terwujud.
Terima kasih Ayah...
Sekarang anakmu sudah bisa memasak.
Sop ikan sudah matang dan harumnya memenuhi ruangan.
Aku tahu ayah suka sekali makan ikan tapi sekarang aku tak bisa menyajikan sop
ikan di depannya karena Ayah telah tiada. Ya Allah, seandainya dulu aku
mengikuti nasehat Ayah untuk segera belajar memasak... pastilah aku bisa
melihat senyum Ayah yang memakan masakanku dengan lahap.
Dengarkanlah nasehat Ayahmu selagi hidup, karena
setelah ia mati, kau hanya akan menyesalinya.
Kamu bisa ngikutin jejak aku dengan berkunjung ke www.imaniadesain.com
Sangat terharu dengan membaca postingan tentang ayah dan ianya nasihat yang bagus. Sebenarnya lagi cari informasi tentang cara menulis dan akhirnya jumpa blog ini. Boleh gak aku minta emel untuk bisa sharing informasi menulis. Kadang perlu motivasi untuk menulis dan itu perlu pembimbing untuk menulis.
ReplyDelete