Saya Tidak Memaksa Anak Saya Untuk Berbagi
"Ayo, dek mainannya dikasih pinjem temen kamu. Kamu jangan pelit."
Si adek tidak mau tapi tetap dipaksa berbagi oleh orang tuanya. Kasus lain.
"Kaka kan minta makanan kamu, ayo dibagi," lalu tanpa ijin sang adek, ibu langsung membagi dua makanan yang notabene milik si adek.
Saya pikir dulu, mengajarkan anak berbagi harus sejak usia dini. Kalau perlu sejak dia usia 1 tahun. Tapi ternyata setelah belajar parenting di komunitas HS, terkuaklah bahwa anak usia 1-3 tahun tidak perlu diajarkan berbagi. Karena fase umur itu adalah fase mereka egois dengan barang mereka sendiri dan sebaiknya biarkan mereka puas merasa memiliki. Cmiiw ya soal fase ini.
Ketika anak kedua saya berumur 4 tahun saya baru dapat ilmu ini. Cara cara saya mengajarkan anak pertama saya berbagi, ternyata salah. Akhirnya saya terapkan ilmu baru pada anak kedua saya. Apa itu?
Yaitu belajar kepemilikan. Wah bagi saya ini ilmu baru soal kepemilikan. Hal yang disepelekan tapi rupanya punya dampak besar.
Jadi sejak kecil jangan langsung diajarkan harus berbagi tapi ajarkan kepemilikan.
Ini makanan kamu. Ini milik kamu. Kamu boleh membaginya dengan orang lain boleh tidak.
Ini mainan kamu. Ini mainan kakak.
Itu barang ibu. Itu barang kakak.
Kalau kakak minta makanan kamu dan kamu tidak mau kasih, kakak tidak boleh memaksa. Begitu juga sebaliknya. Selama 1-2 tahun pertama dia ogah berbagi sama orang lain. Tidak apa apa batin saya, dia belajar menikmati kepemilikan dia dulu.
Efeknya ternyata luar biasa buat anak kedua saya. Di umur dia ke-5 saya terkaget-kaget melihat dia begitu mudahnya berbagi pada orang lain. Kalau beli susu kotak dia beli 3, untuk dirinya untuk kakak dan untuk sepupunya. Minggu lalu, teman lama datang ke rumah bawa bayinya. Karena gemas dengan si dedek, anak kedua saya langsung ambil boneka kesayangan nya dan dikasih ke si dedek Bayi itu..benar benar dikasih. Syok sekaligus takjub melihatnya. Padahal setahun lalu, minjemin mainan ke teman aja pelit banget.
Lalu esoknya lagi dia jajan dengan uang THR nya dan dia bagi bagi makanan ke temannya. Lalu berbagi mainaan ke teman ke abangnya. Dan saya bahagia mengetahui kenyataan bahwa saya tak perlu memaksa dia untuk berbagi.
Manfaat lain dari belajar kepemilikan. Dia merasa memiliki kamarnya, maka saat kamarnya kotor dia rapihkan sendiri, dia sapu dan dia ganti sprei sendiri tanpa disuruh. Dia juga merapikan mainan sendiri dan menatanya. Karena dia merasa itu miliknya maka secara fitrah dia pasti akan merawat apa yang jadi miliknya.
Kalau dia merusak milik orang lain dia harus ganti rugi sesuai kesepakatan dengan orang yang barangnya dia rusak. Soal belajar ganti rugi ini juga mengajarkan dia buat tanggung jawab dan akan berhati hati sama barang orang.
Manfaat belajar kepemilikan lainnya adalah, jadi mudah mengatur dia main gadget.
Ini, kan ponsel mama. Mama yang punya hak mau berapa lama kasih pinjam kamu. Jadi kalau kita belikan gadget buat anak, wajar kita akan susah kendalikan mereka karena itu, kan milik mereka. Secara naluri mereka akan masa bodo aja, bebas dong punyaku. Kalau kita rampas gadget milik mereka, mereka akan terluka karena merasa hak miliknya dirampok.
Dengan belajar kepemilikan mudah mengatur anak kedua saya untuk tidak lari larian di rumah orang lagi.
Ini rumah orang bukan rumah kamu. Kalau ada barang rusak kamu harus ganti rugi. Meski kadang buat bagian ini dia akan jawab : aku larinya hati hati kok. Hufft masih sulit bagian ini. Tapi setidaknya sudah bisa lebih dikontrol.
Dia juga tidak akan mengambil barang orang lain tanpa ijin. Karena dia tahu nikmat nya memiliki maka dia juga akan paham rasanya kalau milik dia diambil paksa.
Jadi jangan paksa anak anda berbagi dengan orang lain kalau dia belum mau berbagi. Cukup kita iklan kan sifat berbagi itu dari sikap kita, anak pasti akan mencontoh perilaku kita. Biarkan anak berbagi dengan bahagia.
"Ayo, dek mainannya dikasih pinjem temen kamu. Kamu jangan pelit."
Si adek tidak mau tapi tetap dipaksa berbagi oleh orang tuanya. Kasus lain.
"Kaka kan minta makanan kamu, ayo dibagi," lalu tanpa ijin sang adek, ibu langsung membagi dua makanan yang notabene milik si adek.
Saya pikir dulu, mengajarkan anak berbagi harus sejak usia dini. Kalau perlu sejak dia usia 1 tahun. Tapi ternyata setelah belajar parenting di komunitas HS, terkuaklah bahwa anak usia 1-3 tahun tidak perlu diajarkan berbagi. Karena fase umur itu adalah fase mereka egois dengan barang mereka sendiri dan sebaiknya biarkan mereka puas merasa memiliki. Cmiiw ya soal fase ini.
Ketika anak kedua saya berumur 4 tahun saya baru dapat ilmu ini. Cara cara saya mengajarkan anak pertama saya berbagi, ternyata salah. Akhirnya saya terapkan ilmu baru pada anak kedua saya. Apa itu?
Yaitu belajar kepemilikan. Wah bagi saya ini ilmu baru soal kepemilikan. Hal yang disepelekan tapi rupanya punya dampak besar.
Jadi sejak kecil jangan langsung diajarkan harus berbagi tapi ajarkan kepemilikan.
Ini makanan kamu. Ini milik kamu. Kamu boleh membaginya dengan orang lain boleh tidak.
Ini mainan kamu. Ini mainan kakak.
Itu barang ibu. Itu barang kakak.
Kalau kakak minta makanan kamu dan kamu tidak mau kasih, kakak tidak boleh memaksa. Begitu juga sebaliknya. Selama 1-2 tahun pertama dia ogah berbagi sama orang lain. Tidak apa apa batin saya, dia belajar menikmati kepemilikan dia dulu.
Efeknya ternyata luar biasa buat anak kedua saya. Di umur dia ke-5 saya terkaget-kaget melihat dia begitu mudahnya berbagi pada orang lain. Kalau beli susu kotak dia beli 3, untuk dirinya untuk kakak dan untuk sepupunya. Minggu lalu, teman lama datang ke rumah bawa bayinya. Karena gemas dengan si dedek, anak kedua saya langsung ambil boneka kesayangan nya dan dikasih ke si dedek Bayi itu..benar benar dikasih. Syok sekaligus takjub melihatnya. Padahal setahun lalu, minjemin mainan ke teman aja pelit banget.
Lalu esoknya lagi dia jajan dengan uang THR nya dan dia bagi bagi makanan ke temannya. Lalu berbagi mainaan ke teman ke abangnya. Dan saya bahagia mengetahui kenyataan bahwa saya tak perlu memaksa dia untuk berbagi.
Manfaat lain dari belajar kepemilikan. Dia merasa memiliki kamarnya, maka saat kamarnya kotor dia rapihkan sendiri, dia sapu dan dia ganti sprei sendiri tanpa disuruh. Dia juga merapikan mainan sendiri dan menatanya. Karena dia merasa itu miliknya maka secara fitrah dia pasti akan merawat apa yang jadi miliknya.
Kalau dia merusak milik orang lain dia harus ganti rugi sesuai kesepakatan dengan orang yang barangnya dia rusak. Soal belajar ganti rugi ini juga mengajarkan dia buat tanggung jawab dan akan berhati hati sama barang orang.
Manfaat belajar kepemilikan lainnya adalah, jadi mudah mengatur dia main gadget.
Ini, kan ponsel mama. Mama yang punya hak mau berapa lama kasih pinjam kamu. Jadi kalau kita belikan gadget buat anak, wajar kita akan susah kendalikan mereka karena itu, kan milik mereka. Secara naluri mereka akan masa bodo aja, bebas dong punyaku. Kalau kita rampas gadget milik mereka, mereka akan terluka karena merasa hak miliknya dirampok.
Dengan belajar kepemilikan mudah mengatur anak kedua saya untuk tidak lari larian di rumah orang lagi.
Ini rumah orang bukan rumah kamu. Kalau ada barang rusak kamu harus ganti rugi. Meski kadang buat bagian ini dia akan jawab : aku larinya hati hati kok. Hufft masih sulit bagian ini. Tapi setidaknya sudah bisa lebih dikontrol.
Dia juga tidak akan mengambil barang orang lain tanpa ijin. Karena dia tahu nikmat nya memiliki maka dia juga akan paham rasanya kalau milik dia diambil paksa.
Jadi jangan paksa anak anda berbagi dengan orang lain kalau dia belum mau berbagi. Cukup kita iklan kan sifat berbagi itu dari sikap kita, anak pasti akan mencontoh perilaku kita. Biarkan anak berbagi dengan bahagia.
No comments:
Post a Comment