Review film HTMMBGD

Sunday, January 5, 2025

 Review Ala-Ala Achi TM 


How to Make Millions Before Grandma Dies


Pertama tahu film ini dari status teman-teman di FB, mereka nonton di bioskop tentunya. Saat itu saya belum tertarik plus ada kesibukan mengisi pelatihan di sana-sini, jadi tidak sempat menonton di bioskop. 


Hingga kemudian saya butuh menonton film untuk mengumpulkan ide-ide baru dalam proses penulisan novel terbaru saya. Saya menemukan film ini tayang di Netflix. Mendengar film ini masuk nominasi Oscar mewakili Asia, saya jadi makin tertarik. 


Dengan ekspektasi tinggi, saya mulai menonton HTMMBGD ini. Judulnya panjang banget yak. Sesuai judulnya, premis film ini memang bercerita tentang seorang cucu yang bekerja sebagai streamer game yang punya penghasilan kecil, ingin mendapatkan warisan dari sang nenek sebelum si nenek meninggal. 


Karena saya ngga akrab sama nama-nama Thailand jadi saya sulit menyebutkan nama 😂🤣. Sebut saja cucu cowok. Si cucu cowok ini punya sepupu cucu cewek dari pihak bapaknya. Cucu cewek merawat si kakek dengan telaten. Saat kakek meninggal, cucu cewek dapat warisan rumah yang mewah sementara cucu cowok cuma hanya dapat gelang-gelang perak. 


Nenek si cucu cowok dari garis ibu masih hidup. Sudah tua dan ternyata menderita sakit kanker. Si cucu cowok pun kepikiran untuk mendapatkan rumah warisan si nenek. Dengan sukarela ia merawat si nenek di rumahnya. Tentu berharap saat meninggal nanti, si nenek mau mewariskan rumah kepada si cucu cowok. 


Nah, menariknya di sini, film ini realistis banget. Tidak memotret kemewahan yang berlebihan. Adegan-adegannya pun dibuat dengan natural. Akting pemainnya bagus-bagus. Nyaris ngga ada cowok ganteng di sini. Meski kalau dilihat-lihat, cucu cowok ini sebenarnya mirip Maxim Bouttier, cuma di film ini emang si cucu cowok tidak terawat. Benar-benar seperti menonton dokumenter hidup seseorang. 


Adegan demi adegan dirancang sedemikian rupa sehingga adegan dramanya dapat banget. Tidak berlebihan dalam menampilkan kesedihan, apa adanya tapi justru mengundang air mata berjatuhan. 


Sebagai pecinta plot twist, saya suka sekali dengan kejutan-kejutan yang dihadirkan. Pintar banget penulis skenarionya menyembunyikan informasi -informasi dan mengecoh penonton. Secara umum sudah banyak film yang membahas tentang ibu tua yang tinggal sendirian dan tidak dirawat anak-anaknya. Tapi di film ini, diceritakan dari sudut pandang berbeda. Ketika cucu cowok dan anak sempat bersaing merawat sang nenek dengan harapan sama-sama dapat warisan uang. 


Apakah si nenek ini kaya raya? Tidak. Dia hidup sederhana saja. Tapi rumahnya terletak di tengah kota yang harganya tentu cukup mahal. 


Rating dari saya 9/10 

Bagus, sih. Endingnya mengecoh saya dan bikin saya nangis Bombay. Lagi-lagi banyak pelajaran hidup diambil di sini. Bahwa kita hanya hidup sementara, apa yang mau kita tinggalkan di dunia ini sebelum kita tiada?

Puisi - Amukan Hati

Monday, December 30, 2024

 Aku butuh kaki yang kuat untuk berdiri di dermaga hati

Agar amukan badai hawa nafsu tidak membuatku terpelanting jatuh ke lautan yang salah. 

Aku butuh kuda-kuda yang baja

Agar tak tersapu puting beliung jiwa

Shadr yang penuh sampah dan berantakan

Seharusnya aku berbaring saja. Meringkuk dan sekuat tenaga tidak meluapkan amarah. 

Kurcaci kecil yang bergerombol di kepala tak henti-hentinya mengeruk duka. Semakin banyak luka yang ditambang semakin banyak rasa lara yang tak semestinya. 

Ragaku lelah

Ingin menjadi debu saja

Tapi jiwa merana 

Butuh pertolongan-Nya 

Hanya itu satu-satunya yang menyelamatkan 

Sebaris doa di sudut ruang sunyi




Puisi - Pergi Paling Jauh

Saturday, November 16, 2024

 

Puisi -

Pergi Paling Jauh


Aku tak punya lagi topeng untuk tersenyum

Wajahku terpampang masam di depanmu

Kamu bagai cermin bagiku

masam wajahmu terpampang di depanku

Kamu dan aku saling melempar masam

Kamu dan aku menatap penuh kebencian

Kamu dan aku lalu saling memunggungi

Kamu dan aku melempar hembusan napas paling kesal

Kamu dan aku melangkah pergi

Kamu dan aku tak bertemu lagi di titik yang sama

Kamu dan aku entah kemana

barangkali mencari topeng untuk tersenyum 


pada orang lain


- Achi TM - 

Telaga Kering

Puisi -
Telaga Kering 

Aku duduk di samping telaga yang kering

Menunggu ada air mengalir di sana

Tapi meski matahari telah surut

tak ada air yang memancar dari telaga itu


Esoknya aku pulang ke rumah

melihat dia duduk di kursi taman dengan kesibukannya melepaskan sulur-sulur yang merambati seluruh isi otaknya

aku mengajaknya bicara

tapi dia diam saja karena mulutnya penuh dengan duri

sekali dia bicara

aku terkena durinya

sakit


Dan besoknya aku kembali menemui dia

kuajak dia ke telaga kering

kujanjikan air mataku mengalir di sana

dia mengikutiku

di tepi telaga kering aku menangis 

mengalirlah semua cerita duka-dukaku 

serta luka luka yang terpendam lama

Sampai kemudian telaga itu tak lagi kering

Cahaya matahari membuat air mata di telaga itu berkilau

dia berenang di sana

mulutnya tak lagi penuh duri tapi penuh air mata telaga


sekarang mataku yang kering

begitu juga hatiku


- Achi TM - 

Dialog Imajiner

 "Aku sudah katakan bahwa aku ingin memupuk hubungan yang terasa hambar ini. Aku ingin kami berjalan berdua, pergi ke suatu tempat, tamasya berdua, menginap di hotel berdua tanpa anak-anak. Benar-benar berusaha saling mengenal tapi dia tidak menanggapi keinginanku. Dia merespon dengan ucapan 'ya-ya-ya' saja tapi matanya tetap memandang ponsel di tangan. Dia sibuk dengan urusannya sendiri. Sibuk dengan kesenangan sendiri, mengotak-atik ponsel bekas hingga bisa aktif lagi. Dia sibuk dengan urusan membeli printilan ponsel bekas. Scroll layar tak henti-henti. Atau mengoprek ponsel bekas rusak dengan obeng-obengnya dan segala peralatannya. Aku hanya ingin diperhatikan. Aku ingin kami bisa ngobrol. Saling berbicara. Benar-benar bisa ngobrol."

"Apa kalian tidak pernah ngobrol?"

"Jarang... sangat jarang sekali." Aku menghela napas pendek. Memandang langit-langit ruangan ini dengan mata sendu. "Padahal banyak sekali kata-kata di kepalaku. Banyak sekali yang ingin aku ceritakan. Hal-hal menyedihkan, menyebalkan, sesuatu yang membuatku marah, kebosanan yang aku dera. Semuanya. Aku mau ngobrol seperti itu. Tapi baru sebentar aku bercerita, dia sudah berkomentar. Tepatnya menjudge aku begini dan begitu. Alhasil kami bertengkar. Adu mulut. Lalu saling diam. Kemudian bila rindu, kembali saling menggoda. Di luar itu, sebenarnya aku butuh bertukar pikiran. Aku kangen dengan hal-hal menyenangkan yang jarang kami lakukan berdua. Bahkan kami tidak pernah bulan madu berdua. Bepergian hanya berdua saja. Tidak pernah."

"Sungguh?"

"Yaaa... 17 tahun kami menikah dan begini saja. Bahkan tak ada anniversary kami yang ke-17. Dia tak pernah berusaha memupuk cinta di antara kami karena menurutnya membuatkan aku teh setiap pagi dan pergi ke kantor untuk bekerja sudah cukup untuk membuktikan bahwa dia mencintaiku. Tapi aku sendiri bekerja, kok. Dan bekerja itu kewajibannya bukan bukti cinta. Bahkan untuk meminta bunga saja aku harus ngambek. Okelah dia tidak melakukan hal-hal romantis tapi minimal berikan kami waktu ngobrol dan yang terpenting, tidak marah-marah."

"Dia suka marah, ya?"

"Ya, dia memang bukan tipe yang suka membentak sepertiku. Tapi energi marahnya terlihat dari wajahnya yang merengut, masam, tatapan matanya yang tidak bersahabat, penuh kebencian. Rasanya muak. Bertahun-tahun seperti itu. Kalau aku melakukan salah bicara, dia akan meninggalkanku, pergi, diam, mendiamkan aku. Aku muak!"


Puisi - Lautan Yang Lurus

Monday, August 5, 2024

 Aku menuliskan puisi ini pada tahun 2019. 

Saat itu belum memahami kenapa aku menulis puisi ini. Sekarang aku paham, kemana aku dan suamiku akan berlayar. Bukan sembarang arah, ke sembarang pulau. Tapi ada jalan pertobatan yang penuh gelombang dan badai. Menuju cahaya-Nya kelak. 


****

Puisi 


Lautan Yang Lurus 


Kita mulai berlayar

berangkat menuju jannah

melewati lautan fana manusia 


kau genggam erat aku,

ketika ada angin dan badai mengguncang kapal


Jangan sampai ada yang retak

Setiap air yang dibelah buritan 

ada kenangan yang memenuhi kepala.


Pastikan arah kita tak berubah, lurus kepada-Nya.


Achi TM

2019



Puisi : Riuh

Thursday, October 5, 2023

 Ayah 

Di sini ternyata terlalu riuh

Banyak kata puja puji melantun 

Saya profesor, saya anak ulama, saya cucu raja, saya dan saya. Semua kebanggaan semu terlempar di udara lalu sesak masuk ke dada. 


Aku bukan siapa-siapa ayah 

Aku hanya menjadi anakmu saja

Kamu yang selalu bilang ayah bukan siapa-siapa

Hanya hamba Allah yang berusaha berjihad melawan hawa nafsu. 


Aku juga ingin menjadi bukan siapa siapa itu ayah

Tapi rasa tinggi hati menjulang selangit

Sakit rasanya meruntuhkan ego

Ingin rasanya ikut riuh

Aku adalah begini aku adalah begitu

Ikut menjadi mulut-mulut yang basah oleh status dunia semata, di antara mulut-mulut yang ribut mengakui dirinya terhormat.


Lantas aku bungkam

Jariku gemetar menahan diri

Untuk apa aku ikut berisik ya, Ayah? 


Toh kelak hidup ini hanyalah penggalan sunyi di dalam tanah. Sepertimu yang telah damai bersama-Nya. Iya, kan Ayah? 

Tangerang, 5 okt 2023 

*ketika insecure merajalela


 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati