Puisi - Pergi Paling Jauh

Saturday, November 16, 2024

 

Puisi -

Pergi Paling Jauh


Aku tak punya lagi topeng untuk tersenyum

Wajahku terpampang masam di depanmu

Kamu bagai cermin bagiku

masam wajahmu terpampang di depanku

Kamu dan aku saling melempar masam

Kamu dan aku menatap penuh kebencian

Kamu dan aku lalu saling memunggungi

Kamu dan aku melempar hembusan napas paling kesal

Kamu dan aku melangkah pergi

Kamu dan aku tak bertemu lagi di titik yang sama

Kamu dan aku entah kemana

barangkali mencari topeng untuk tersenyum 


pada orang lain


- Achi TM - 

Telaga Kering

Puisi -
Telaga Kering 

Aku duduk di samping telaga yang kering

Menunggu ada air mengalir di sana

Tapi meski matahari telah surut

tak ada air yang memancar dari telaga itu


Esoknya aku pulang ke rumah

melihat dia duduk di kursi taman dengan kesibukannya melepaskan sulur-sulur yang merambati seluruh isi otaknya

aku mengajaknya bicara

tapi dia diam saja karena mulutnya penuh dengan duri

sekali dia bicara

aku terkena durinya

sakit


Dan besoknya aku kembali menemui dia

kuajak dia ke telaga kering

kujanjikan air mataku mengalir di sana

dia mengikutiku

di tepi telaga kering aku menangis 

mengalirlah semua cerita duka-dukaku 

serta luka luka yang terpendam lama

Sampai kemudian telaga itu tak lagi kering

Cahaya matahari membuat air mata di telaga itu berkilau

dia berenang di sana

mulutnya tak lagi penuh duri tapi penuh air mata telaga


sekarang mataku yang kering

begitu juga hatiku


- Achi TM - 

Dialog Imajiner

 "Aku sudah katakan bahwa aku ingin memupuk hubungan yang terasa hambar ini. Aku ingin kami berjalan berdua, pergi ke suatu tempat, tamasya berdua, menginap di hotel berdua tanpa anak-anak. Benar-benar berusaha saling mengenal tapi dia tidak menanggapi keinginanku. Dia merespon dengan ucapan 'ya-ya-ya' saja tapi matanya tetap memandang ponsel di tangan. Dia sibuk dengan urusannya sendiri. Sibuk dengan kesenangan sendiri, mengotak-atik ponsel bekas hingga bisa aktif lagi. Dia sibuk dengan urusan membeli printilan ponsel bekas. Scroll layar tak henti-henti. Atau mengoprek ponsel bekas rusak dengan obeng-obengnya dan segala peralatannya. Aku hanya ingin diperhatikan. Aku ingin kami bisa ngobrol. Saling berbicara. Benar-benar bisa ngobrol."

"Apa kalian tidak pernah ngobrol?"

"Jarang... sangat jarang sekali." Aku menghela napas pendek. Memandang langit-langit ruangan ini dengan mata sendu. "Padahal banyak sekali kata-kata di kepalaku. Banyak sekali yang ingin aku ceritakan. Hal-hal menyedihkan, menyebalkan, sesuatu yang membuatku marah, kebosanan yang aku dera. Semuanya. Aku mau ngobrol seperti itu. Tapi baru sebentar aku bercerita, dia sudah berkomentar. Tepatnya menjudge aku begini dan begitu. Alhasil kami bertengkar. Adu mulut. Lalu saling diam. Kemudian bila rindu, kembali saling menggoda. Di luar itu, sebenarnya aku butuh bertukar pikiran. Aku kangen dengan hal-hal menyenangkan yang jarang kami lakukan berdua. Bahkan kami tidak pernah bulan madu berdua. Bepergian hanya berdua saja. Tidak pernah."

"Sungguh?"

"Yaaa... 17 tahun kami menikah dan begini saja. Bahkan tak ada anniversary kami yang ke-17. Dia tak pernah berusaha memupuk cinta di antara kami karena menurutnya membuatkan aku teh setiap pagi dan pergi ke kantor untuk bekerja sudah cukup untuk membuktikan bahwa dia mencintaiku. Tapi aku sendiri bekerja, kok. Dan bekerja itu kewajibannya bukan bukti cinta. Bahkan untuk meminta bunga saja aku harus ngambek. Okelah dia tidak melakukan hal-hal romantis tapi minimal berikan kami waktu ngobrol dan yang terpenting, tidak marah-marah."

"Dia suka marah, ya?"

"Ya, dia memang bukan tipe yang suka membentak sepertiku. Tapi energi marahnya terlihat dari wajahnya yang merengut, masam, tatapan matanya yang tidak bersahabat, penuh kebencian. Rasanya muak. Bertahun-tahun seperti itu. Kalau aku melakukan salah bicara, dia akan meninggalkanku, pergi, diam, mendiamkan aku. Aku muak!"


Puisi - Lautan Yang Lurus

Monday, August 5, 2024

 Aku menuliskan puisi ini pada tahun 2019. 

Saat itu belum memahami kenapa aku menulis puisi ini. Sekarang aku paham, kemana aku dan suamiku akan berlayar. Bukan sembarang arah, ke sembarang pulau. Tapi ada jalan pertobatan yang penuh gelombang dan badai. Menuju cahaya-Nya kelak. 


****

Puisi 


Lautan Yang Lurus 


Kita mulai berlayar

berangkat menuju jannah

melewati lautan fana manusia 


kau genggam erat aku,

ketika ada angin dan badai mengguncang kapal


Jangan sampai ada yang retak

Setiap air yang dibelah buritan 

ada kenangan yang memenuhi kepala.


Pastikan arah kita tak berubah, lurus kepada-Nya.


Achi TM

2019



Puisi : Riuh

Thursday, October 5, 2023

 Ayah 

Di sini ternyata terlalu riuh

Banyak kata puja puji melantun 

Saya profesor, saya anak ulama, saya cucu raja, saya dan saya. Semua kebanggaan semu terlempar di udara lalu sesak masuk ke dada. 


Aku bukan siapa-siapa ayah 

Aku hanya menjadi anakmu saja

Kamu yang selalu bilang ayah bukan siapa-siapa

Hanya hamba Allah yang berusaha berjihad melawan hawa nafsu. 


Aku juga ingin menjadi bukan siapa siapa itu ayah

Tapi rasa tinggi hati menjulang selangit

Sakit rasanya meruntuhkan ego

Ingin rasanya ikut riuh

Aku adalah begini aku adalah begitu

Ikut menjadi mulut-mulut yang basah oleh status dunia semata, di antara mulut-mulut yang ribut mengakui dirinya terhormat.


Lantas aku bungkam

Jariku gemetar menahan diri

Untuk apa aku ikut berisik ya, Ayah? 


Toh kelak hidup ini hanyalah penggalan sunyi di dalam tanah. Sepertimu yang telah damai bersama-Nya. Iya, kan Ayah? 

Tangerang, 5 okt 2023 

*ketika insecure merajalela


Puisi - Selayaknya Tak Perlu Cinta

Saturday, July 8, 2023

 Judul : Selayaknya Tak Perlu Cinta

Karya : Achi TM


Selayaknya memang tak perlu dirayakan 

Hari pernikahan itu, yang menjadi awal seteru

Kisah cinta, romantisme dan asmara hanya datang di sela amarah. Menyusup perlahan saja kemudian hilang disekap air mata. 


Selayaknya memang tak perlu dirayakan pernikahan itu. 

Karena kelambu malam pertama

Atau bunga bunga yang segar menjelma layu seperti rinduku atas kelembutan mu


Selayaknya memang tak perlu dirayakan pernikahan itu

Meski tahun berganti, angka dibuka dan ditutup, usia dilewati dan ditiup 

Tak mengubah apa apa soal cinta kita

Aku masih dengan cangkang kosong yang merindu kasihmu

Kamu masih dengan bara yang menolak bahagia 


Pun ketiga pasang cahaya mata yang hadir tak membuat kita Seiya sekata dalam segala hal. 

Bentakanmu

Tatapan bengismu

Kebencianmu

Berpadu dengan cinta dan kasih sayangmu


Tapi

Bak 

Air susu

Tercampur air parut

Akan membuat air itu keruh

Tak bisa kunikmati


Pun 

Sajian cintamu 

Penuh onak duri

Tak mampu kukunyah

Tak sanggup kutelan

Rongga hatiku tetap kosong

Hampa

16 tahun berjalan 

Dan aku masih menghitung usia yang sia sia 


Menyesali bunga yang kau selipkan di jemariku, tak lantas mengubah hidup ini. 


Aku akan menunggu

Ketiga cahaya mata kita berpendar terang di angkasa

Kelak mereka akan menunjukkan jalan padaku

Kemana aku harus keluar dari kemelut pernikahan 


Mereka akan membentangkan jalan padaku

Memberi aku ruang untuk mengenali diriku yang dulu 


Yang hilang sejak aku bertemu denganmu

Puisi - Menggantung Malam

Monday, July 3, 2023

 Menggantung Malam

Oleh : Achi TM 


Puisi  


Aku ingin mati dalam kenangan masa lalu

Berhenti di situ

Saat kita tertawa dengan lepas 


Berbaring di kasur dingin

Menatap langit kamar yang bolong

Seraya mengupas hal hal remeh 

Tak ada perdebatan

Atau bentakan

Ringan saja cerita kita

Sampai mata sulit terlelap

Sampai janji saling menua


Sayang

Aku masih hidup

Dalam deru marahmu


***

Buat kamu 

Yang merasa lelah atasku

 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati