APEL YANG TERCECER

Tuesday, January 3, 2012

Ini tulisanku saat masih belajar membuat cernak tahun 2006 wah sudah 6 tahun yang lalu ^_^

APEL YANG TERCECER
~ Achi TM ~

            Di suatu desa yang sangat subur hiduplah seorang pemuda miskin bernama Alen. Dia malas bekerja. Setiap hari Alen hanya berjalan santai mengelilingi jalan setapak perkebunan warga sambil melihat-lihat ke bawah. Berharap ada uang jatuh dari langit atau hasil kebun yang tercecer. Ia selalu membawa keranjang kosong untuk diisi.
            Hampir setiap hari Alen menemukan ada beberapa tomat, cabai segar, buah apel, gandum, dan ketimun yang jatuh dari keranjang petani. Terkadang Alen juga menemukan beberapa keping uang emas yang sudah kotor. Hasil buah dan sayuran temuannya itu sering Alen jual ke pasar dengan harga yang sangat murah dan tentu saja membuat petani lainnya menjadi kesal karena dagangan mereka menjadi tidak laris.
            Alen juga tidak pernah membantu warga yang sedang kesusahan. Bila ada tetangganya yang meminta bantuan, Alen selalu meminta imbalan. Bila tidak diberikan maka Alen tidak mau membantu.
Suatu hari Alen mendapatkan banyak buah apel yang tercecer di jalan. Alen bersiul senang menuju pasar untuk menjual apel-apel itu ketika berjalan di sekitar perkebunan, Alen mendengar ada orang berteriak meminta tolong. Suara itu berasal dari pinggir parit. Alen berlari menghampirinya dan melihat ada seorang kakek tua yang terjatuh ke dalam parit.
            “Anak muda... tolong... tolong aku,” ujar kakek tua itu merintih kesakitan.
            Alen berpikir sejenak sambil mengusap dagunya kemudian dia bertanya. “Kalau aku menolong kakek? Kakek akan memberikan aku apa? Uang, buah, atau sayur?”
            “Aduh... kaki kakek sakit,” ringis kakek itu. Dia menatap Alen dengan iba. “Maafkan kakek anak muda. Kakek tidak punya apa-apa untuk diberikan pada kamu. Tetapi bila kamu mengeluarkan aku dari dalam parit ini, aku akan selalu mendoakanmu selalu sehat dan murah rejeki. Tolonglah anak muda... tolong aku....”
            Alen menggeleng cepat lalu melangkah pergi meninggalkan kakek tua itu yang masih kesakitan di dalam parit. “Enak saja! Memangnya doa bisa membuat aku kaya! Suruh saja orang lain menolong kakek!” ketus Alen.
            Kakek tua itu menangis dalam hati dan berdoa pada Tuhan agar Alen diberikan kesadaran. Keesokan harinya, Alen berjalan lagi di sekitar perkebunan. Di tengah jalan dia bertemu seorang anak kecil yang jatuh dari kuda. Kaki anak kecil itu berdarah dan kudanya juga terluka.
            “Kakak... kakak! Tolong kami! Tolong aku dan kudaku...” ujar anak kecil itu sambil tersedu, “aku dari desa sebelah, kak! Tolong kakiku berdarah sangat banyak.”
            Alen melihat kuda anak kecil lalu menjentikkan jari. “Baik, aku akan menolongmu, tapi kudamu harus diberikan padaku.”
            “Jangan!” bantah anak kecil itu, “kuda itu bukan milikku. Itu punya majikanku. Aku hanya ditugaskan untuk mengantarkan surat pada seseorang yang ada di desa ini.”
            “Wah... kalau begitu maaf. Aku tidak bisa membantumu,” jawab Alen angkuh, “lebih baik aku habiskan waktuku untuk mencari buah dan sayur di sekitar kebun ini daripada membantumu! Huh... rugi! Cuma bikin capek saja!” Alen pun pergi meninggalkan anak kecil itu.
Beberapa minggu kemudian desa Alen dilanda kekeringan. Pohon-pohon tidak lagi berbuah banyak dan sayuran banyak yang layu. Alen tidak menemukan sebutir pun buah dan sayuran yang tercecer di jalanan. Ia pun tidak menemukan sekeping uang pun. Padahal perut Alen sudah sangat lapar dan perlu diisi. Alen berjalan dengan sangat lemah ke arah pasar. Saat melewati balai desa Alen melihat banyak sekali warga berkerumun. Setiap orang yang keluar dari balai desa pasti membawa sekarung gandum dan sayuran. Alen bertanya pada salah seorang warga.
            “Siapa yang membagi-bagikan makanan di balai desa?” tanya Alen.
            “Seorang saudagar kaya raya dari desa sebelah, cepat ikut antri sebelum kehabisan,” jawab warga tersebut.
            Karena begitu laparnya, Alen berlari menuju balai desa dan menyerobot antrian. Dia tidak peduli banyak warga yang protes. Alen berlari menuju saudagar kaya yang sedang membagikan makanan. Namun betapa terkejutnya dia ketika melihat bahwa ternyata saudagar kaya itu adalah seorang kakek tua yang dahulu pernah jatuh ke dalam parit. Di samping kakek tua itu ada seorang anak kecil yang dahulu pernah jatuh dari kudanya. Keduanya pernah meminta tolong pada Alen namun Alen menolak.
            “Ke... kenapa kalian di sini?” tanya Alen gugup.
            “Oh... kamu anak muda yang waktu itu,” jawab si kakek, “maaf kamu tidak kebagian jatah makanan untuk saya bagikan.”
            “Iya, Alen! Kamu, kan, bukan petani. Jatah makanan ini hanya dibagikan untuk petani saja. Kerjamu, kan, hanya memungut hasil kebun yang jatuh!” celetuk seorang warga.
            “Kak,” anak kecil di samping kakek tua angkat bicara kepada Alen, “kakek ini adalah majikanku. Beliau adalah saudagar kain kaya raya di desa sebelah. Waktu mampir kemari beliau pernah dirampok dan dijatuhkan ke dalam parit. Dia kemudian ditolong oleh Kepala Desa. Waktu aku jatuh dari kuda, aku disuruh mengantarkan surat ucapan terima kasih kepada Kepala Desa.” Anak kecil itu menjelaskan. “Sekarang desa ini kelaparan dan Kepala Desa meminta tolong pada Tuanku untuk membagikan separuh rizkinya.”  
Alen menunduk malu. Ia teringat akan sikap malasnya dalam bekerja. Dan betapa kikirnya dia dalam menolong orang lain. Karena tidak kebagian jatah makanan, Alen keluar dari balai desa dengan tangan hampa dan menangis penuh penyesalan. Namun tiba-tiba kakek tua menghampirinya dan menyerahkan sekarung gandum dan seikat sayur.
            “Anak muda,” ujar kakek itu, “ketahuilah. Setelah kamu pergi, beberapa buah apel yang ada dalam keranjangmu jatuh ke dalam parit. Selama menunggu ada orang lain yang mau menolongku, aku sangat kelaparan di dalam parit. Dan berkat buah-buah apel yang jatuh dari dalam keranjangmu itu aku masih bisa bertahan.”
            Alen semakin malu untuk menatap wajah kakek tua itu. “Ta... tapi, kek, buah-buah itu sebenarnya bukan milikku. Itu adalah milik warga yang tercecer di jalan.”
            “Tapi kalau buah itu tidak kamu ambil maka aku tidak bisa memakan buahmu. Bila aku tidak makan maka aku tidak akan punya tenaga untuk bisa berteriak minta tolong. Kalau aku tidak teriak, Kepala Desa tidak akan bisa tahu kalau ada aku di dalam parit. Seandainya saat itu aku mati di dalam parit maka aku tidak bisa membagikan bantuan makanan kepada warga di sini.” Papar kakek tua itu bijak. “Meskipun sebenarnya perbuatanmu itu tidak terpuji tetapi aku harus tetap berterima kasih kepadamu.”
            Dengan hati yang sangat malu, Alen mengangguk dan memahami kesalahannya. Bagaimana seseorang yang pernah ia jahati ternyata menyimpan sisi baik dari dalam diri Alen dan tidak menyimpan dendam. Sejak saat itu Alen berjanji untuk bercocok tanam sendiri dan tidak mengandalkan buah-buah yang tercecer di jalanan. Dia pun menjadi lebih rajin menolong sesama tanpa meminta imbalan. Sampai kemudian Alen menjadi seorang pemilik perkebunan terbesar di negaranya dan menjadi orang yang sangat dermawan.

No comments:

Post a Comment

 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati