Sejak
kecil, kalau aku sekolah dan ditanya data orang tuaku. Ayah selalu
bilang, lahir di Lhoksumawe, Aceh. Jadilah nama Aceh melekat-lekat dalam
hatiku. Selama bertahun-tahun. Teman-temanku bangga jadi orang Sunda,
ada yang orang Jawa, ada yang orang Padang. Tiap pulang kampung selalu
komplek rumah sepi. Kalau ditanya : kamu orang apa? Aku bingung. Mamaku
orang Betawi-Jawa, katanya ayahku dari Aceh. Apalagi di rumah ada
rencong yang dipajang ukuran besar. Kata ayah juga rencongnya
berpenghuni. Aku yang kecil akhirnya dengan bangga bilang : Aku orang
Aceh.
Meski tak paham, bahasa Aceh kayak gimana. Kalau dengar
ayah bicara dengan saudara-saudaranya memang bahasa melayu. Tapi semakin
besar aku makin tahu kalau itu adalah logat Medan. Bahasa Aceh ngga
seperti itu. Meski ayahku bisa sedikit-sedikit bahasa Aceh dia lebih fasih berbahasa Jawa, maklum lahir dan masa kecil di kampung jawa yang ada di Aceh.
Kalau hari Kartini, anak-anak memakai baju adat daerah masing-masing.
Aku bingung lalu tanya ke Ayah : aku pakai baju adat apa? Ayah jawab
pakai baju adat aceh aja. Aku pun selalu memakai baju adat aceh. Kalau
ada tugas : nyanyikan lagu daerah di sekolah, Ayah selalu ngajarin aku
lagu Bungong Jeumpa yang sampai sekarang liriknya suka ketukar-tukar.
Aaah... Ayaaah... dia dan Mama pernah ke Aceh. Saudara-saudara juga
banyak yang di Aceh. Atok dan Andung dikubur di Aceh. Tapi sampai detik
ini aku belum pernah ke Aceh. Sebelum meninggal, keinginan ayah cuma
satu. Mau mengajak seluruh keluarganya ke Aceh. Aku pun... yang sejak
kecil sudah merasa bagian dari Aceh... bangga ada ikatan batin dengan
Aceh. Meski setelah 50 tahun, ayahku menyusuri silsilah keluarga,
diketahuilah bahwa alm. Andungku sebenarnya keturunan Malaysia dan
berdarah Arab. Alm. Atokku ternyata adalah perantau dari Padang. Walaaah
ternyata buyutku juga dari Padang. Aaah... ke Padang? Aku pun belum
pernah.
Jadi... terima kasih Vie Rynov, Ch Munar AttamburyFerry Nomara dan kawan-kawan Rangkang Sastra. Bismillah... untuk pertama kalinya dan semoga bukan yang terakhir, aku akan ke Aceh.
***
Kata Pengantar kedua
Karena pernah jatuh dari tangga lantai dua waktu kelas tiga SMA, aku jadi phobia sama yang namanya ketinggian. Naik jembatan penyebrangan saja harus dipegangi orang lain, ngga berani liat ke bawah atau kepala langsung pusing dan mual. Apalagi kalau harus naik pesawat!? Nah, masalah naik pesawat ini sempet bikin heboh orang sejagat. Karena membayangkan hal-hal yang aneh, bayangin sejak kecil kalo nonton sinetron pasti ada kalimat : "Orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat." ajigileee... brapa banyak kecelkaan pesawat coba sampe banyak orang tua meninggal gara-gara naik itu? Dezig! Makin parno! Tapi mba Widuri dan Mas Ramaditya, dua pemateri lain yang diundang oleh EO di Aceh yaitu Rangkang Sastra, mencoba untuk menenangkan aku.
Masih ngeri, aku sampe bikin status : naik pesawat serem gak? Dan gak nyangka komennya membludak. Ada yang menenangkan, ada juga yang sengaja nakutin, ada juga yang bilang : kalo gerah, jendelanya dibuka aja. Deziig!
Naaah... selama dua minggu aku menenangkan diri. Saat udah tenang-tenangnya, udah siap lahir batin dah buat naik pesawat, Sukhoi jatuh! Masya Allah! *garuk-garuk tanah! Alhasil sehari sebelum hari-H saya ngga bisa tidur. Jam 12 teng bisa merem tapi sejam sekali melek, Ya Allah... izinkan hamba naik pesawat dengan selamat setiap saat! Aamiin!
Apakah akhirnya aku berani naik pesawat? Gak mungkin dibatalin doong! Koper dah siap! Materi dah siap! Abiy juga siap dibawa. Tiket udah ditangan. Glek... liat efbi, berita Sukhoi makin merajalela....
No comments:
Post a Comment