MENJELMA MATAHARI
~ Achi TM ~
Aku berlari menyusuri udara shubuh yang menusuk tulang rusuk, kakiku masih nyeri, bekas tabrakan motor kemarin. Tapi luka dan nyeri ini tak seberapa besar ketimbang kesedihan hati Narti. Dia sahabat terbaikku. Kami sudah bersahabat sejak kecil, ia adalah sosok pemimpi dan perempuan paling pejuang yang pernah aku kenal. Yang aku kenal, bukan yang kalian kenal. Ia hidup dalam kesendirian tanpa orang tua sejak usia 12 tahun, tanpa sanak saudara dan ia enggan tinggal dengan sepupu, tante, uwak atau Pak De-nya.
“Aku tak ingin menjadi beban pun tak ingin berhutang budi. Takut tak mampu aku membalas budi mereka.” Jawab Narti ketika suatu waktu aku mengantarkan makanan untuknya.
Ia lebih memilih sendiri, menempati rumah sepi di depan sawah luas membentang, yang ditemani pohon-pohon cemara yang setengah meranggas dan pohon kelapa yang tak begitu tinggi. Rumah tinggal kami memang dekat pantai, sejauh mata memandang terhampar perbukitan luas. Bila pagi disibak, perbukitan itu berwarna biru, bagaikan ombak lautan yang menggulung tinggi. Namun bila siang terang, perbukitan itu nampaklah hijaunya. Bila kabut-kabut telah disibak maka keindahan pun dapat disimak.
Rumah kami berdua dipisahkan oleh lima petak kandang sapi. Bau tai sapi selalu meruar setiap petang, sampai malam menemani dan meringkus hidung kami dengan bau kotoran mereka. Nyengat namun memberikan sensasi. Ah, bila orang kota tiba di sini, mereka mungkin hanya bersungut-sungut dan lekas kabur. Siapa tahan dengan bau kotoran sapi? Kami tahan, karena sejak kecil kami hidup berdampingan.
Sapi-sapi itu milik orang tuaku, karena tak ingin menjadi budi, Narti memilih menjadi pemerah sapi. Ia bekerja setelah shubuh berkumandang dan selesai sebelum jingga bertaburan di perbukitan. Dibawanya susu perahan itu ke pasar, berjalan kaki dengan semangat penuh. Menemani matahari yang menyongsong menyambut pagi dan dengan senyum merekah Narti selalu berteriak.
“Selamat pagi matahari!” sambil menenteng termos-termos besar berisi susu-susu segar. Setelah menempuh sepuluh kilometer perjalanan barulah ia bertemu pasar.
Tak usai ia bekerja, pulang dari pasar Narti memilih turun ke sawah. Ke sawah petak orang tuanya yang hanya terdiri dari 200 meter. Ah, tak seberapa beras yang dihasilkan oleh padi-padi yang tumbuh di atas tanah sekecil itu. Paling hanya mampu digunakan untuk dirinya sendiri. Sesekali ia memburuh, menempelkan pelepah-pelepah pisang kering untuk dijadikan hiasan kerajinan tangan. Peluh, lelah, letih tak ia hiraukan.
Bila sudah malam dan sendirian, seringkali kudapati Narti tengah membersihkan bandul besar kalung peninggalan kedua orang tuanya. Bila sedang iseng, ingin rasanya kubuka bandul besar itu dan mengintip isinya tapi Narti selalu marah.
“Mungkin saja isinya emas, Nar! Bisa dijual!”
“Orang tuaku tidak pernah menyuruhku membuka kalung ini kecuali bila bandul ini terbuka sendiri!” begitu tegasnya.
Ya sudah, aku biarkan saja ia menjaga dan merawat kalung itu baik-baik untuk kemudian ia pakai lagi. Nampaknya kalung peninggalan almarhum orang tuanya mampu membuat ia terjaga dari mimpi buruk.
Sekolahnya hanya Paket B, setelah lulus persamaan SMP, ia pun masuk Paket C.
“Tak peduli aku dengan sekolah bergengsi, yang penting aku punya ilmulah. Tak bodoh-bodoh amat!” jelasnya saat orang tua kami mengajak Narti untuk sekolah di sekolah negeri.
Sekali lagi, Narti tak ingin berbalas budi. Ah, Narti… keras sekali pendirianmu itu? Bukankah tak baik menolak bantuan orang lain? Tapi sepertinya keputusan Narti benar, setahun setelah aku sekolah SMA, sapi-sapi Ayahku terkena Antraks, tak semua memang tapi cukuplah kami merugi. Menyekolahkan aku dan kedua adikku saja sudah membuat Ayah kami harus banting tulang tiga kali lipat. Baguslah dulu Narti menolak disekolahkan….
Setelah tak lagi memerah susu, Narti memilih menghabiskan sisa shubuhnya dengan duduk di pinggir aliran sungai kecil irigasi. Menantikan matahari terbit. Tapi ia buta akan arah angin, ia tunggu matahari di ufuk Barat.
“Narti… matahari tak akan terbit dari arah barat.” Jelasku.
“Taklah… matahari terbit dari sini! Dulu sekali, waktu aku kecil, Ayahku pernah mengajakku melihat matahari di sini!” tegasnya.
“Narti… ingatan kamu itu, kan, tak kuat. Lagipula kamu tak pandai benar menentukan mata angin. Percayalah padaku. Ini arah barat! Kalau matahari terbit di barat, kiamatlah kita!” jawabku kesal.
Tapi Narti bergeming, ia memunggungiku, tetap memandang hamparan Langit yang membentang seolah kubah besar yang menaungi bumi yang bulat. Ya sudahlah, aku putuskan untuk meninggalkannya, berangkat ke sekolah. Tapi diam-diam kudapati air mata Narti menetes ke bawah. Ah… ia pasti teringat dengan almarhum kedua orang tuanya. Apa lagi yang bisa kuperbuat selain memeluknya?
Benar saja, Narti tak mendapati apa-apa, ia hanya mendapati bulan bulat penuh keemasan yang tegak diiringi bintang gemintang. Langit biru tua yang kekar perlahan-lahan tersibak, seperti robek dan memancarkan langit biru mudah keputih-putihan.
Bintang kembali ke peraduan sementara bulan menari-nari, bergoyang-goyang kecil seraya mindik-mindik di balik awan. Mengucapkan perpisahan pada malam.
“Lihat! Lihat! Setelah bulan itu tenggelam matahari pasti terbit!” Narti sumringah.
“Tapi berapa lamapun kau menunggu, matahari tak pernah muncul dari Barat. Kecuali kiamat! Titik!”
Narti tetap bergeming.
***
“Ka, kamu lihat Narti tidak?” Tanya Pak De Mul.
Lelaki yang sudah lama berimigrasi ke tanah Sumatra ini. Narti sendiri bukanlah orang Sumatra asli. Ibunya yang perempuan Jawa menikah dengan Ayahnya yang orang Medan.
“Tak tahu, Pak De… memang Narti kemana? Sudah dua hari ini aku belum bertemu dengannya.”
“Tak tahulah… rumahnya gelap terus….”
Lantas aku dan Pak De Mul pergi ke rumah Narti. Benar saja, rumahnya gelap terus. Lantas aku mengetuki rumah Narti, tak ada sahutan. Pak De Mul berharap cemas menunggu. Tiba-tiba Narti muncul dari belakang rumah sambil membawa setumpuk pakaian.
Wajahnya pucat melihat Pak De Mul. Ia menunduk.
“Narti… kamu!” sekonyong-konyong Pak De Mul memukul Narti. Sebelum ada pukulan kedua, aku segera melindungi Narti.
“Pak De apa ini!? Tahu begini tak kuajak Pak De ke rumah Narti!”
“Pantas saja kamu aku panggil tak menjawab! Rupanya kamu mau ingkar!”
“Apa pula Pak De! Apa Narti? Kenapa? Ada apa!?” aku mulai kesal.
Kurasakan Narti menangis di punggungku.
“Rika, sahabatmu ini sudah mengkhianati kepercayaan Pak De! Dia bilang mau pinjam sapi Pak De untuk bajak sawah! Tapi nyatanya sapi itu sekarang mati digorok orang!”
“Pak De tak mau dengarkan penjelasanku! Sapi itu dicuri… dicuri saat aku sedang tertidur!”
“Makanya kerjamu tak becus! Hilang sapiku! Ganti sapiku! Tujuh juta aku rugi!” Pak De Mul menjulurkan tangan kekarnya ke sampingku, tepat mengenai wajah Narti.
Sekuat tenaga aku menahan lengannya yang besar penuh otot. Apalah tanganku? Tak mampu menahan laju tenaganya yang besar. Jadilah aku didorongnya habis-habisan. Tersungkur di tanah, wajahku terjerembab, tersuruk ke dalam lumpur basah.
Di sela-sela mataku yang kotor oleh lumpur, kulihat Narti tengah dipukuli oleh Pak De Mul. Kaki lelaki itu menendangi tubuh Narti yang kurus. Kalung bandul Narti terjatuh, susah payah Narti melindungi kalung itu agar tidak diinjak-injak oleh Pak De Mul. Maka aku bangkit dan mendorong Pak De Mul kencang-kencang. Benar kata orang, emosi mampu menjadi manusia lebih kuat. Sekarang aku emosi, tak terima sahabatku dipukuli oleh Pak Denya sendiri!
“Pak De! Narti itu keponakan kandung Pak De! Dia tak sengaja pula menghilangkan sapi itu, hah! Jangan kejam kau, Pak De!”
“Aaaa…. Aku ngga peduli! Uang dan saudara tak ada hubungannya! Kalau bulan depan tak kau kembalikan uang sapiku, kuambil rumahmu!” teriak Pak De Mul seraya berbalik badan dan pergi meninggalkan Narti yang menangis sesegukan.
Berkali-kali Narti menghapus air matanya.
“Aku tak bohong, Rika! Demi Allah… orang tuaku tak pernah mengajarkan aku berbohong!”
“Ya… aku mengerti!” aku memeluk Narti lirih.
Mencuri sepotong roti saja kau tak sanggup apalagi seekor sapi? Batinku perih. Pahamlah aku kini mengapa Narti tak ingin berbalas budi pada Pak De Mul.
***
Narti berhenti sekolah, ia memilih bekerja banting tulang untuk menggantikan sapi Pak De Mul yang hilang. Tapi sekuat apapun ia bekerja, pagi, siang, sore, malam. Uang tujuh juta tak mampu terkumpul dalam waktu satu bulan. Maka tanpa ada belas kasihan Pak De Mul merampas rumah Narti. Merebut akte rumah itu dan mengungkit-ungkit masa lalu.
“Dulu! Aku yang membelikan rumah ini untuk Ibumu! Jadi jangan kau minta lagi! Beruntung aku tidak menagih lagi uang sapiku!”
Luntang-lantunglah kini gadis itu.
“Narti, kau, kan sudah besar. Menikah sajalah kau… nanti kukenali dengan anak juragan. Cantik pula kau, tak perlu segan!” timpal Uwaknya Narti, istri dari Pak De.
“Umur saya baru tujuh belas tahu Uwak, saya masih mau mencari ilmu…. Barat dan Timur saja saya belum paham….” Jawab Narti lalu pergi sambil menenteng tasnya yang penuh dengan baju.
Uwaknya sendiri tak mau membantu Narti. Suami istri sama saja, menganggap Narti sudah besar. Sudah bisa mandiri! Sudah bisa cari uang sendiri! Ah… Ya Allah… ampuni dosa mereka. Kukira saudara yang kejam hanya ada di sinetron, tapi ternyata banyak yang tak tahu bahwa sinetron dibuat karena terinspirasi oleh kejamnya kehidupan nyata.
Tak pahamkah mereka tentang kasih sayang sesama manusia? Narti baru 17 tahun! Baru 17 tahun! Sebatang kara dan sendiri. Ia hanya dibekali uang seratus ribu saja.
“Narti, kau gunakan saja uang itu untuk membeli bilik. Untuk tempat kau bernaung.”
“Tak usahlah… uang ini akan kugunakan untuk sesuatu….”
“Narti, kalau saja bisnis Ayahku sudah membaik, aku pasti mengajak kau tinggal di rumahku.”
“Tak apalah, Ka… hidupku sekarang menjelma malam. Gelap, gulita dan mendung….”
“Tapi masih ada bulan dan bintang, Narti.”
“Mana pula ada bulan dan bintang di malam yang mendung?”
Dan tangisnya pun pecah.
***
Narti tinggal di gubuk reyot dekat sawah, bila mandi ia pergi berkilo-kilo meter ke sungai, mencari tempat yang agak tersembunyi untuk membersihkan badan. Ia memilih untuk berpuasa dan buka puasa dengan makan umbi-umbian goreng serta air minum gratis dari pemilik warung gorengan.
Panennya gagal. Padi di sawah milik orangnya habis dilalap hama tikus. Runduklah sudah hidupnya. Ia mencoba tegar seperti perempuan-perempuan perkasa yang sering diliput oleh televisi atau diceritakan dengan mahir oleh penulis novel. Tapi Narti bukanlah tokoh fiksi, ia bisa menangis meleburkan dukanya pada malam hari dan kembali menyekanya ketika menanti matahari.
Tapi ia tak juga bergerak dari duduk di tepi sungai irigasi. Menghadap ke barat, menantikan bulan hilang dan berganti matahari.
“Kenapa kau tak mau mendengarkanku, sih? Matahari itu terbit dari Timur! Dan kau sedang menghadap ke Barat sekarang! Cobalah tengok ke belakang!”
Narti menoleh ke belakang. Semburat jingga menghambur dari balik pepohonan yang tinggi-tinggi dan rimbun yang menutupi kampung kami. Matahari pagi tertutup oleh pepohonan itu, maka Narti tak dapat melihat kemilaunya.
“Aku tahu matahari dari arah Timur. Dan dulu di sinilah Ayah pernah mengajak aku melihat matahari terbit.”
“Kau hanya terjebak pada kenangan masa lalumu, Narti! Aku ingat betul! Dulu Ayahmu mengajakmu kesini untuk melihat matahari terbenam! Jangan lagi kau bolak-balik fakta dengan bilang Ayahmu mengajak kau melihat matahari terbit! Aku ada bersamamu saat itu!” aku terengah. Gemas melihat semangat Narti luluh lantak perlahan-lahan.
“Dulu… dulu Ayah pernah bilang! Kalau Matahari terbit dari Barat maka usailah hidup kita!”
“Astagfirullah Al-Azim! Narti! Inget Tuhan! Inget Tuhan!”
Ah… miris hati ini. Jadi selama ini Narti memang berharap matahari akan muncul dari Barat.
“Mari kita ke arah Timur kampung, kita lihat matahari Narti….” Ajakku tak kuasa menahan pilu.
Narti hanya menggeleng.
***
Sudah hampir dua minggu aku tak melihat Narti, aku terlalu sibuk mengikuti bimbingan belajar di sekolah. Sebentar lagi aku akan menghadapi Ujian Nasional. Berdebar rasanya bila menerka-nerka apakah aku bisa Lulus UN? Apakah bisa melanjutkan kuliah? Ah, kusimpan dulu pikiran itu. Baiknya aku menengok Narti. Lama tak kulihat ia pergi ke sungai.
Benar saja dugaanku, Narti sudah tak ada di sawah, bahkan gubuk kecil yang ada di sawahnya sudah musnah. Lahannya pun kini berganti pohon jagung yang masih kecil-kecil dan seorang lelaki tua, sesepuh kampung kami tengah menyiangi rumput-rumput di pinggiran tanaman jagung itu.
“Narti kemana, Pak?”
“Sawah ini sudah dijual kepada saya…. Tak tahulah aku Narti ada dimana.”
Cemas di tubuhku pun mulai menjalar-jalar. Narti? Kamu dimana? Kemana? Ya Tuhan… lalai sekali aku menjaga sahabat kecilku satu-satunya. Aku terduduk lemas di dekat sungai irigasi. Matahari terbenam dari ujung perbukitan. Ah… iya, kutunggu saja besok shubuh di sini. Bukankah setiap pagi Narti selalu menunggu matahari terbit dari Barat? Ia pasti ke sini.
Namun lama kutunggu-tunggu, Narti tak juga muncul. Padahal bulan sudah mulai dilalap awan. Kemana Narti? Ah… aku tak boleh menyerah. Maka esok harinya, selepas shubuh bergegas aku mengendarai motor. Agar lebih cepat sampai namun naas, aku menabrak gerobak milik seorang petani. Memang motornya tak begitu rusak tapi kakinya nyeri dan sakit. Tak apalah, kuangkat motor itu dan kudorong menuju sungai irigasi. Nyeri di kaki ini tak seberapa dibandingkan luka hati Narti. Tapi yang kutemui hanyalah kosong. Tak ada Narti di sana. Tak sosok perempuan yang menunggu matahari dari arah Barat.
Berhari-hari aku mencari sampai sepi mengigit sumsum. Aku rindu akan sosok Narti. Aku rindu bercanda dengannya meski matanya penuh hujan. Aku rindu memberinya nasehat, atau mungkin Narti jengah dengan segala nasehatku? Ujian Nasional yang semakin dekat pun tak kuhiraukan. Hidup tanpa gairah bila menjalani hari tanpa teman bukan?
Bulan sudah tenggelam, semburat jingga berpendar. Tak ada matahari terbit di hadapanku. Ya, matahari sudah tak bersahabat lagi, ia membiarkan Narti pergi entah kemana. Kulalui pagi itu dengan tercenung menatapi aliran sungai irigasi.
“Rika….”
Suara itu!
Aku bergegas menoleh dan mendapati Narti di depanku. Ya, seharusnya memang begitu bila menjadi kenyataan tapi itu hanya imajinasiku saja. Bukan Narti yang berdiri di depanku tapi adikku. Aku mengernyitkan dahi, ia memegang bunga Matahari yang masih merunduk.
“Sedang apa kakak di sini? Tak sekolahkah?”
“Sedang malas… kau sendiri kenapa sekolah bawa-bawa bunga Matahari?”
“Ada tugas dari sekolah untuk membawa bunga… untung saja ada yang menjual bunga Matahari ini.”
“Siapa?”
“Tak tahulah aku… temanku yang membelikan. Katanya penjualnya ada di sebelah timur kampung. Ia hanya ada di situ bila matahari terbit. Selepasnya ia pergi….”
Rasa penasaranku menggelitik. Kutatap bunga matahari di tangan adikku, bunganya kini mulai merekah menghadap ke matahari. Ah… di sini rupanya kau matahari. Matahari masih bersahabat dengan pagi. Aku tak boleh menyerah…. Besok shubuh, aku akan pergi ke Timur Kampung.
***
Langit masih gelap, bintang-bintang masih bertaburan. Penat sudah aku mencari-cari dimana kiranya ada ladang bunga matahari? Setahuku di kampung ini belum ada orang yang berladang bunga matahari. Nampaknya bunga itu bukan komoditas yang dapat dijual cepat dan sepertinya tak terlalu menguntungkan. Tapi aku penasaran, siapa orang yang hanya datang merawat bunganya di shubuh hari dan pergi saat matahari terbit?
Setelah melewati beberapa petak sawah, aku mampu melihat sebuah ladang berukuran kecil, sekitar seratus meter dengan gubuk kecil yang berada tepat di samping ladang itu. Hatiku berdegup. Aku menoleh ke belakang, ke arah barat, Nampak bulan mulai tertutup awan. Ya! Bila bulan sudah tertutup awan maka matahari akan segera terbit, bukan?
Akhirnya aku melihat sosok itu, sosok yang sudah lama kurindukan. Narti berdiri menghadap ke timur, di depan ladang bunga mataharinya yang sepetak. Aku membiarkannya menikmati pagi. Semburat Jingga membelah awan, Langit biru cerah membentang dan perlahan-lahan matahari mengeluarkan kuncupnya dari ujung perbukitan. Lantas menggeliat menampakkan wajahnya lalu seluruh tubuhnya yang cemerlang. Cahaya disambut kicauan burung-burung pagi dan gemerisik dedaunan yang bernyanyi diterpa angin pagi yang lembut. Matahari yang indah… matahari yang megah! Mengepakkan sayap sinarnya ke segala penjuru dunia dan menerbitkan harapan seorang gadis yang hampir dicucuk oleh putus asa.
“Narti!” aku memanggilnya.
Narti langsung berbalik badan. Ia membentangkan tangannya, memunggungi sang matahari. Sinar matahari seolah menembus dari tubuhnya, menciptakan sinar-sinar yang membias pencar ke sana kemari.
“Rika! Lihat! Aku menemukan matahari!”
Air mataku meleleh. Sosoknya begitu ceria kini.
“Uang seratus ribu yang kumiliki. Aku gunakan untuk membeli matahari! Matahari yang bisa menghasilkan minyak yang sangat bagus mutunya. Minyak tersebut bisa digunakan dalam masakan, saus salad, dan margarin. Matahari yang dapat menghasilkan biji! Biji bunga matahari memiliki nilai gizi yang tinggi!”
“Bukankah kau berharap matahari terbit dari barat, Narti?” tanyaku.
“Tak! Tak lagi! Karena aku melihat bunga matahari ini selalu menghadap timur! Bunga matahari….”
Narti menangis, membuka bungkusan kecil peninggalan almarhum Ayah dan Ibunya. Bungkusan kecil yang selalu dijadikan bandul kalung yang selalu ia pakai. Bungkusan kecil yang berisi bunga matahari. Biji bunga matahari yang tersimpan erat selama lima tahun dan kini ditanam oleh Narti. Ternyata bandul kalung Narti terjatuh saat gadis itu mencoba untuk bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari atas bedeng tapi ia beruntung, jatuh di bawah tumpukan rumput dan jerami. Narti menangis karena tak mati-mati, sementara kalungnya jatuh dan bantulnya pecah. Dari balik bandul itulah muncul bungkusan kecil yang terlipat rapih dan berisi biji bunga matahari. Narti menangis. Aku menangis demi mendengar ceritanya.
“Lihat… selama belum kiamat, kan, Narti! Matahari selalu datang dari arah Timur!”
“Aku akan mengubur malam mendungku dan menjelma matahari….” Tutur Narti sebelum tubuhnya merengkuh diriku.
***
Fresh From Oven* baru euy.
Belum pernah dimuat di media apapun termasuk fesbuk J
Bantul, 27 Agustus 2010
sebentar lagi menjelma matahari. lonceng pagi pun terdengar nyaring. keajaiban datang lagi.
ReplyDeleteHehehe tahun baruuu dong ;) keajaiban memang selalu datang setiap pagi. Keajaiban bahwa kita bernapas dan siap melanjutkan hidup.
ReplyDelete