Sebuah Legenda : Saling Memaafkan
Setelah berkutat dengan banyak masalah dan bersinggungan
dengan berbagai karakter manusia, akhirnya saya memahami lewat banyak kejadian.
Bahwa : kebenaran itu tidak mutlak. Kesalahan pun bukan sebuah kepastian.
Sebuah sengketa tak akan pernah selesai hanya apabila dua pihak saling
bersiteru. Saling merasa benar dan yang lain merasa salah.
Solusi yang insya allah baik, akan tercapai apabila ada
pihak ketiga yang netral dan tidak sekedar menghakimi. Siapa yang salah dan siapa
yang benar. Namun pihak ketiga juga harus bisa menenangkan kedua belah pihak
yang bersengketa agar kembali berjabat tangan dan berjalan apa adanya sebelum
terjadi sebuah sengketa.
Namun pada kenyataannya, segala teori manis tersebut
susah untuk dilaksanakan. Susahnya mencari pihak ketiga yang netral. Susahnya
mempertemukan dua insan yang bersengketa. Apalagi tidak ada itikad baik dari
kedua belah pihak. Saya pribadi, beberapa kali mengalami hal yang demikian.
Terutama apabila sengketa terjadi karena kesalahpahaman, yang sangat membuat
kusut dan susah terurai. Daripada memakan waktu sangat lama untuk bisa
mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, jalan tercepatnya adalah saling
memaafkan.
Saya meminta maaf kepada orang-orang yang pernah terluka,
tersinggung atau tidak senang dengan saya baik sengaja maupun tidak sengaja.
Saya hanyalah manusia normal yang bertumbuh dan mencoba selalu belajar dari
kesalahan. Manusia tak akan pernah tahu bahwa ia tumbuh apabila ia tidak
mengalami sebuah cobaan atau ujian. Tumbuh. Tak sekedar membesarkan badan dan
isi perut. Tumbuh. Berarti memahami arti kehidupan yang sesungguhnya. Segudang
fiksi yang dibaca atau ratusan buku motivasi tidak akan membuat kita bisa tahu
akar dan segala yang membelitnya dari sebuah kehidupan. Kehidupan yang sangat
kompleks. Sangat menyebalkan. Tapi sangat menyenangkan.
Saya tahu ketika kita sebal sama orang, kita pasti cerita
ke sana kemari. Saya pun sering melakukan hal itu. Tapi sekarang saya berusaha
mengerem segala kekesalan. Kadang menumpuknya sendiri itu lebih baik, atau
curhat dengan orang-orang pilihan. Karena ternyata, segala kekesalan, amarah
dan benci kita lambat laun akan luntur dan hilang oleh waktu. Mungkin waktu tak
bisa mengembalikan tawa dan cinta yang pernah kita rajut dahulu. Tapi niscaya
waktu akan menyembuhkan.
Bayangkan, suatu hari nanti… kau dan aku, saling
bertengkar, saling menghujat, lalu lima puluh tahun kemudian. Di saat senja
yang renta, kita berjumpa di pinggir pantai. Duduk memandangi ombak yang
berdebur pelan-pelan. Apakah kita akan saling membenci? Padahal malaikat Izrail
sudah sempat bertamu, menyampaikan salam kematian. Meskipun pada kenyataannya,
ajal tak pernah menunggu kita buat siap.
Bayangkan saat itu terjadi. Kau dan aku saling memandang…
masihkah dengan kebencian? Masihkan kematian tak juga menyadarkan bahwa kita
harus saling memaafkan? Cinta dan kasih sayang yang pernah datang pasti sudah
hilang tapi tak seharusnya berganti dengan kebencian yang berkepanjangan.
Ya… ya… teorinya memang mudah. Saling memaafkan. Tapi tak
ada salahnya mencoba bukan? Meminta maaf dengan tulus. Memaafkan dengan tulus.
Lalu berjalan dengan damai meski tak lagi bergandengan tangan. Tapi kelak di
persimpangan, apabila saling berjumpa kita bisa tersenyum dengan lepas. Seolah
menyapa sahabat lama.
Bagi saya : saling memaafkan adalah sebuah legenda. Dia berada jauh di masa lampau dan susah untuk dicari kebenarannya. Sungguhnya aku sudah memaafkanmu dengan tulus? Sudahkah kamu memaafkan aku dengan tulus? Hanya Allah yang tahu segalanya. Kita... manusia fana, hanya mampu membersihkan hati terus menerus... setiap hari.
***
RUMAH PENA,
Juli/08/2012
setuju, saling memaafkan adalah legenda..
ReplyDeletemaafin aku ya mbakkk...
:)