Stasiun
Tugu.
Gelembung-gelembung sabun
berterbangan di pintu masuk. Penjual gelembung berhasil menarik perhatian
anak-anak. Satu gelembung mengenai pipiku dan pecah. Aku tergelak kecil,
teringat masa saat aku bermain gelembung bersama adikku di Monas.
Ke Jakarta… aku akan pergi. Disertai
raut wajah sedih Pak’e yang semakin menua dan air mata Simbok yang
mengendap-endap turun di sudut matanya. Setelah pembicaraan alot selama
berhari-hari, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta.
“Kamu yakin bisa jadi penulis?”
tanya Pak’e di malam aku memutuskan untuk hijrah. Ia menyesap rokoknya
perlahan, mengalihkan gundah pada asap-asap tembakau.
Aku mengangguk penuh semangat. Meski
di dalam hati aku sendiri bingung : benarkah aku ingin jadi penulis? Aku hanya
suka menulis puisi tapi tak pernah berpikir ingin menjadi seorang penulis. Tapi
hanya itu profesi yang terpikirkan olehku. Menjadi sekretaris, administrasi
kantor, marketing? Itu sudah masuk dalam balik bantal lusuhku, hanya berkawan
dengan mimpi-mimpi di malam hari. Kantor mana yang mau menerimaku kerja?
Pernah aku bekerja di sebuah warnet,
sebagai admin. Hanya karena salah mengambil uang lima puluh ribuan yang aku
kira sebagai uang ribuan, aku dimarahi habis-habisan. Aku hanya kurang
konsentrasi saja.
Aku juga pernah bekerja di taman
bacaan. Hanya sebagai sukarelawan, di sanalah aku mengenal novel-novel milik
Samudera Hujan. Seorang penulis perempuan yang diam-diam aku berikan titel
sebagai idolaku. Bekerja di taman bacaan tidak membuat aku merasa hidup.
Mungkin aku akan bertahan di kota ini kalau saja teman-temanku tidak banyak
usil bertanya.
Setiap ada reunian SMA atau hang out
bareng teman-teman kampus dulu, selalu saja ditanya : kerja di mana? Atau
pernah kerja di mana? Ini lebih menyakitkan daripada pertanyaan : sudah menikah
atau belum? Kalau belum menikah mungkin hanya akan disangkutpautkan dengan
jawaban : belum ketemu jodohnya.
Tapi kalau belum pernah bekerja
meski sudah 2 tahun lulus kuliah manajemen, pasti akan disangkut pautkan dengan
: kepribadian aku yang kurang memenuhi syarat psikolog, atau cibiran kecil yang
menunjukkan kalau aku bodoh.
Lebih menyakitkan lagi jika harus
bertemu dengan teman-teman SMA yang pernah mengejek aku. Waktu itu sedang
pelajaran Kimia dan kami harus memasukkan cairan berwarna biru –entah apa- ke
dalam sebuah wadah. Ada tiga cairan dengan warna hijau, kuning dan biru saat
itu. Ketika giliranku untuk mencampur cairan, aku memasukkan cairan warna biru
ke dalam wadah cairan hijau. Seorang teman yang agak menyebalkan saat itu malah
menertawaiku.
“Cerah ndak lulus TK yo… ndak bisa
bedain warna!” celetuknya mengundang tawa. Mungkin lucu. Aku pun ikut tertawa.
Tapi siapakah yang tahu kalau saat
itu aku melipat sedih?
“Kenapa ndak cari guru menulis di
Yogya saja, tho, nduk? Di Yogya, kan, banyak akademi penulis. Banyak
penulis-penulis cakep juga.” Kata Simbok yang sedang mengupas bawang malam itu.
“Malah Mas Anton bilang, sekarang di Yogya sudah banyak penerbit… opo itu, yang
suka bikin-bikin buku.”
“Buat apa ke Jakarta kalau begitu?”
sambung Pak’e.
“Saya mengidolakan penulis yang
bernama Samudera Hujan, Bu. Kemarin saya lihat di internet, dia sedang ada di
Jakarta selama dua bulan.”
“Jadi ke Jakarta dua bulan saja,
tho?” selidik Pak’e.
Aku menunduk, mengangguk, memainkan
ujung tikar. Maunya, tidak usah balik
lagi ke sini sebelum aku jadi orang sukses. Sebelum aku punya pekerjaan. Kerja
apa saja di Jakarta asal aku tidak pengangguran dan diremehkan di sini. Aku
menghela napas, tak sanggup meluncurkan keluhan itu.
“Kamu itu… padahal kalau menyerah
cari kerja di Yogya, kan, bisa pergi ke Solo, Semarang, Klaten. Ndak mesti
pergi ke Kota itu. Bikin tambah sesak saja kamu.” Pak’e mematikan rokoknya lalu
bangkit.
“Ya… ndak apa-apa, tho… Mas Agung,
Mas Timo dan Mbak Yas aja bisa berhasil di sana.” Aku menyebut nama tiga
sepupuku.
“Mereka di Bekasi, bukan Jakarta.”
Ralat Simbok.
“Dekat-dekatlah, Mbok.”
“Ya… terserah kamu saja.”
Setelah janji kalau dua bulan lagi
aku akan pulang ke Yogya, Simbok dan Pak’e pun mengizinkan. Mereka mengantarku
sampai di stasiun Tugu. Mutiara sudah membelikan aku tiket kereta kemarin, jadi
hari ini aku tak perlu capek-capek mengantri tiket.
Tangan
kananku mencangklong ransel besar sedangkan tangan kiriku menarik koper.
Simbok
membawakan satu kardus oleh-oleh dari Yogya. Ada bakpia, kerak nasi, geplak, dan
yangko. Kata Simbok, aku wajib mampir ke rumah budeku, mampir juga ke rumah Mas
Agung, Mas Timo dan Mbak Yas untuk memberikan oleh-oleh dan salam dari Simbok
serta Pak’e. Pak’e membawakan satu kardus oleh-oleh lagi. Katanya untuk penulis
idolaku itu. Samudera Hujan.
Aku tergelak kecil. Apa mau orang
seperti dia makan makanan kampung begini? Tapi aku tak kuasa menolak kehendak Pak’e.
Kereta belum datang. Peron terlihat cukup sepi, karena memang bukan musim
liburan mahasiswa. Aku sengaja pergi di hari dan bulan-bulan sunyi. Penjual
roti cane melintas, seorang ibu-ibu menawarkan blangkon dan batik, seorang bapak-bapak
yang lain menjual kaos dagadu murah. Berkali-kali aku menolak dengan sopan
sampai kemudian terdengar pengumuman Senja Utama Yogyakarta menuju Jakarta
sudah tiba.
Aku, Mutiara, Pak’e dan Simbok berdiri.
Siap dengan barang bawaan, menunggu kereta datang.
“Ceraaah!” suara beberapa perempuan
yang tak asing di telingaku, membuat langkahku tertunda. Masih berdiri di kursi
peron, teman-temanku itu berlari berhamburan ke arahku.
Teman-teman geng waktu kuliah. Ada 7
orang, empat di antaranya sudah menikah dan yang pasti mereka bertujuh sudah bekerja.
Aku menyambut mereka dengan sapaan hangat. Asih mencubit pipiku kencang.
“Kenapa pergi di hari kerja? Kami
jadi harus kabur dari kantor buat ngejar kamu.”
“Iya… kirain ndak jadi ke Jakarta.”
Timpal Wuri.
“Mau apa tho ke Jakarta? Ngoyo
bener… mau cari jodoh, yo?” Sari nyeletuk dan langsung disikut oleh Dewi. Aku
pura-pura meninju bahu Sari.
“Mau nyari berondong….” Jawabku
kalem. Ketujuh temanku tertawa kencang.
Kami pun ngobrol singkat,
masing-masing memberikan wejangan. Suara deru kereta api yang datang membuat
suara mereka hilang pelan-pelan, berganti bising. Tapi kami tetap saling
tertawa sampai kemudian aku melihat sosok lelaki itu di belakang tubuh Dewi. Ia
berjalan pelan sambil memasukkan tangannya ke saku, sebuah gaya jalan yang dulu
pernah aku cintai. Semua kebisingan dan suara tawa sahabatku berubah menjadi
sebuah suara baret yang menyayat-nyayat luka. Asih sepertinya sadar kalau aku
berhenti melengkungkan bibirku. Ia menoleh ke belakang, tepat saat lelaki itu
menghentikan langkahnya sekitar 70 meter dari arah kami.
“Rah, katanya dia sudah mau bercerai
sama istrinya.” Wuri langsung bicara di dekat telingaku. Membuat bulu halusku
meremang.
“Benarkah?” tanyaku dengan bibir
nyaris beku.
Asih langsung menghalangi
pandanganku dari bayangannya. “Wis kamu di Jakarta hati-hati, ya.” Dia
memelukku erat. Asih paling tahu apa yang aku rasakan. “Aku sudah ancam dia
supaya ngga datang, tapi dia ngotot mau ketemu kamu.”
Kudengar suara Pak’e memanggilku.
Kereta sudah lama berhenti, orang-orang mulai sibuk menaikkan barang bawaan
mereka. Aku menoleh ke Pak’e dan meminta waktu sebentar dengan isyarat mata dan
bibir. Pak’e tersenyum kecil dan mengangkut koper yang aku pegang, ia naik ke
atas kereta bersama Simbok dan Mutiara. Setelah mengucap terima kasih dengan
setengah mendesis, aku kembali pada teman-temanku. Aku peluk mereka satu per
satu. Pelukan yang kaku.
Bukan karena mereka terasa jauh
dariku. Tapi pandangan lelaki itu membuat aku tak nyaman. Sampai akhirnya
lelaki itu menyeruak ke belakang tubuh Dian yang aku peluk paling akhir. Dia
menyerobot masuk pada jarak antara tubuhku dengan tubuh Dian.
“Cerah. Kalau kamu sudah sampai
Jakarta jangan lupa pulang, ya. Kalau kamu pulang, aku siap menyambut kamu.”
“Terima kasih.” Aku meringis kecil,
tersenyum kikuk, memperbaiki anak rambutku yang masih rapih. Suara dari speaker
stasiun menandakan bahwa kereta akan segera berangkat. Pak’e sudah berteriak
dari jendela kereta.
Aku berbalik badan dan berlari
cepat, setengah melompat aku masuk ke dalam gerbong kereta dan berjalan mencari
tempat dudukku yang sudah ditempati oleh Pak’e. Barang-barangku sudah dikemas
rapih di atas bagasi kereta, di samping Pak’e duduk ada seorang perempuan
berbadan mungil dan kecil, perempuan berambut lurus dan hitam lebat itu
tersenyum padaku.
Pak’e menghampiriku, memeluk dan
memberikan wejangan. Simbok eman-eman
soal oleh-oleh sedangkan Mutiara minta foto Donny Alamsyah dan tanda tangannya.
Walah… memangnya aku bisa bertemu artis semudah itu? Tapi Mutiara ngotot dan
merengek. Sampai kemudian Pak’e menariknya turun dari kereta.
Aku melambai pada mereka hingga ke
luar jendela. Pak’e, Simbok dan Mutiara berbaur dengan ketujuh temanku. Mereka bertujuh
ribut bukan main.
“Awas kecantol cowok ganteng, ya!”
teriak Asih yang sepertinya sengaja memanas-manasi lelaki di belakangnya.
“Oleh-oleh, yo… emasnya monas!” seru
Wuri.
“Awas kalo ndak pulang pas reuni…
putus hubungan!” teriak yang lain dan disambut gelak tawa.
Aku hanya terbahak sambil terus
melambai dan melambai. Kurasakan kereta perlahan bergerak maju, bayangan tubuh
mereka semakin jauh. Bagaikan layar film yang berganti adegan. Sosok lelaki itu
yang terakhir aku lihat, ia melambai penuh arti dan segera kutarik tanganku
agar tak membalas lambaiannya. Tubuhku seperti kaget, terkejut dan tak tahu
bagaimana harus bereaksi, terduduk lemas. Menyandar di jendela.
Bayangan-bayangan masa lalu
berkelebatan datang. Sesuatu yang sudah lama aku kubur dan menjadi salah satu
alasan mengapa aku ingin pergi dari kota kelahiranku. Dia… dia dan dia! Lelaki
itu. Mengeja namanya saja di hatiku sudah menyesakkan. Seperti ada sebuah
tangan gaib yang menyumpal seluruh rongga tubuhku dengan daun-daun kering dan
memaksaku untuk ikut menguning.
.........
(baca lanjutannya di novel terbaru saya berjudul SUN(NY) sekuel dari novel CLOUD(Y)
No comments:
Post a Comment