"Aku sudah katakan bahwa aku ingin memupuk hubungan yang terasa hambar ini. Aku ingin kami berjalan berdua, pergi ke suatu tempat, tamasya berdua, menginap di hotel berdua tanpa anak-anak. Benar-benar berusaha saling mengenal tapi dia tidak menanggapi keinginanku. Dia merespon dengan ucapan 'ya-ya-ya' saja tapi matanya tetap memandang ponsel di tangan. Dia sibuk dengan urusannya sendiri. Sibuk dengan kesenangan sendiri, mengotak-atik ponsel bekas hingga bisa aktif lagi. Dia sibuk dengan urusan membeli printilan ponsel bekas. Scroll layar tak henti-henti. Atau mengoprek ponsel bekas rusak dengan obeng-obengnya dan segala peralatannya. Aku hanya ingin diperhatikan. Aku ingin kami bisa ngobrol. Saling berbicara. Benar-benar bisa ngobrol."
"Apa kalian tidak pernah ngobrol?"
"Jarang... sangat jarang sekali." Aku menghela napas pendek. Memandang langit-langit ruangan ini dengan mata sendu. "Padahal banyak sekali kata-kata di kepalaku. Banyak sekali yang ingin aku ceritakan. Hal-hal menyedihkan, menyebalkan, sesuatu yang membuatku marah, kebosanan yang aku dera. Semuanya. Aku mau ngobrol seperti itu. Tapi baru sebentar aku bercerita, dia sudah berkomentar. Tepatnya menjudge aku begini dan begitu. Alhasil kami bertengkar. Adu mulut. Lalu saling diam. Kemudian bila rindu, kembali saling menggoda. Di luar itu, sebenarnya aku butuh bertukar pikiran. Aku kangen dengan hal-hal menyenangkan yang jarang kami lakukan berdua. Bahkan kami tidak pernah bulan madu berdua. Bepergian hanya berdua saja. Tidak pernah."
"Sungguh?"
"Yaaa... 17 tahun kami menikah dan begini saja. Bahkan tak ada anniversary kami yang ke-17. Dia tak pernah berusaha memupuk cinta di antara kami karena menurutnya membuatkan aku teh setiap pagi dan pergi ke kantor untuk bekerja sudah cukup untuk membuktikan bahwa dia mencintaiku. Tapi aku sendiri bekerja, kok. Dan bekerja itu kewajibannya bukan bukti cinta. Bahkan untuk meminta bunga saja aku harus ngambek. Okelah dia tidak melakukan hal-hal romantis tapi minimal berikan kami waktu ngobrol dan yang terpenting, tidak marah-marah."
"Dia suka marah, ya?"
"Ya, dia memang bukan tipe yang suka membentak sepertiku. Tapi energi marahnya terlihat dari wajahnya yang merengut, masam, tatapan matanya yang tidak bersahabat, penuh kebencian. Rasanya muak. Bertahun-tahun seperti itu. Kalau aku melakukan salah bicara, dia akan meninggalkanku, pergi, diam, mendiamkan aku. Aku muak!"