Ayah (5 bulan sebelum beliau meninggal) dan Mama
2 Tahun setelah ayah
pergi aku keguguran.
Janinku baru 3 bulan
saat itu. Yang membuat aku sangat sedih adalah kehilangan ini lagi-lagi datang.
Aku teringat saat Ayah pergi untuk selama-lamanya. Aku ingat bagaimana malam
itu, setelah aku dan suamiku baru saja hendak pergi tidur, kakak iparku datang.
Mengetuk pintu dan mengatakan bahwa Ayah sudah sembuh. Rasanya dunia begitu
bahagia dan segala beban yang menghimpit terasa lega. Aku dan suami segera
berpakaian, kami membungkus Abiy dengan selimut dan bersepeda di tengah malam
menuju rumah Ayah.
Jam 2 malam saat itu. Kami belum punya motor. Kayuhan
suamiku terasa berat, setiap gelontor bannya terasa penuh tanda tanya.
Keajaiban apa yang tiba-tiba datang sehingga membuat Ayah mendadak sembuh? Padahal
baru kemarin, baru kemarin aku dan suamiku menjenguk Ayah. Kutatap mata
terakhir Ayah yang penuh dengan berjuta nasihat. Aku tahu mata itu ingin
berbicara banyak hal, sinarnya, sorotnya masih penuh semangat tapi apa daya
Ayah sudah susah bicara. Bahkan untuk duduk pun tidak mampu!
Bagaimana aku bisa dengan begitu bodohnya menyangka bahwa
Ayah benar-benar sembuh. Saat aku tiba di rumah Mama, aku langsung pergi
menyeruak masuk ke dalam rumah. Di sana kakakku tersenyum kecil lalu membisu
sambil terus menyapu lantai, kakak iparku mengeluarkan kursi dan menyingkirkan
lemari. Ruang tengah menjadi lengang. Pikiranku mendadak kusut dan campur aduk.
Mana Ayah? Katanya Ayah sudah sembuh?
Ayah lagi di jalan pulang, jawab kakak iparku tenang.
Kutatap kakakku yang masih sibuk menyapu, mengepel, memberikan pengharum ruangan.
Ia bekerja tanpa ekspresi tapi aku tahu dia tengah menahan tangis. Mendadak
kakiku lemas. Sungguh aku masih memercayai keajaiban itu. Aku terus mendesak
kakak iparku. Apa yang terjadi dengan Ayah? Berulang kali ia hanya bilang, Ayah
sudah sembuh dan akan pulang ke rumah.
Ya Allah… apa-apaan ini! Aku terduduk di kasur, menangis
sesegukan. Membayangkan situasi terburuk dan aku tak mau mengakui bahwa ini
adalah kenyataan. Berkali-kali aku memukuli pipiku, tetap sakit. Suamiku meletakkan
Abiy yang masih tertidur di atas kasur kakakku, ia lalu memelukku lembut.
Menenangkan aku agar sabar dan ikhlas.
Sabar untuk apa!? Ikhlas untuk apa?! Aku sewot bukan
main. Lalu meyakinkan diri sendiri. Ya… ya… Ayah sudah sembuh, ayah sudah
sehat! Besok bisa main lagi sama cucunya. Ya… ya… pasti keajaiban itu datang.
Kakakku menyuruh aku untuk mandi. Dia minta agar aku
menyambut Ayah dengan badan yang bersih. Aku semakin nangis menjadi-jadi. Gila!
Ini gila! Rumah sudah bersih, semua orang sudah mandi dan menyambut Ayah.
Mengapa menyambut Ayah harus begini? Kenapa tikar harus digelar? Tepat setelah
beberapa menit adzan shubuh berkumandang, aku melihat sosok Ayah datang.
Dipapah oleh beberapa orang yang asing bagiku. Terbujur kaku. Dibungkus oleh
kain batik. Bau harum kucium selintas lalu. Aku melihat Ayah sedang tidur di
atas tikar. Aku tahu Ayah sedang tidur saja. Ayah pasti bangun. Aku meraih
tangannya, masih hangat. Aku tahu Ayah pasti masih tidur. Bukankah Ayah sudah
sembuh?
Aku menunggu selama beberapa jam, matahari pagi sudah
menyibak malam. Kokok ayam pejantan di kejauhan. Satu per satu tetangga berdatangan.
Memberikan ucapan bela sungkawa. Kenapa? Ayah hanya tidur. Lihat dia terlihat
damai, Ayah terlihat putih padahal kulitnya hitam. Ayah baik-baik saja, kok.
Tak perlu ucapkan bela sungkawa. Aku ingin menangis dan meledak tapi begitu
melihat Mamaku tersenyum menghadapi semua pelayat, air mata itu mendadak
tertelan oleh senyum Mama.
Mama sudah ikhlas.
Itulah kenapa Mama bisa tersenyum. Mama tidak menangis.
Itulah yang membuat anak-anaknya menahan tangis setengah mati. Tapi aku tak
sanggup dan akhirnya meledak. Sebelum ayah dimandikan, berkali-kali aku
menciuminya. Berharap dia akan bangun. Berharap ada keajaiban dari negeri
dongeng yang sudi bertandang ke rumahku.
Namun ayah tetap dimandikan. Di luar rumah, tepat di
depan masjid yang berhadapan dengan rumah kami. Tubuhnya bersinar ditimpa
cahaya. Membuat aku lega dan bahagia. Ayah begitu sempurna dalam kematiannya. Aku
masih berharap Ayah hanya mati suri lalu mendadak membuka matanya. Saat Ayah
dikafani, aku tak kuasa lagi menatap Ayah. Aku masuk ke kamar. Menangis
sejadi-jadinya sampai kemudian kami harus pergi. Untuk mengantarkan Ayah ke
tempat istirahatnya yang terakhir.
Aku tahu aku akan berada di posisi Ayah saat itu. Aku,
Mama, Kakakku, kita semua, akan melalui prosesi itu. Ditimbun tanah itu. Dan
hanya meninggalkan anak shaleh, amal jariyah serta ilmu yang bermanfaat. Aku
terduduk lemas di gundukan tanah yang masih basah. Aku yakin ini masih mimpi…
aku berharap bangun. Tapi waktu terus berjalan….
Aku bisa melalui dua tahun tanpamu, Ayah. Aku bisa
melaluinya… meski kerinduan ini dan segala kenangan tentang kita tak akan
pernah hilang.
Dua puluh lima tahun aku mengenal Ayah. Dua puluh lima
tahun aku punya ribuan kenangan yang kuingat maupun luput dari ingatanku. Dua
tahun aku bisa menerima kepergianmu Ayah. Selama ini aku hanya berpikir kau
pergi dinas ke Padang dan entah kapan pulang. Tapi aku salah… kau sudah
berpulang ke tempat abadi.
Malam ini aku mengelus perutku yang sudah kempes. Kosong.
Dear my angel : baru tiga bulan kita berkenalan. Semoga
aku tak butuh dua tahun untuk menerima kepergianmu. Baru tiga bulan kita
bertemu di dunia yang berbeda. Semoga kelak kita berjumpa di Surga, Nak. Bersama
Atok, Ayah, yang sudah mendahului kita.
Ya Allah… jika ikhlas adalah sebuah pelajaran yang begitu
sulit, izinkan aku untuk mempelajarinya. Lewat cinta kasih-Mu. Dekap Aku….
Achi TM
(Rumah Pena - 22 Juni 2012)
Achi TM
(Rumah Pena - 22 Juni 2012)
No comments:
Post a Comment