CINTA AKAN MENEMUKAN TEMPATNYA SENDIRI
~ Achi TM ~
Seperti semerbak harum
hujan menyusup ke dalam bulu halus hidung, seperti itulah napas yang
pecah-pecah datang pada Silvia. Napas yang selalu membacakan pesan cinta, pesan
rindu angin pada titisan embun pagi. Pesan dari tanah untuk titik pasukan
langit yang terus menghujam bumi. Suara camar yang hilang di cakrawala lautan
lepas, Silvia tiba-tiba merindukan napas itu pada malam ini. Ia tersentak pada
suatu kesadaran bahwa ia sudah melampaui batas perasaan.
Ping!
Sebuah pesan singkat masuk ke Facebooknya. Silvia sedang chating dengan seorang pria di ujung
sana, namun bukan pria yang biasa memberikan ia napas cinta. Pria ini
memberikan lebih dari sebuah napas. Ia menjulurkan sebuah nyawa bernama
‘selingkuh’.
Dani
: Sil… gimana? Besok bisa ketemu di kantin kampus?
Silvia
menghela napas. Ragu-ragu ia menjawab, mengetik tuts keyboard pelan-pelan.
Silvi
: Tapi aku ngga bisa meninggalkan Rangga. Dia masih di rumah sakit.
Dani
: Ini terakhir kalinya, Sil. Ijinin gue buat buktiin kalau cinta gue lebih
besar dari Rangga.
Silvi
: Aku ngga bisa, Dan… ngga bisa … di saat Rangga sedang sakit. Maaf.
Suara napas pecah-pecah itu datang
kembali menerobos gendang telinga halus Silvia. Suara Rangga bertalu-talu,
memaksa tangannya menutup layar laptop. Membiarkan Dani dalam ketidakpastian.
Hujan masih mengguyur Jakarta malam
ini. Silvia terkejut saat sebuah tangan menarik bahunya halus. Tergeragap ia
memasukkan laptop kecilnya ke dalam tas laptop. Silvia tersenyum pias pada
wajah Bu Azizah, calon mertua yang kini ada di hadapannya.
“Silvia, Rangga sudah sadar. Ia
terus memanggil nama kamu. Masuklah….”
“I… iya, Bu….”
Silvia mencangklong tas laptopnya
lalu dengan takzim memohon diri. Berjalan memasuki kamar rawat inap Rangga.
Koridor rumah sakit nampak senyap, menikmati nyanyian air bumi.
***
Di ujung langit paling dalam yang
terletak di hati Silvia sesungguhnya ada sedikit rongga yang membuat napasnya
lega. Rongga menguap bersama rayu-rayuan seorang Dani. Ketika kekosongan mencabik-cabik
hubungannya dengan Rangga, Dani datang menutupi rongga hampa di dalam jiwanya.
Dani membawakan sekuntum tawa dan sebingkai mimpi-mimpi indah tentang sebuah
hubungan.
Bukan Rangga yang selalu memberikan
kepastian dengan tergesa-gesa termasuk meminang Silvia di umurnya yang masih 20
tahun. Hanya tinggal menunggu Rangga mendapatkan pekerjaan, ia akan segera
menikahi Silvia. Cinta lelaki itu pada Silvia melebihi cintanya pada diri
sendiri. Tidak terlalu overprotektif namun cukup membuat Silvia merasa
terkekang. Ia tak kuasa menolak segala kebaikan Rangga. Perhatian lelaki
tampan, kebaikan Rangga yang terus membuncah-buncah, memanjakan Silvia seperti
Putri Tidur yang baru terjaga dari mimpinya. Silvia terbuai… nyaman dalam
‘rahim’ ciptaan lelaki itu. Terkurung dalam selaput beningnya yang membuat
napas Rangga selalu pecah-pecah di hati Silvia. Napasnya seolah ada menempel
dalam setiap langkah gadis itu. Rangga sudah beranjak 25 tahun. Tepat di hari
ulang tahunnya, ia sakit.
Bukan sebuah sakit yang parah, hanya
tipes biasa.
Namun cinta kasih Bu Azizah yang
luar biasa, membuat seolah Rangga sakit begitu keras. Rupanya segala curahan
kasih Rangga mengucur dari keran cinta sang Bunda.
Pagi ini Silvia menyuapi Rangga.
“Dokter bilang, sore ini udah bisa
pulang, say….”
Rangga menerima suapan cinta dari
Silvia. Ia mengunyah begitu bersemangat. Nafsu makannya sudah bertambah sejak
dirawat seminggu yang lalu.
“Bunda ngga percaya sama obat cina,
sih….” Rangga bertahak di tengah kunyahannya, matanya menatap Silvia
lekat-lekat. “Padahal kalau pakai obat tradisional itu, ngga perlu sampai
selama ini di rumah sakit. Kalau gini terus, pernikahan kita bisa ketunda
melulu…” jemari telunjuknya menghentikan sendok yang disuapkan ke arah
mulutnya. Rangga menyadari sesuatu, mata Silvia menerawang jauh menembus
jendela. Rangga menjentikkan jari. Silvia tergeragap dan berpura-pura batuk.
Tanpa sengaja ia menjatuhkan sendok, suara dentingannya beradu dengan lantai.
Silvia gugup, ia membenahi sisa-sisa bubur yang jatuh ke kasur.
“Maaf, Rangga… aku ngelamun….”
Segaris kekecewaaan mengerucut dalam
mata Rangga. “Yes I know….”
“Rangga… aku….”
“Ya sayang?” suara Rangga kembali
lembut. Menghentikan protes yang meledak-ledak dalam diri Silvia.
Wanita itu menunduk, mengenggam asa
yang pedih.
Rangga
aku… mencintai lelaki lain. Aku mencintainya….
***
Dani berlari menyusuri koridor
kampusnya, ia menerabas beberapa mahasiswa yang sedang bermain bola di koridor
atau mengabaikan sapaan hangat mahasiswi cantik yang memuja ketampanannya. Dani
bergegas, memanjangkan langkahnya demi menggamit lengan seorang Silvia. Gadis
itu tersentak, ia takjub melihat lelaki berdada bidang, berambut cepak, dengan
gingsul lucu di taringnya, tengah tersenyum padanya seraya menjulurkan sebuah
kalung perak dengan bandul tiga tangkai bunga mawar.
“Apaan, nih, Dan?” Silvia tergelak.
“Pagi-pagi udah bikin rusuh aja….”
“Aku, kan, udah janji… setiap pagi
aku bakalan kasih kamu kejutan. Apapun itu. Besok kamu mau apa?”
Jemari Dani menarik kelingking
Silvia. Mata gadis itu nampak jenaka, sengaja diputar-putarkan seolah sedang
berpikir keras.”Ngga tahu, ya, mau apa… coba dong sekali-sekali kamu yang
bilang mau apa…. Nanti gantian aku kasih. Kamu, kan, udah ngasih banyak barang
ke aku… tapi jangan mahal-mahal, ya.” Jawab Silvia setengah manja.
“Ngga mahal, kok…” Dani memakaikan
kalung perak ke leher Silvia. Gadis itu menyibakkan rambutnya. Dani menepuk
kepala Silvia lembut. Ditatapnya gadis penuh senyum yang mempesona itu. “Aku
cuma ingin kamu putus dari Rangga dan nikah sama aku….”
Silvia menggeleng spontan. “Ngga
bisa, Dan… ngga bisa. Rangga udah baik banget sama aku. Dia tunangan aku dan…
dan kita….”
“Dia baru jadi tunangan kamu Silvia…
kita masih punya kesempatan buat bersama. Aku tahu kamu ngga bahagia sama
dia….”
“Aku bahagia!”
“Lantas sama aku?”
“Aku juga bahagia….” Silvia tercekat
pada pernyataannya. Ya… ia memang bahagia bila berada di antara dua lelaki itu.
Silvia berbalik badan dan hendak berlari ke dalam kelas. Memunggungi Dani
begitu keras. Namun tangan Dani dengan cekat menariknya hingga tubuhnya
terhempas jatuh, kepalanya membentur tiang tembok kampus. Dani spontan
mengangkat Silvia. Gadis itu mendorong tubuh Dani menjauh. Dani memeluknya
erat, Silvia terengah. Dani segera mengeluarkan sapu tangan putihnya dan
menyeka darah di dahi Silvia. Silvia merebut sapu tangan putih itu.
“Aku ngga apa-apa… minggir… malu
dilihatin orang-orang tauk!” Silvia mendorong tubuh Dani. Beberapa orang sudah
mengerubungi mereka untuk melihat apa yang terjadi. Dani mengejar Silvia.
“Silvia maaf sayang… aku ngga
sengaja….”
“Oke… oke… oke… ugh….” Silvia
mengerang kesakitan, ia menutupi lukanya dengan sapu tangan. Dani menarik
Silvia ke arah ruang kesehatan. Pagi itu, mereka kembali tidak kuliah.
***
“Sudah berapa lama kita pacaran?”
tanya Rangga di teras rumah Silvia malam itu.
“Tujuh tahun… sejak aku masih SMP
dan kamu sudah SMA,” Silvia tersenyum kecil mengingat masa pertama perjumpaan
mereka. Rangga merenggangkan tubuhnya lalu mengambil helm di stang motor Pulsar
kebanggaannya.
“Apa tujuh tahun belum cukup
meyakinkan dirimu? Bahwa… pernikahan kita ini memang sebuah keniscayaan. Karena
nasib sudah menjodohkan kita lewat benang-benang hening yang kita nikmati
berdua.”
“Bukan nasib yang menjodohkan kita
tapi Tuhan…. Tuhan juga yang menentukan apakah nanti kita akan menikah atau
tidak. Jadi pernikahan kita bukan keniscayaan.”
“Udah ah… jangan beretorika terus…
sekarang jujur sama aku. Siap ngga kamu buat nikah sama aku?”
Silvia mengatupkan bibirnya sejenak.
Bayangan-bayangan tentang Dani seperti berkelebat jauh di atas kepalanya,
menumbuk-numbuk kepastian jiwa Silvia. Namun genggaman lembut Rangga
mematutkannya pada sebuah anggukan kecil. Sebuah anggukan yang memaksanya untuk
memilih. Mencintai Rangga seumur hidup dan meninggalkan nyawa kecil yang
bernapas dalam rongga kesetiaannya.
“Aku harus pulang secepatnya, ada
janji sama pemilik percetakan. Besok kamu lihat hasil undangannya, ya… pasti
kamu suka.”
“Ya…” jawab Silvia kecil. Ia menahan
urat-urat matanya mengguyurkan curahan tangis. Sebelum akhirnya Rangga menggas
motornya kencang-kencang, keluar dari halaman rumah mungil orang tuanya.
Silvia bersandar pada tiang kayu
teras, mengelus bahunya yang digelitiki oleh desau angin malam. Dingin mengiris
kesadarannya yang tipis.
Bolehkah?
Bolehkah jika aku memilih Dani?
Silvia terisak.
Tapi
aku tak mampu kehilanganmu, Rangga… tak sanggup sendiri berjalan…. Selama ini
langkah kita begitu nyata.
Napas Rangga pecah-pecah pada
kenangan cinta mereka.
***
“Tulislah keluhanmu dengan ini….”
Dani menyodorkan sebuah pulpen emas yang berharga mahal. Tinta pulpen itu awet
dan tak mudah dihapuskan. Silvia meraih pulpen itu dengan sumringah lebar. Ia
memekik girang. Hanya dengan Danilah ia bisa lepas, membebaskan segala gejolak
jiwa mudanya. Meskipun Dani baru 22 tahun namun ia bisa mengimbangi Silvia.
Ialah yang paling mengerti Silvia.
“Ayo… katanya pengen banget punya
tinta emas… ini mahal, lho.”
“Mentang-mentang orang kaya,
sombong… biar mobil kamu aja aku tulisin! Dani gombal! Dani gombal! Hahaha….”
“Enak aja… baru di cat nih mobil…
sini jidat kamu aku tulisin….”
“Ngga mau!”
Silvia terbahak-bahak. Tawanya
menyeruak. Pecah dibawa oleh kepakan sayap burung gereja. Dani dan Silvia
saling berebutan pulpen, berlarian mengelilingi mobil Honda Jazz Dani. Akhirnya
pulpen emas itu hanya didekap di dada. Napasnya terengah. Ia masih dalam nuansa
tawa.
“Pulpennya aku simpan aja, ya… siapa
tahu berguna….”
Dani mengangguk. Membiarkan Silvia
melakukan apa yang ia suka.
***
Rangga menyematkan bros melati di
kerah kemeja pink yang dikenakan Silvia. Gadis itu tersenyum manis. Ia menatap
undangan pernikahan mereka penuh dengan rekahan bibir. Indah sekali undangan
itu, membuat siapapun akan berdecak kagum menantikan mewahnya pesta pernikahan
mereka.
“Bagus banget Rangga… tapi ini foto
kita dua tahun yang lalu, kan? Kenapa ngga pakai foto yang sekarang?”
“Soalnya, di foto itu aku hanya
melihat diriku di matamu… entah mengapa. Akhir-akhir ini aku tak menemukan bayanganku
di matamu.”
Jantung Silvia berdegup. Ya…
tepatnya satu tahun yang lalu. Pancaran cinta itu meredup. Sejak Dani bertemu
dengannya di Mall dekat kampus. Sejak Dani menolongnya dari tangan jahil om-om
hidung belang. Sejak Dani mengajaknya berkeliling Jakarta dengan bus kota.
Sejak Dani membiarkannya bebas, mendengarkan segala keluh kesahnya tentang
Rangga dan sejak itulah sejumput rongga setia telah direnggut oleh Dani. Silvia
tersenyum ringkih. Rangga menatap mata Silvia dengan pedih.
Meski diam-diam, Silvia paham bahwa
Rangga bukan lelaki bodoh. Ia tahu bahwa Silvia menduakan cintanya dan ia diam.
Diam menunggu cintanya kembali penuh kepangkuannya. Rangga tak marah. Silvia
terguncang dalam senyumnya.
***
Ia tuliskan kalimat itu di sapu
tangan putih milik Dani. Sapu tangan yang masih menyisakan seberkas darah di
keningnya. Ia tuliskan kalimat itu dengan air mata.
CINTA AKAN MENEMUKAN TEMPATNYA
SENDIRI…..
Cinta akan menemukan tempatnya
sendiri….
“Cinta akan menemukan tempatnya
sendiri, Dan….”
“Tapi cintaku sudah menemukan
tempatnya, di hatimu, Silvia!”
“Tapi hatiku telah diisi oleh
Rangga. Begitu lama terisi sampai sesak rasanya membiarkan ia pergi. Aku tak
bisa meletakkan dua cinta pada satu tempat, Dan. Maafkan aku… maafkan.”
“Aku tak bisa menemukan tempat lain
untuk cintaku kecuali hati kamu!”
“Maaf, Dani! Maaf!”
Silvia menyelipkan sapu tangan itu
ke genggaman tangan Dani. Ia lambaikan satu salam perpisahan tanpa kesan. Ia
biarkan air mata bebas mengumbar-ngumbar tariannya di udara. Ia sudah cukup
tertekan mengambil keputusan ini. Biarlah kini Rangga yang bersarang di
jiwanya. Menyuburkan kesetiaannya sebagai wanita. Menjadikannya perempuan yang
memegang teguh pada komitmen. Silvia tak mau dimabuk cinta sementara. Ia yakin
bahwa Rangga adalah terakhir dan terbaik. Melebihi segala kebaikan yang pernah
Dani berikan.
Dan ternyata….
Malam itu kembali langit memecahkan
mendung. Rintik pasukan langit menghujam jalanan setapak yang dilalui Silvia.
Gadis itu beringsut di pinggir sebuah ruko. Ia menekan nomor HP Rangga. Saat
ini yang ia butuhkan adalah Rangga.
“Rangga… Rangga cepet ke sini, ya…
aku butuh kamu.”
“Kamu kenapa, Silvia?” suara Rangga
terdesak di ujung saluran. “Kamu dimana?”
“Di
depan ruko-ruko deket kampus….”
Silvia
mengigil. Rangga bergegas mematikan HP. Ia keluar dari nyamannya balik selimut
kamarnya lalu pergi ke garasi dan menyalakan motor Pulsar besarnya. Disambarnya
jaket tebal, jas hujan dan helm. Rangga menyalakan mesin, meraung-raung
melintasi suara halilintar. Ia gelisah, pandangannya kacau. Mengkhawatirkan
cintanya yang terisak.
Dani menghampiri Silvia dalam derasnya hujan.
Tubuhnya basah kuyup.
“Jadi
kamu udah milih dia?”
“Iya…
maafin aku, Dan….”
“Oke!
Oke! Terserah kamu SAYANG! Terserah! Aku emang cowok bodoh yang cuma mengharapkan
cinta dari seorang Silvia!”
“Maafin
aku, Dan!”
Dani
berteriak keras. Memekakkan telinga Silvia. Ia menendang body mobilnya lalu
membuka pintu mobil dengan kesal.
“Pulang,
Sil… aku anterin kamu pulang.”
“Ngga…
aku ngga bisa bikin Rangga terus sedih. Aku udah banyak nyakitin dia. Aku mau
malam ini Rangga yang jemput aku pulang!” Silvia setengah berteriak dalam
isaknya.
Dani
menahan geram, dengan sedikit menyesal ia masuk ke dalam mobil. Memutar kemudi
dengan kencangnya. Mobilnya melesat kencang, melaju gelap malam. Silvia
memejamkan mata. Ia berharap ketika mata itu terbuka. Ia bisa melihat Rangga
datang menghampiri dan memeluknya. Menenangkan ia bahwa semua baik-baik saja.
Namun Rangga tak kunjung tiba. Meski mata itu telah lelah oleh air mata.
***
Suara
tabrakan yang keras terdengar di sudut kota Jakarta. Sebuah mobil Honda Jazz
yang melaju kencang menabrak Pulsar hitam seorang pemuda.
Silvia
terhenyak dalam penantiannya. Hatinya berdebar. Ia berlari.
“Silvia!
Rangga! Rangga kecelakaan!” suara panik suara di HP membuatnya tak ingin
berhenti berlari.
***
“Rangga!
Rangga bangun! Rangga bangun!” teriakan pilu Bu Azizah mengguncang nurani
terdalam Silvia. Tubuh itu kini beku, berlumuran darah, basah oleh hujan yang
mendera. Tubuh Silvia seolah terpasung sebelum akhirnya yang menghamburkan
dirinya dalam kubangan darah. Perawat membawa tubuh Rangga ke ruang ICU namun
terlambat. Tak ada lagi nyawa bersarang di sana.
Kini
napasnya telah pecah-pecah. Benar-benar pecah. Napasnya pecah-pecah di pelipis
Silvia. Napasnya terhenti pada emosi Dani yang menghantam Pulsarnya sedemikian
hebat. Dan kini lelaki itu harus membujur bisu. Membiarkan cintanya luluh oleh
maut.
Silvia
menatap Dani, lelaki itu berjalan terseok dengan luka ringan di dahi dan
tangannya. Ia meremas sapu tangan putih yang bertuliskan tinta emas ‘Cinta Akan
Menemukan Tempatnya Sendiri.’
Dani
menitikkan air matanya. “Aku menabraknya, Silvia… sumpah… aku tidak tahu bahwa
yang aku tabrak adalah Rangga! Aku tidak tahu! Demi Tuhan aku tak bermaksud membunuhnyaaaa….!!!”
Dani mulai histeris.
Silvia
tak mengacuhkan jerit penyesalan Dani. Ia melewati tubuh itu tanpa rasa.
Kenapa Tuhan? Kenapa di
saat aku letakkan cinta itu… kau merengutnya?
Dua
orang berseragam polisi menahan tangan Dani dan menggiringnya menjauhi rumah
sakit. Dani berteriak keras, menjelaga hingga ke dasar koridor rumah sakit.
“Silvia!
Aku tidak akan mencintaimu lagi… Aku tidak akan mencintaimu lagi! Tapi aku akan
menunggumu! Menunggu cintamu di tempatnya! Di hatiku!”
Bahu
Silvia naik turun. Napasnya pecah-pecah. Sembilu oleh desakan waktu.
***
Rumah Pena
26 Januari 2010
Pesan penulis :
Nantikan novel terbaru Achi TM berjudul CLOUD(Y)
Diterbitkan oleh Sheila Book, imprint Penerbit Andi. Launching bulan OKTOBER tahun 2012
Pesan penulis :
Nantikan novel terbaru Achi TM berjudul CLOUD(Y)
Diterbitkan oleh Sheila Book, imprint Penerbit Andi. Launching bulan OKTOBER tahun 2012
No comments:
Post a Comment