Ketika Saya Memutuskan Untuk Berhenti Menulis

Friday, January 3, 2014

Setelah saya menyelesaikan novel Sun(ny) saya merasa ingin langsung mengerjakan novel lainnya. Saya terbiasa untuk terus berkarya dan jarang sekali berhenti. Tetapi saya tahu, saya harus berhenti sejenak agar jiwa novel Sun(ny) hilang dari saya dan saya menjadi netral. Setelah saya netral saya bisa memasukkan jiwa novel lainnya.

Seperti yang biasa saya lakukan saat saya selesai menulis scenario lalu beralih ke novel, saya selalu berhenti menulis selama 1 minggu. Sebenarnya tidak benar-benar berhenti, saya hanya tidak menulis scenario dan tidak menulis novel. Saya harus menetralkan isi kepala saya, maka saya menulis puisi atau curahan hati yang tidak dipublish kemana-mana.

Menulis curahan hati sambil menangis-nangis di depan laptop itu lebih lega, apalagi bila disimpan sendiri ketimbang harus dipublish di blog. Kembali lagi ke soal menetralkan jiwa menulis saya, saat menulis satu novel ke novel lainnya saya memutuskan untuk membaca. Novel selanjutnya apa yang mau saya tulis? Saya mau menulis dengan gaya penceritaan bagaimana? Kalau di SUN(NY) saya memakai kata ganti orang pertama, maka yang selalu saya baca adalah novel-novel yang menggunakan kata ganti orang pertama. Saya menghindari novel dengan kata ganti orang ketiga. Begitu sebaliknya, setelah menulis SUN(NY) saya sudah tahu mau menulis apalagi.

Karena saya terbiasa (sejak 3 tahun lalu) membuat konsep-konsep untuk naskah novel saya. Saya belajar membuat konsep cerita setelah saya menulis naskah scenario, saat nulis scenario segala sesuatunya harus dikonsep, dari awal cerita, konflik, hambatan, penyelesaian masalah sampai surprise ending. Dari awal sampai akhir sudah jelas dan terang, sehingga membantu produser dan stasiun TV untuk melihat sejauh apa kualitas naskah atau film yang akan dibuat.

Nah, terbiasa menulis konsep scenario lalu menular ke konsep novel. Saat menulis SUN(NY) ide-ide berterbangan di kepala dan saya langsung tuliskan dalam konsep. Alhasil ada 3 konsep novel yang sudah selesai dibuat selama saya menulis SUN(NY).

Setelah menetralkan jiwa dan aura menulis saya, saya memutuskan untuk mengambil 1 konsep novel yang saya “Kepengen banget nulisinnya” rasa kepengen banget ini biasanya akan menempel terus menerus sehingga membuat saya masuk ke dalam cerita, merasuk jadi si tokoh sehingga cerita saya terasa hidup.

Ya, biasanya akan seperti itu. Akan tetapi kali ini menjadi sesuatu yang tidak biasanya. Setelah saya menulis SUN(NY) dan menetralkan jiwa selama satu minggu, saya langsung mulai menulis draft novel berjudul : a Couple Of Writer yang belakangan saya ganti judulnya menjadi Sepasang Penulis dan Kisah Cinta Yang Manis. Awalnya memang penuh semangat, sampai kemudian saya mengalami pendarahan dan harus melahirkan pada bulan Mei.

Proses melahirkan yang cepat dengan operasi sesar ternyata menyisakan luka yang sangat menyakitkan. Luka di perut luar, luka di perut dalam, yang lebih terluka tentu saja dompet saya. Luka-luka itu tidak lantas membuat saya beristirahat. Karena sudah janji akan menerbitkan buku anak kursus pada bulan Juli, dikarenakan acara launching dan sebagainya sudah ditetapkan. Maka belum sampai luka-luka itu sembuh saya sudah harus mengedit, mengurus isbn, mengurus cover dan lain sebagainya. Tentu saja semua itu dilakukan by online.

Oke, sebelum saya sibuk mengurus itu, sepulan dari rumah sakit saya dikejutkan oleh email dari bank Mandiri bahwa saya menerima hibah dana modal UKM dari kementrian UMKM (nama lengkap kementriannya saya lupa) sebesar sekian puluh juta yang nominalnya nyaris sama dengan angka biaya operasi sesar saya. Dan harus diurus hari itu juga! Hari di mana saya baru pulang dari rumah sakit. Alhasil saya langsung mengurus ini dan itu, pergi ke sana ke sini dengan perut masih nyeri tersayat-sayat plus harus memerah ASI untuk bayi saya. Esoknya saya pergi lagi untuk mengantri mengurus dokumen dana hibah. Saya anggap ini rejeki bayi dan memang modal itu saya gunakan untuk memulai bisnis baru saya : Rumah Pena Publishing.

Kembali lagi soal akhirnya mengurus naskah anak kursus. Novel itulah yang akan jadi pilot project untuk Rumah Pena Publishing, maka saya tak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Mengedit ternyata memakan waktu lama, terlebih saya harus menyelaraskan isinya juga. Setelah punya baby, otomatis saya mengurus 2 anak. Saya memang punya Asisten Rumah Tangga tapi hanya mengurus urusan domestic dan siang hari dia sudah pulang. Menyusui setiap 2 jam sekali, dengan badan pegal-pegal nyeri luar biasa, lalu menemani si sulung bermain sangat menyita waktu saya. Agar naskah ini selesai tepat waktu, saya pun mengorbankan waktu tidur saya.

Hingga selesailah bukunya, dilaunching dan dalam sehari terjual 100 eks di sekolah sang penulis. Keasyikan untuk mengedit, mengurus isbn, mengurus percetakan, lay out, cover dan lain sebagainya tanpa sadar menendang jauh-jauh kenikmatan menulis saya. Di sela saya mengedit, pada awalnya saya masih konsisten menulis. Akan tetapi perjanjian dengan distributor membuat saya harus mencetak sedikitnya 1 buku tiap per 2 bulan. Saya belum punya modal besar untuk menyewa editor, membayar penulis ternama dan lain sebagainya. Maka saya putuskan untuk membuat naskah saya sendiri, minimal saya bayar editornya saja. Penulisnya saya sendiri. Namun ternyata naskah saya tak kunjung selesai.

Kesibukan mempunyai bayi baru serta kondisi badan yang belum fit benar membuat saya baby blues. Saya jadi enggan menulis. Terlebih suami saya harus bolak-balik pergi ke Trans TV untuk meeting tiap hari (saat itu sedang menulis salah satu sitcom di Trans). Ditinggal sendirian dengan 2 anak membuat saya enggan menulis, meski saya berusaha sekuat tenaga. Akhirnya sehari saya bisa dapat 2 paragraf sampai 5 paragraf. Sampai di satu titik. Saya tidak menulis dalam satu hari, sama sekali tidak. Tak juga dengan puisi atau curhatan, tidak sama sekali. Lalu hari bergulir dan saya juga belum menulis.

Akhirnya saya memutuskan untuk menerbitkan naskah autobiografi alm ayah saya. Secara beliau mempunyai banyak teman dan benar saja, setelah naskahnya menjadi buku, buku berjudul BUKAN SARJANA MUDA itu terjual 300 eks dalam 2 bulan. Sebuah pencapaian yang baik bagi penerbitan yang baru lahir seperti Rumah Pena Publishing. Dan saya membidani semua itu, selama kurang lebih satu bulan.

Dan satu bulan itu, saya mendapati diri saya tidak menulis. Oh… dimana Achi TM yang selalu konsisten menulis sehari sehalaman? Di mana? Saya mulai bertambah stress, mulai mencoba menulis dan akhirnya berhasil menyelesaikan 5 halaman novel saya, berlanjut jadi 8 halaman, terus dan terus. Saya kira saya bisa melakukannya akan tetapi saya menemukan bahwa tulisan saya hambar. Tulisan saya tidak bernyawa.

Saya nyaris memutuskan untuk berhenti menulis. Saya merenung dan merenung, saya mencoba segala hal untuk mengembalikan mood dan jiwa menulis saya. Tapi jangankan mau menulis lagi, membaca buku pun saya muak. Tak pernah selesai. Tapi saya mencoba lagi, sampai akhirnya berhasil membaca Pintu Harmonika dan Unfriend U karya Dyah Rinni. Semangat menulis saya membara kembali, saya kembali rutin menulis sehari sehalaman.

Tapi hambar! Saya tak menemukan kenikmatan menulis. Saya belum kemana-mana pasca melahirkan. Kemana-mana dalam arti bersenang-senang, berkumpul, memberikan talkshow dan lain sebagainya. Saya merasa tak berharga. Ini sungguh Baby Blues tingkat internasional.
Beruntung, Allah menolong saya. Novel terbaru saya berjudul Eva-Ustadzah Cinta Ketiban Cinta terbit di penerbit Erlangga setelah 1 tahun masa penantian. Bersamaan dengan novel Mata Kedua dan Hati Kedua yang terbit di Penerbit Andi. Saya pikir hanya akan sekedar terbit saja, tetapi 2 novel itu dijadikan novel unggulan oleh mereka.

Penerbit Erlangga mengadakan talkshow di mana-mana untuk novel saya. Setelah sebelumnya penerbit Andi mengadakan launching besar-besaran di Gramedia Matraman-Jakarta. Seolah Allah ingin saya kembali menemukan jiwa menulis saya, saya pun mengisi talkshow novel EVA seminggu sekali. Dimulai dari mengisi pelatihan menulis di SUBANG, lalu talkshow novel EVA di Bandung, kemudian minggu depannya lagi langsung di Cibubur, dan minggu depannya lagi di Depok. Tak tanggung-tanggung, manajer Erlangga cab Medan langsung menghubungi saya dan minta saya ke Medan selama 4 hari untuk mengisi pelatihan menulis dan talkshow di 4 Universitas di Medan.

Sungguh, saya menyambut hal itu dengan antusias. Saya baru menyadari kalau ini yang saya butuhkan. Saya butuh berbagi dengan orang lain, saya butuh bertemu langsung dengan pembaca saya dan mendengar langsung dari mereka kalau mereka menyukai novel saya. Inilah sisi jiwa saya yang kosong. Ketika saya berbagi semangat menulis, bak boomerang, semangat itu kembali kepada saya. Ketika saya bilang : saat kita jenuh, kita harus melawan jenuh itu dengan berbagai cara, fokus dan mau bangkit saat jatuh. Kalimat itu seperti mencacah kehampaan saya sendiri.

Saya belum akan menuliskan perjalanan-perjalanan talkshow yang begitu menyenangkan kemarin, khususnya perjalanan ke Medan dan terkesan dengan hangatnya sambutan Sakinah Mariz, Embart Nugroho, Vie Rynov dan Bang Ferry yang sudah datang dari Aceh untuk menemani saya dan segenap teman-teman di 4 kampus yang memberikan energynya untuk saya. Nanti saya akan menuliskannya.

Saya hanya ingin memberikan satu kesimpulan. Bahwa ketika kita sedang jenuh dalam menulis, maka salah satu cara ampuh membangkitkan semangat menulis itu adalah dengan berbagi. Banyak berbagi ilmu menulis dan berbagi semangat menulis. Percayalah hal itu karena saya membuktikannya.

Jadi apakah saat ini Anda sedang jenuh menulis? Carilah orang lain yang punya keinginan menulis, tularkan kepada mereka. Sebanyak-banyaknya J.


Sekarang saya sudah kembali stabil, menulis sehari satu halaman. Saya sangat berterima kasih kepada Allah karena ternyata Allah tak ingin saya berhenti menulis. Saya yakin Allah masih mau menitipkan banyak imajinasi dan inspirasi di kepala saya untuk saya tuliskan menjadi naskah. 

***
Baca novel-novel terbaru saya SUN(NY), HATI KEDUA, KEKASIH CAHAYA, EVA-Ustadzah Cinta dan HIMITSU. Follow me @AchiTM 
 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati