SUN(NY) - BAB 1

Sunday, July 14, 2013

                 Stasiun Tugu.
            Gelembung-gelembung sabun berterbangan di pintu masuk. Penjual gelembung berhasil menarik perhatian anak-anak. Satu gelembung mengenai pipiku dan pecah. Aku tergelak kecil, teringat masa saat aku bermain gelembung bersama adikku di Monas.
            Ke Jakarta… aku akan pergi. Disertai raut wajah sedih Pak’e yang semakin menua dan air mata Simbok yang mengendap-endap turun di sudut matanya. Setelah pembicaraan alot selama berhari-hari, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta.
            “Kamu yakin bisa jadi penulis?” tanya Pak’e di malam aku memutuskan untuk hijrah. Ia menyesap rokoknya perlahan, mengalihkan gundah pada asap-asap tembakau.
            Aku mengangguk penuh semangat. Meski di dalam hati aku sendiri bingung : benarkah aku ingin jadi penulis? Aku hanya suka menulis puisi tapi tak pernah berpikir ingin menjadi seorang penulis. Tapi hanya itu profesi yang terpikirkan olehku. Menjadi sekretaris, administrasi kantor, marketing? Itu sudah masuk dalam balik bantal lusuhku, hanya berkawan dengan mimpi-mimpi di malam hari. Kantor mana yang mau menerimaku kerja?
            Pernah aku bekerja di sebuah warnet, sebagai admin. Hanya karena salah mengambil uang lima puluh ribuan yang aku kira sebagai uang ribuan, aku dimarahi habis-habisan. Aku hanya kurang konsentrasi saja.
            Aku juga pernah bekerja di taman bacaan. Hanya sebagai sukarelawan, di sanalah aku mengenal novel-novel milik Samudera Hujan. Seorang penulis perempuan yang diam-diam aku berikan titel sebagai idolaku. Bekerja di taman bacaan tidak membuat aku merasa hidup. Mungkin aku akan bertahan di kota ini kalau saja teman-temanku tidak banyak usil bertanya.
            Setiap ada reunian SMA atau hang out bareng teman-teman kampus dulu, selalu saja ditanya : kerja di mana? Atau pernah kerja di mana? Ini lebih menyakitkan daripada pertanyaan : sudah menikah atau belum? Kalau belum menikah mungkin hanya akan disangkutpautkan dengan jawaban : belum ketemu jodohnya.
            Tapi kalau belum pernah bekerja meski sudah 2 tahun lulus kuliah manajemen, pasti akan disangkut pautkan dengan : kepribadian aku yang kurang memenuhi syarat psikolog, atau cibiran kecil yang menunjukkan kalau aku bodoh.
            Lebih menyakitkan lagi jika harus bertemu dengan teman-teman SMA yang pernah mengejek aku. Waktu itu sedang pelajaran Kimia dan kami harus memasukkan cairan berwarna biru –entah apa- ke dalam sebuah wadah. Ada tiga cairan dengan warna hijau, kuning dan biru saat itu. Ketika giliranku untuk mencampur cairan, aku memasukkan cairan warna biru ke dalam wadah cairan hijau. Seorang teman yang agak menyebalkan saat itu malah menertawaiku.
            “Cerah ndak lulus TK yo… ndak bisa bedain warna!” celetuknya mengundang tawa. Mungkin lucu. Aku pun ikut tertawa.
            Tapi siapakah yang tahu kalau saat itu aku melipat sedih?
            “Kenapa ndak cari guru menulis di Yogya saja, tho, nduk? Di Yogya, kan, banyak akademi penulis. Banyak penulis-penulis cakep juga.” Kata Simbok yang sedang mengupas bawang malam itu. “Malah Mas Anton bilang, sekarang di Yogya sudah banyak penerbit… opo itu, yang suka bikin-bikin buku.”
            “Buat apa ke Jakarta kalau begitu?” sambung Pak’e.
            “Saya mengidolakan penulis yang bernama Samudera Hujan, Bu. Kemarin saya lihat di internet, dia sedang ada di Jakarta selama dua bulan.”
            “Jadi ke Jakarta dua bulan saja, tho?” selidik Pak’e.
            Aku menunduk, mengangguk, memainkan ujung tikar. Maunya, tidak usah balik lagi ke sini sebelum aku jadi orang sukses. Sebelum aku punya pekerjaan. Kerja apa saja di Jakarta asal aku tidak pengangguran dan diremehkan di sini. Aku menghela napas, tak sanggup meluncurkan keluhan itu.
            “Kamu itu… padahal kalau menyerah cari kerja di Yogya, kan, bisa pergi ke Solo, Semarang, Klaten. Ndak mesti pergi ke Kota itu. Bikin tambah sesak saja kamu.” Pak’e mematikan rokoknya lalu bangkit.
            “Ya… ndak apa-apa, tho… Mas Agung, Mas Timo dan Mbak Yas aja bisa berhasil di sana.” Aku menyebut nama tiga sepupuku.
            “Mereka di Bekasi, bukan Jakarta.” Ralat Simbok.
            “Dekat-dekatlah, Mbok.”
            “Ya… terserah kamu saja.”
            Setelah janji kalau dua bulan lagi aku akan pulang ke Yogya, Simbok dan Pak’e pun mengizinkan. Mereka mengantarku sampai di stasiun Tugu. Mutiara sudah membelikan aku tiket kereta kemarin, jadi hari ini aku tak perlu capek-capek mengantri tiket.
            Tangan kananku mencangklong ransel besar sedangkan tangan kiriku menarik koper.
Simbok membawakan satu kardus oleh-oleh dari Yogya. Ada bakpia, kerak nasi, geplak, dan yangko. Kata Simbok, aku wajib mampir ke rumah budeku, mampir juga ke rumah Mas Agung, Mas Timo dan Mbak Yas untuk memberikan oleh-oleh dan salam dari Simbok serta Pak’e. Pak’e membawakan satu kardus oleh-oleh lagi. Katanya untuk penulis idolaku itu. Samudera Hujan.
            Aku tergelak kecil. Apa mau orang seperti dia makan makanan kampung begini? Tapi aku tak kuasa menolak kehendak Pak’e. Kereta belum datang. Peron terlihat cukup sepi, karena memang bukan musim liburan mahasiswa. Aku sengaja pergi di hari dan bulan-bulan sunyi. Penjual roti cane melintas, seorang ibu-ibu menawarkan blangkon dan batik, seorang bapak-bapak yang lain menjual kaos dagadu murah. Berkali-kali aku menolak dengan sopan sampai kemudian terdengar pengumuman Senja Utama Yogyakarta menuju Jakarta sudah tiba.
            Aku, Mutiara, Pak’e dan Simbok berdiri. Siap dengan barang bawaan, menunggu kereta datang.
            “Ceraaah!” suara beberapa perempuan yang tak asing di telingaku, membuat langkahku tertunda. Masih berdiri di kursi peron, teman-temanku itu berlari berhamburan ke arahku.
            Teman-teman geng waktu kuliah. Ada 7 orang, empat di antaranya sudah menikah dan yang pasti mereka bertujuh sudah bekerja. Aku menyambut mereka dengan sapaan hangat. Asih mencubit pipiku kencang.
            “Kenapa pergi di hari kerja? Kami jadi harus kabur dari kantor buat ngejar kamu.”
            “Iya… kirain ndak jadi ke Jakarta.” Timpal Wuri.
            “Mau apa tho ke Jakarta? Ngoyo bener… mau cari jodoh, yo?” Sari nyeletuk dan langsung disikut oleh Dewi. Aku pura-pura meninju bahu Sari.
            “Mau nyari berondong….” Jawabku kalem. Ketujuh temanku tertawa kencang.
            Kami pun ngobrol singkat, masing-masing memberikan wejangan. Suara deru kereta api yang datang membuat suara mereka hilang pelan-pelan, berganti bising. Tapi kami tetap saling tertawa sampai kemudian aku melihat sosok lelaki itu di belakang tubuh Dewi. Ia berjalan pelan sambil memasukkan tangannya ke saku, sebuah gaya jalan yang dulu pernah aku cintai. Semua kebisingan dan suara tawa sahabatku berubah menjadi sebuah suara baret yang menyayat-nyayat luka. Asih sepertinya sadar kalau aku berhenti melengkungkan bibirku. Ia menoleh ke belakang, tepat saat lelaki itu menghentikan langkahnya sekitar 70 meter dari arah kami.
            “Rah, katanya dia sudah mau bercerai sama istrinya.” Wuri langsung bicara di dekat telingaku. Membuat bulu halusku meremang.
            “Benarkah?” tanyaku dengan bibir nyaris beku.
            Asih langsung menghalangi pandanganku dari bayangannya. “Wis kamu di Jakarta hati-hati, ya.” Dia memelukku erat. Asih paling tahu apa yang aku rasakan. “Aku sudah ancam dia supaya ngga datang, tapi dia ngotot mau ketemu kamu.”
            Kudengar suara Pak’e memanggilku. Kereta sudah lama berhenti, orang-orang mulai sibuk menaikkan barang bawaan mereka. Aku menoleh ke Pak’e dan meminta waktu sebentar dengan isyarat mata dan bibir. Pak’e tersenyum kecil dan mengangkut koper yang aku pegang, ia naik ke atas kereta bersama Simbok dan Mutiara. Setelah mengucap terima kasih dengan setengah mendesis, aku kembali pada teman-temanku. Aku peluk mereka satu per satu. Pelukan yang kaku.
            Bukan karena mereka terasa jauh dariku. Tapi pandangan lelaki itu membuat aku tak nyaman. Sampai akhirnya lelaki itu menyeruak ke belakang tubuh Dian yang aku peluk paling akhir. Dia menyerobot masuk pada jarak antara tubuhku dengan tubuh Dian.
            “Cerah. Kalau kamu sudah sampai Jakarta jangan lupa pulang, ya. Kalau kamu pulang, aku siap menyambut kamu.”
            “Terima kasih.” Aku meringis kecil, tersenyum kikuk, memperbaiki anak rambutku yang masih rapih. Suara dari speaker stasiun menandakan bahwa kereta akan segera berangkat. Pak’e sudah berteriak dari jendela kereta.
            Aku berbalik badan dan berlari cepat, setengah melompat aku masuk ke dalam gerbong kereta dan berjalan mencari tempat dudukku yang sudah ditempati oleh Pak’e. Barang-barangku sudah dikemas rapih di atas bagasi kereta, di samping Pak’e duduk ada seorang perempuan berbadan mungil dan kecil, perempuan berambut lurus dan hitam lebat itu tersenyum padaku.
            Pak’e menghampiriku, memeluk dan memberikan wejangan. Simbok eman-eman soal oleh-oleh sedangkan Mutiara minta foto Donny Alamsyah dan tanda tangannya. Walah… memangnya aku bisa bertemu artis semudah itu? Tapi Mutiara ngotot dan merengek. Sampai kemudian Pak’e menariknya turun dari kereta.
            Aku melambai pada mereka hingga ke luar jendela. Pak’e, Simbok dan Mutiara berbaur dengan ketujuh temanku. Mereka bertujuh ribut bukan main.
            “Awas kecantol cowok ganteng, ya!” teriak Asih yang sepertinya sengaja memanas-manasi lelaki di belakangnya.
            “Oleh-oleh, yo… emasnya monas!” seru Wuri.
            “Awas kalo ndak pulang pas reuni… putus hubungan!” teriak yang lain dan disambut gelak tawa.
            Aku hanya terbahak sambil terus melambai dan melambai. Kurasakan kereta perlahan bergerak maju, bayangan tubuh mereka semakin jauh. Bagaikan layar film yang berganti adegan. Sosok lelaki itu yang terakhir aku lihat, ia melambai penuh arti dan segera kutarik tanganku agar tak membalas lambaiannya. Tubuhku seperti kaget, terkejut dan tak tahu bagaimana harus bereaksi, terduduk lemas. Menyandar di jendela.

            Bayangan-bayangan masa lalu berkelebatan datang. Sesuatu yang sudah lama aku kubur dan menjadi salah satu alasan mengapa aku ingin pergi dari kota kelahiranku. Dia… dia dan dia! Lelaki itu. Mengeja namanya saja di hatiku sudah menyesakkan. Seperti ada sebuah tangan gaib yang menyumpal seluruh rongga tubuhku dengan daun-daun kering dan memaksaku untuk ikut menguning.

.........

(baca lanjutannya di novel terbaru saya berjudul SUN(NY) sekuel dari novel CLOUD(Y)

 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati