Siapkah Kita Diberikan Sebuah Titipan?

Tuesday, July 31, 2012

Menjadi seorang penulis best seller bukanlah sebuah langkah mudah bagi seorang penulis. Dari sekian ratus penulis yang berlomba-lomba membuat buku, paling hanya lima sampai sepuluh persen yang bukunya best seller. Saya sendiri belum berani mengatakan bahwa saya penulis best seller toh memang belum ada buku saya yang sampai cetak ulang (kalau buku keroyokan seperti Love Asset) saya berani mengatakannya. Karena memang buku rame-rame dan kenyataannya sejauh ini penjualannya bagus.

Meski begitu, setidaknya penjualan buku saya rata-rata di atas 4000 eks dalam jangka 1-2 tahun. Nah ngomong-ngomong soal buku dan best seller, saya mau bahas sedikit soal alasan kenapa tahun ini saya sangat ngoyo membuat novel kembali. Fyi, novel remaja terakhir saya terbit tahun 2010, sedangkan novel anak terakhir saya terbit Februari tahun 2012 bersamaan dengan buku non fiksi kedua saya berjudul No More Galau - Dear Bunda Cuwiy.

Saya kembali giat menulis novel di akhir tahun 2011, saat itu saya seperti disadarkan oleh sebuah pengalaman pahit. Bahwa kebanyakan orang Indonesia masih menganggap penulis itu adalah orang yang punya buku. Padahal sejak tahun 2007, karya-karya skenario saya sudah wara-wiri di TV nasional dengan atau tanpa nama saya.

"Eh emang kamu penulis?" ini pertanyaan yang muncul karena secara tidak sengaja, nama FB saya : Achi TM Penulis tidak bisa lagi diganggu gugat. Sampai sekarang pun belum bisa diganti. Duh efbiih efbiih...
Biasanya kalau ada yang nanya seperti itu pasti saya jawab dengan sopan sambil bertanya dalam hati, kenapa juga lo nge-add gue kalo lo gak tahu gue siapa? *jiiih somboong... gak boleh tauuu...*

Ada lagi yang lebih parah... "Emang si Achi bisa nulis apa? Cuma nulis lucu-lucuan doang." Deziiig...
Oke oke... lebih banyak lagi sebenarnya cibiran, memandang sebelah mata bahkan ngga yakin kalau saya penulis karena karya-karya saya ngga nongol di tahun 2011! Nerbitin buku pun hanya setahun sekali. *nangis di pojokan.

Tak apalah... orang mencibir seperti apa, itu hak mereka. Dan mereka benar. Saya belum mahir dalam menulis. Kata-kata saya masih kacau. Tidak efektif membuat kalimat, ngga efisien bahkan saya perlu search di KBBI soal kata 'spekulasi' 'tendensi' 'indikasi' dan si si lainnya. Saya bukan orang cerdas, saya akui. Nilai Bahasa saya juga jelek. Saya lulus SMA jurusan IPA dan kuliah di Manajemen, ilmu nulis saya cuma seupriiit... terus ketika saya membuka kursus menulis untuk pemula orang-orang mulai bertanya : elo siapah?

Ya saya adalah saya....
Dan hal-hal seperti itu memacu saya untuk bisa menulis lebih baik. Hal itu saya syukuri. Tanpa adanya cibiran dan kritik pedas kadang kita tidak tahu bahwa kita berada dalam jalan yang salah. Saya membaca lebih banyak jenis buku, belajar menulis cerita serius dan di sela-sela saya menulis skenario, saya kembali menulis buku. Novel dan non fiksi. Subhanallah... ternyata saya bisa! Terima kasih buat yang sudah menguatkan saya.

Kembali kepada judul tulisan ini, soal siap atau tidak siap kita diberi titipan. Ketika sahabat semua sudah mulai belajar menulis, berguru ke berbagai padepokan menulis, sudah menguasai jurus-jurus jitu menulis tapi saat berhadapan dengan media dan penerbit, sahabat malah keok alias ditolak. Kira-kira apakah penyebabnya harus selalu karena tulisan kita jelek? Tidak. Bisa jadi karena menurut Allah ternyata kita belum siap buat dapat titipan berupa : dimuat di media, diterbitkan penerbit, atau jadi penulis best seller.

Kalau kita ingin punya mobil apakah Allah akan memberikan kita mobil begitu saja? Sedangkan kita tidak mengerti sama sekali bagaimana merawat mobil bahkan tidak bisa menyetir. Logikanya, kalau kita mau menitipkan laptop kita untuk dipakai orang lain pasti orang tersebut harus bisa menggunakan laptop bukan? Ngga mungkin, dong, kita ngasih laptop kita ke orang yang ternyata berpikir bahwa laptop adalah alat untuk mengulek cabe!

Jadi begitulah Allah menitipkan sesuatu sama kita. Dia, Yang Maha Tahu segalanya, melihat apakah kita sudah siap untuk dititipkan sesuatu? Buat yang ingin punya anak, sudahkah siap untuk merawat anak? Bagi yang ingin punya mobil (gue) sudahkah siap untuk bisa merawat mobil? Nah, yang paling paling paling tahu kesiapan kita adalah Allah! Jadi jangan sampai kita bilang kita siap berlari sementara kaki kita ternyata diikat dan kita tidak mengetahuinya.

Terus gimana sama anak-anak terlantar yang dibuat ibunya? Bukankah itu tandanya si ibu ngga siap? Mungkin si ibu ngga siap merawat sang anak, tapi dia siap buat melepaskan anak itu untuk orang lain yang lebih siap darinya. Allah, kan, Maha Tahu segalanya. Semua misteri kehidupan ada di tangannya kita ngga bisa mengklaim segala sesuatu dari kasat mata saja.

Kembali lagi soal menjadi penulis. Siapkah kita saat tulisan kita akhirnya dimuat di media nasional setelah 70 kali kegagalan? Seumpamanya si fulan sudah 70 kali mengirim tulisan dan ditolak, pada tulisan ke 71 ternyata tulisannya dimuat! Setelah itu, si fulan mendadak sombong, merasa sudah jadi penulis hebat sehingga ia mematikan kesempatan untuk berkembang karena kesombongan itu. Bagaimana kalau sebenarnya Allah mempersiapkan si fulan harus 99 kali gagal dulu baru yang ke 100-nya diterima, si fulan ternyata tidak sombong, malah ia semakin berkobar untuk berkarya lebih baik. Nah, dari ilustrasi di atas, kita ambil kesimpulan kalau apa yang menurut kita sudah maksimal dan sudah baik, belum tentu menurut Allah.

Boleh jadi kalau naskah kita dimuat sekarang, ternyata kita belum siap lihat honornya yang kecil terus mutung nulis. Atau kita ngga siap nama kita dipampang di majalah beken terus tiba-tiba punya fans cowok aneh dan terus meneror kita tiap malam. Boleh jadi kita tidak siap untuk setiap hari ditelpon redaksi majalah lain yang ngeliat cerpen kita dan minta dibikinin majalah serupa.

Bagaimana dengan jadi penulis best seller? Selama ini saya selalu yakin, boleh jadi, Allah tahu bahwa saya belum siap untuk terkenal. Efek pasti dari menjadi penulis best seller adalah kita akan lebih dikenal. Kita akan mendapatkan pujian sekaligus cacian. Jangan salah, buku-buku yang mega best seller pun belum tentu terlepas dari kritik. Nah... waktu dan segala kehidupan pahit di dalamnya sudah membuat saya sedikit kebal dengan segala 'penyakitan' hidup. Dicaci, diomongin, dicibir, dipatahkan semangatnya, ditinggalkan, dimanfaatin, kesepian, penyakit, penolakan, bisnis macet, keguguran, dan lain sebagainya saya terima setelah saya menulis buku NO MORE GALAU! Tuuuh... Allah ngasih saya bukti langsung, siap ngga saya nulis buku NO MORE GALAU, memberikan spirit ke setiap orang, sedangkan saya dibombardir sama banyak kejadian pahit yang harus bergulir sampai pada titik saya SIAP!

Saya SIAP Ya ALLAH... saya siap jadi orang yang KUAT, TEGAR, TANGGUH dan gak melow-melow. Cukup saya melow masmaslow sama Allah saja, sama orang-orang terdekat aja. Saya memasang pagar besi dan pagar kawat di sekeliling hati saya supaya saya bisa kuat. Pagar-pagar itu adalah Ayat-Ayat Abadi Allah. Al-Qur'an.

Maka, sekarang saya sedang mempersiapkan diri untuk kelahiran 2 novel saya yang saya yakin bisa BEST SELLER. Karena itu, supaya Allah titipkan best seller itu ke saya, saya harus siap. Belajar lebih baik, diet lebih banyak, rajin nge blog, ngetweet, nge-efbi... dan lain-lain.

Ya, kalau pun ngga best seller, mungkin persiapan saya kurang. Setidaknya saya bisa belajar apalagi yang harus saya siapkan. Sama seperti ketika saya akan mendaki sebuah gunung, di tengah jalan ternyata saya kehausan, setelah saya cek persiapan saya, ternyata saya kurang bawa air. Aaah... lain kali kalau naik gunung saya akan bawa air yang banyak.

Lalu kenapa semua itu disebut titipan? Karena hidup kita ini saja adalah sebuah titipan bukan? Pada waktunya nanti, kita semua akan kembali sama Allah. Semua hanyalah titipan termasuk titel penulis yang kita sandang. Karena pada akhirnya nanti, titel itu akan hilang, berganti dengan almarhum.

Salam
Achi TM

Saung Angklung Udjo dan Jaket Yang Hilang

Thursday, July 19, 2012

Pada hari selasa tgl 10 Juli saya dikejutkan oleh sebuah telepon dari salah satu EO di Bandung. Mereka meminta saya dan tim Rumah Pena untuk mengisi pelatihan motivasi di Bandung. Karena kondisi sangat mendesak dan hanya minta 2 orang pemateri saja, akhirnya saya mengajak Widuri Al Fath yang selama ini memang jadi rekan saya dalam memberantas kegalauan. Lihat ini buku kebanggaan kita : No More Galau - Dear Bunda Cuwiy :D


Jadi yang belum beli buku kita, buruan ya cari di Gramedia. Apalagi sedang bulan Ramadhan begini, pasti galau-galau karena lapar. Upss... jangan galau, buruan dibeli aja bukunya, hehehe.

Balik lagi ke masalah pemberian training motivasi. Awalnya, sih, deg-degan banget, ya, karena kita akan diminta mengisi motivasi untuk BNI Securities, tapi bermodalkan pengalaman dan jam terbang yang lumayan, akhirnya deg-degan itu juga hilang. Maka pada tanggal 14 Juli kemarin, aku meluncur ke Bandung bersama suami dan anakku. Acara motivasinya sendiri tanggal 15 Juli, tapi karena aku mau ikutan acara Pesta Awug Pabers di Kantor Mizan jadinya berangkat tanggal 14. Wah, bagaimana cerita aku selama di pesta Awug? Nanti akan aku ceritakan di postingan lainnya.

Singkat cerita, aku dan suami akhirnya menginap di rumah om aku. Om Ai namanya. Rumahnya di Daye Kolot, deket Buah Batu kalau ngga salah. Dingin banget saat malam tiba, nyaris ngga bisa tidur karena mengigil. Tapi ada satu hal yang bikin aku tidak bisa tidur, ternyata rekanku Widuri Al Fath nyasar saudara-saudara! Lhoh?

Jadi, karena beliau adalah dosen dan harus mengajar di hari Sabtu. Pukul 5 sore dia baru bisa bertolak dari Tangerang menuju ke Bandung. Sayangnya setelah sampai di Bandung pukul 9 malam, ternyata angkot-angkot sudah jarang beroperasi. Usut punya usut beliau naik angkot yang ke arah Ciparay, melewati daerah rumah Om aku. Tapi karena sudah malam dan Widuri serta suaminya buta soal Bandung, jadilah ia bingung di mana harus turun. Jangankan dia, aku sendiri bingung hehehe...apalagi HP Widuri dan suaminya lowbet secara berjamaah. Ya ampun, akhirnya suamiku dan Om Ai naik motor tengah malam buta, tepat jam 12 malam, menembus dinginnya kota Bandung. Brr... mereka berdua sudah seperti polisi patroli saja, mondar-mandir mencari angkot yang khilaf beroperasi sampai tengah malam. Setelah sempat disangka preman yang mau malak, karena melambai-lambai ngga jelas, akhirnya suamiku bisa menemukan Widuri dan suaminya yang ternyata juga sudah hopeless karena kesasar. Duuh...

Jam 12 lewat, akhirnya sahabatku itu bisa datang ke rumah Om Ai. Saat itu aku sudah terlelap ke dunia mimpi alias ngorok. Antara sadar ngga sadar aku menyambut dia. Hix... shubuh-shubuh sekali kami bangun dan sambil sarapan (karena bandung dingin banget jadi shubuh juga udah harus isi sesuatu) mulai saling berkoordinasi untuk acara training motivasi nanti.

Atas saran Om Ai, kami pun pergi ke tempat acara dengan menggunakan motor. Rencananya kami mau naik taksi saja sesuai dengan instruksi panitia tapi melihat Bandung yang macetnya minta ampun, akhirnya Om Ai menyuruh kami naik motor. Simpel, cepet, bisa nyelip-nyelip! Yeay! Karena motor cuma ada 2, akhirnya Om Ai ngga ikut buat memandu kami. Abiy dititipkan ke Tante Devi alias istrinya Om Ai. Setelah Abiy pergi, kami pun meluncur. Suamiku yang jadi pemandu jalan padahal dia sendiri tidak tahu menahu rute jalan di Bandung. Emang, sih, naik motor cepat, bisa nyalip tapi nyasarnya ngga kuaaat bo! Padahal jalannya, kan, gampang cuma lurus, belok kanan dan belok kiri, susah amat yak! Hehehe....

Nah, jam 10.30 kita sudah standby di tempat acara yaitu Saung Angklung Udjo. Ih noraknya saya melihat ada bule bule bisa main angklung. Tempatnya juga bagus, seperti tempat teater mini, tempat duduk yang melingkar dan di tengah orang-orang membuat pertunjukan. Saya pikir saya dan tim sudah terlambat tapi ternyata tidak. Panitianya sendiri belum datang. Gubrak deeeh...

Setelah menunggu agak lama, akhirnya saya ketemu sama panitia yang memanggil saya. Kami pun mulai berkoordinasi satu sama lain agar acara lancar. Tapi apa mau dikata, kemacetan kota Bandung membuat acara mundur beberapa menit. Peserta yang seharusnya sudah datang ternyata masih terjebak di jalan raya. Saya dan Widuri tetap mencoba untuk berpikir positif, kita akan melakukan yang terbaik apa pun yang terjadi. Rencananya, setelah peserta datang, kita sudah bisa langsung memberikan sesi motivasi. Tapi -lagi-lagi- peserta datang jam 12.30 dan mereka langsung meluncur ke tempat makanan yang disajikan prasmanan. Ya iyalaaah... kalau saya jadi peserta saya juga sudah kelaparan wkwkwkw. Tapi karena kami pembicara jadi ngga berani makan duluan, so nahan-nahan lapar sedikitlah. Lumayan minum-minum air dulu yang sudah dikasih panitia.

Setelah makan, barulah mereka masuk ke teater mininya saung udjo (maaf kalau salah sebut :p) di sana, saya dan Widuri hanya diberi kesempatan 20 menit untuk kasih sesi motivasi. Hap! Hap! Hap! Waah... akhirnya kita memberikan motivasi seperti orang marathon deh hehehe... cepat, ringkas, tuntas dan insya allah berkualitas. Kalau ada kurang-kurang, ya, kurang waktu sepertinya :D karena rencana awal kita mengisi motivasi selama 45 menit. Apa daya, kemacetan karena kecelakaan, kan, ngga bisa diprediksi, ya. Yang penting do the best aja.

Alhamdulillah setelah acara selesai kita langsung makan siang dan menerima amplop yang sudah dijanjikan*wiiih... isinya mah rahasia! Ehem... akhirnya kita pun bersiap untuk pulang. Taraaaaa... ternyata saat mau pulang, jaket hijaunya mba Widuri raib! Nah looh? Ke manakah si jaket hijau? Sebelum kita ketahui di mana jaket itu, marilah lihat foto-foto saya berikut ini.













Sebuah Legenda : Saling Memaafkan

Sunday, July 8, 2012


 Sebuah Legenda : Saling Memaafkan

            Setelah berkutat dengan banyak masalah dan bersinggungan dengan berbagai karakter manusia, akhirnya saya memahami lewat banyak kejadian. Bahwa : kebenaran itu tidak mutlak. Kesalahan pun bukan sebuah kepastian. Sebuah sengketa tak akan pernah selesai hanya apabila dua pihak saling bersiteru. Saling merasa benar dan yang lain merasa salah.
            Solusi yang insya allah baik, akan tercapai apabila ada pihak ketiga yang netral dan tidak sekedar menghakimi. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Namun pihak ketiga juga harus bisa menenangkan kedua belah pihak yang bersengketa agar kembali berjabat tangan dan berjalan apa adanya sebelum terjadi sebuah sengketa.
            Namun pada kenyataannya, segala teori manis tersebut susah untuk dilaksanakan. Susahnya mencari pihak ketiga yang netral. Susahnya mempertemukan dua insan yang bersengketa. Apalagi tidak ada itikad baik dari kedua belah pihak. Saya pribadi, beberapa kali mengalami hal yang demikian. Terutama apabila sengketa terjadi karena kesalahpahaman, yang sangat membuat kusut dan susah terurai. Daripada memakan waktu sangat lama untuk bisa mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, jalan tercepatnya adalah saling memaafkan.
            Saya meminta maaf kepada orang-orang yang pernah terluka, tersinggung atau tidak senang dengan saya baik sengaja maupun tidak sengaja. Saya hanyalah manusia normal yang bertumbuh dan mencoba selalu belajar dari kesalahan. Manusia tak akan pernah tahu bahwa ia tumbuh apabila ia tidak mengalami sebuah cobaan atau ujian. Tumbuh. Tak sekedar membesarkan badan dan isi perut. Tumbuh. Berarti memahami arti kehidupan yang sesungguhnya. Segudang fiksi yang dibaca atau ratusan buku motivasi tidak akan membuat kita bisa tahu akar dan segala yang membelitnya dari sebuah kehidupan. Kehidupan yang sangat kompleks. Sangat menyebalkan. Tapi sangat menyenangkan.
            Saya tahu ketika kita sebal sama orang, kita pasti cerita ke sana kemari. Saya pun sering melakukan hal itu. Tapi sekarang saya berusaha mengerem segala kekesalan. Kadang menumpuknya sendiri itu lebih baik, atau curhat dengan orang-orang pilihan. Karena ternyata, segala kekesalan, amarah dan benci kita lambat laun akan luntur dan hilang oleh waktu. Mungkin waktu tak bisa mengembalikan tawa dan cinta yang pernah kita rajut dahulu. Tapi niscaya waktu akan menyembuhkan.
            Bayangkan, suatu hari nanti… kau dan aku, saling bertengkar, saling menghujat, lalu lima puluh tahun kemudian. Di saat senja yang renta, kita berjumpa di pinggir pantai. Duduk memandangi ombak yang berdebur pelan-pelan. Apakah kita akan saling membenci? Padahal malaikat Izrail sudah sempat bertamu, menyampaikan salam kematian. Meskipun pada kenyataannya, ajal tak pernah menunggu kita buat siap.
          Bayangkan saat itu terjadi. Kau dan aku saling memandang… masihkah dengan kebencian? Masihkan kematian tak juga menyadarkan bahwa kita harus saling memaafkan? Cinta dan kasih sayang yang pernah datang pasti sudah hilang tapi tak seharusnya berganti dengan kebencian yang berkepanjangan.
          Ya… ya… teorinya memang mudah. Saling memaafkan. Tapi tak ada salahnya mencoba bukan? Meminta maaf dengan tulus. Memaafkan dengan tulus. Lalu berjalan dengan damai meski tak lagi bergandengan tangan. Tapi kelak di persimpangan, apabila saling berjumpa kita bisa tersenyum dengan lepas. Seolah menyapa sahabat lama.
            Bagi saya : saling memaafkan adalah sebuah legenda. Dia berada jauh di masa lampau dan susah untuk dicari kebenarannya. Sungguhnya aku sudah memaafkanmu dengan tulus? Sudahkah kamu memaafkan aku dengan tulus? Hanya Allah yang tahu segalanya. Kita... manusia fana, hanya mampu membersihkan hati terus menerus... setiap hari. 

            ***
            RUMAH PENA, Juli/08/2012

AKU DI SINI UNTUKMU [RAPUH]

Saturday, July 7, 2012


Sebuah cerita sangat mini [RAPUH]
By : Achi TM

Kamu bilang, kamu akan selalu ada untukku? Tapi sekarang kamu di mana? Saat aku meringkuk sendirian kesakitan. Menahan ngilu di hati dan perih di badan? Kamu bilang kamu akan selalu ada mendengarkanku. Tapi sekarang kamu di mana? Saat aku ingin bicara. Hanya angin yang berhembus membawa kata-kataku entah ke mana.

Di sini aku berkawan sepi. Duduk di antara ketiadaan. Aku ingin pergi ke suatu tempat yang antah berantah dan di sana tak perlu lagi bertemu kamu. Kamu yang selalu mengumbar janji, mengumbar kebahagiaan. Hanyalah seonggok daging berbentuk manusia yang penuh kemunafikan. Kamu bilang kamu akan membelaku, bahkan dengan nyawamu sebagai taruhannya. Tapi sekarang kamu ada di mana? Saat semua masalah membelengguku dan sigap menggorok leherku kapan saja mereka mau. Masalah yang membuat aku menangis dan terkurung oleh keterpurukan.

Aku tak mau begini.

Aku mau bangkit dan membuktikan pada dunia bahwa aku baik-baik saja. Tapi nyatanya tidak. Aku tidak baik-baik saja. Bahkan kamu juga tidak baik-baik saja. Aku kehilangan segala hal yang dapat membuatku tertawa. Aku kehilangan segala rasa yang bisa menciptakan gelak. Aku kehilangan semua rasa yang membuatku tersenyum bahkan aku kehilangan air mata. Di mana dia? Setidaknya biarkan aku menangis sedikit saja… ah tidak… semalam saja. Semalam suntuk sampai aku ngantuk, tertidur dan lupa bahwa kamu pernah memberikan seribu janji.

Aku tak mau begini.
Tapi aku sudah begini. Bagaimana merubahnya? Semua terbentuk oleh trauma. Trauma masa lalu yang jangankan kau! Aku saja sudah untuk merubahnya. Apakah kita bisa kembali ke masa lalu? Tidak! Kita hanya bisa hidup hari ini saja, detik ini, pada helaan napas ini. Bahkan kita tak tahu apakah di masa depan kita masih bisa saling bersua.

Aku cuma mau kamu duduk di sampingku. Merangkul aku dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Apabila aku masih terus murung, jangan coba untuk memaksa aku tertawa. Biarkan aku murung, biarkan aku mendung nanti hujan juga akan turun entah pada awan kelabu yang keberapa. Asalkan kamu ada di sampingku, memelukku erat tanpa perlu menyalahkan apa salahku. Apa salah mereka. Biarkan saja kita terbelenggu oleh rasa ngilu. Asalkan kamu ada di sisiku.

Aku cuma mau kamu tahu aku tak butuh rentetan kalimat bijak. Motivasi dan segala macam basa-basi yang kata orang menyemangati. Percuma. Hatiku sudah terlalu biru. Cukup kau katakan kau akan selalu mendukungku. Kau selalu ada untukku. Kau tak akan pernah meninggalkanku kecuali maut mencerabut semua jiwa di badanmu.

Izinkan aku untuk bersedih malam ini. Besok. Lusa atau kapan saja entah itu. Jangan pernah bosan untuk tetap ada di sisiku. Karena yakinkanlah, aku akan baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja. Sebesar apa pun badai perasaan ini mencabik-cabik ketenanganku. Sehebat apa pun petir, Guntur, halilintar mengoyak-ngoyak senyumku. Aku akan baik-baik saja.

Aku percaya aku akan baik-baik saja.
Karena Allah Maha Penyayang, bukan?

Maka kemarilah. Aku menunggumu datang. Kemarilah. Kelopak jemariku sudah merekah. Siap untuk menggamit lenganmu yang kokoh. Biarkan aku bergelayut di sana. Dengan manja dan penuh air mata. 

RUMAH PENA, 08 Juli 2012
*terinspirasi oleh lagu Bondan Prakoso (Ya Sudahlah)

40 Menit, Ponsel dan Senyum Mereka

Wednesday, July 4, 2012

Seperti biasa saya selalu bersemangat jika diundang teman untuk mengisi pelatihan menulis. Kali ini saya berkesempatan diundang ke Bogor oleh teman-teman dari FLP Bogor, senangnya bukan main. Karena saya pernah dididik di FLP Jakarta, pernah pula diasuh oleh para penulis senior di FLP, jadi rasanya tak mungkin saya menolak tawaran itu. Apalagi yang menawarkan adalah mantan guru saya di FLP DKI yaitu kang Bije atau Beni Jusuf. Beliau dulu salah satu senior yang intens mengajarkan saya menulis buku.

Jadilah tanggal 30 Juni kemarin saya bangun sebelum shubuh. Seperti biasa, mandi, siap-siap, lalu shalat shubuh. Saya membangunkan Abiy dan suami saya. Kami memang senang berangkat bareng-bareng kalau saya dipanggil isi materi pelatihan. Sudah komitmen saya untuk selalu membawa Abiy dalam setiap kesempatan dalam setiap pelatihan menulis saya. Dengan maksud menunjukkan pada Abiy bahwa inilah salah satu pekerjaan mamanya, menjadi trainer menulis.


                                            Begini, nih, gayanya Abiy sayangin mamanya

Karena mengurus Abiy agak lama, kami pun harus terlambat berangkat. Rencana berangkat jam 5 pagi jadi tertunda menjadi jam 6 pagi. Semoga masih keburu, pikirku. Aku sudah sering ke Bogor dengan melewati berbagai jalur kendaraan. Biasanya aku lewat Parung dan naik Bus Pusaka. Tapi terakhir kali aku naik Bus Pusaka aku harus dipanggang selama 4 jam di dalam bus yang sesak, ngetem dan jok bangkunya naik turun seperti naik bajaj. Daripada pinggangku sakit, apalagi aku habis keguguran, demi menjaga kesehatan rahim, aku memilih naik Bus dari pasar Rebo.

Memang harus naik Bus 2 kali, tapi waktu tempuhnya lebih cepat. Hanya sekitar 2 jam, paling lama juga 3 jam. Jadi dengan segala asumsi itu aku berpikir bisa sampai tepat waktu. Sayangnya ketika kita sudah sampai di Pasar Rebo, bus ke arah Bogor sudah melewati kami -dalam keadaan penuh sesak- mereka tak berhenti, mungkin karena sudah tak bisa menampung seorang pun. Suamiku menyabarkan, biasanya, kan, bus ke Bogor banyak. Jadi kami tenang-tenang saja. Kami berdiri di tengah kerumunan orang-orang yang menunggu Bus. Terik panas matahari, debu, tukang yang mondar-mandir jalan. Membuat wajahku jadi pucat dan pusing. Tak terasa kami sudah menunggu selama empat puluh menit!

Bagaimana ini? Setengah jam lagi acara dimulai apakah kami bisa sampai? Akhirnya aku memutuskan untuk naik taksi tapi suamiku mengingatkan budget ongkos kita ke sana minim sekali hari itu. Dengan berat hati kami terus menunggu. Di kejauhan bus dari Bogor datang dan berhenti, spontan aku berlari. Dan ternyata aku berlari bersama puluhan orang lainnya yang juga sama-sama mau naik bus Bogor ini! Duh biyung... kenapa sih hari itu bus ke Bogor menjadi sangat langka? Setelah desak-desakan, rebutan kursi, alhamdulillah bisa duduk. Anakku juga bisa dapat duduk dengan nyaman. Alhamdulillah penantian berbuah tempat duduk. Baru kena AC sedikit, kami langsung bablas tidur. Dilalah senang saat turun Bus, kami tiba-tiba panik karena  saat turun tas suamiku terbuka. Saat kami periksa, sejumlah uang dan HP suamiku lenyap. Lemas rasanya.

Apalagi sudah jam 9.30, sudah setengah jam lewat dari waktu yang ditentukan. Rasanya mau nangis dan pulang saja. Kami hanya punya uang 50 ribu di tangan. Sudah naik taksi saja, kata suamiku. Bismillah. Kami pun naik taksi tanpa tahu seberapa jauh jarak dari terminal baranangsiang ke IPB Dramaga, lokasi acara. Sepanjang jalan kami berdegup melihat argo yang terus melaju. Pas sampai di IPB Dramaga, argo menunjukkan ke angka 50 ribu, kami pun mencari masjid ternyata masuk ke dalamnya jauh sekali! Menghabiskan 6 ribu argo taksi!

Ya ampun... uangnya kurang. Kami rogoh-rogoh tas, alhamdulillah dapat recehan enam ribu. Uang terakhir kami. Setelah kami kasih tukang taksi, tiba-tiba tukang taksi memanggil suami saya dan mengatakan kalau uangnya jatuh 5 ribu perak. Ia memberikan 5 ribu rupiah utk suami saya. Saya dan suami bingung, mana mungkin ada uang lagi? Wong tadi di taksi kami cari dan rogoh sana sini sudah habis uangnya. Si sopir taksi baik juga ya pikir kami. Apalagi tadi di taksi dia tahu kalau kami kecopetan.

Sesampainya di masjid IPB ternyata acara dipindah ke aula *apa ya lupa namanya* saya hopeless, info acara pindah pun saya dapatkan setelah saya memutari masjid yang luas itu. Alhamdulillah ada seorang mahasiswa yang berbaik hati mau mengantarkan kami ke aula tersebut. Saat sampai di sana, sudah jam 10.30 lewat ya ampun, acara udah kelar kali ya. Untung kang bije menghandle acara dulu. Setelah ambil napas sejenak aku langsung maju ke depan, memperkenalkan diri, membuat games, menjelaskan soal bagaimana membuat konflik dengan rumus IDE yang aku godok sendiri. Kemudian mengajak mereka untuk berpikir dari berbagai sisi, berimajinasi dan menggali keunikan dari segala sesuatu di sekitar mereka.



Tak terasa, satu jam lewat telah berlalu, adzan Dzuhur berkumandang. Rencananya kami mau main ke rumah  Kang Bije sayang sekali beliau ternyata harus menghadiri acara lainnya :) mister busy hehehe. Tapi kami tidak kecewa, kami sudah puas ngobrol sebentar dan foto-foto di cafe IPB.



Setelah itu kembali menempuh perjalanan pulang pada pukul 1.30 naik angkot! Karena ternyata susah menemukan taksi di daerah situ. Ya ampun, naik angkot kami diajak berputar-putar. Jam 2.30 kami baru sampai di terminal baranangsiang. Naik Bus, dapat duduk dan harus nunggu bus ngetem sampai jam 3.15 sore. Jam 3.15 sore pun jalan, padat merayap hingga ngetem lagi di terminal rambutan. Sampai jam 4 lewat, kami baru bisa naik bus ke Tangerang. Menempuh perjalanan sampai jam 6. Maghrib kami harus naik angkot lagi, angkotnya pun ngetem... alhamdulillah menjelang jam 7 sudah sampai ke rumah. Whoaaa... 8 jam perjalanan bolak-baliiik...

Tapi semua rasa letih itu hilang saat aku mendapat senyuman manis dari anak-anak cerdas yang penuh semangat itu. Binar mata mereka yang sangat ingin bisa menulis. Celetukan mereka yang lucu. Bahkan di akhir acara aku diberikan buku oleh salah seorang peserta yang ternyata sudah menulis KKPK. Ah... jadi malu, waktu kecil aku belum nulis KKPK :D




 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati