Adikku Yang Yatim

Tuesday, June 11, 2013

Namanya Alkhaiduri Hudaya Arsi, dia disunat saat berumur 5 tahun menjelang 6 tahun. Aku ingat sekali saat dia disunat, setelah bius sunatnya hilang dia kesakitan bukan main. Aku mengenggam tangannya, memeluknya dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Aku mengajarkan dia beristigfar lebih lama setiap dia merasakan sakit. Uniknya, adikku ikut sunatan massal. Tidak ada pesta sama sekali karena kondisi keuangan keluarga memang sedang tidak stabil. Yang lebih menarik lagi, dia disunat atas kemauannya sendiri. Bahkan ayahku pun sampai kaget dengan keberaniannya.

2 tahun kemudian, ayah meninggal karena penyakit Kanker yang menggerogotinya. Mungkin... disunatnya Ucha adalah satu dari sekian pertanda bahwa umur Ayah tidak akan lama. Ucha ditinggalkan saat usianya 6  tahun lebih. Menjelang tujuh tahun. Dia masih kecil, belum mengerti apa-apa, bahkan ia merasa sedikit 'senang' karena kalau Ayah meninggal tidak ada yang memarahi dia lagi. Ayah sebenarnya hanya marah untuk hal-hal yang penting. Seperti kalau Ucha tidak mau shalat di masjid atau tidak mau mengaji, Ayah marah. Atau kalau Ucha terlalu banyak makan mie dan jajan sembarangan, Ayah pasti marah. Marah yang tegas. Tapi, ya, namanya anak kecil. Kemarahan itu dianggap sesuatu yang menakutkan.

Tiga tahun lebih sudah berlalu, umur Ucha sudah mau 11 tahun. 3 Tahun yang dilalui dengan berat oleh kami. Kelima kakak-kakaknya. Berat... karena setelah Ayah meninggal, mama sakit-sakitan. Mama menemukan 'kesehatan'nya setelah beliau aktif kembali di PAUD. Kami senang melihat mama sehat lahir dan batin tapi mau tidak mau, Ucha jadi agak sedikit 'terlantar'. Terlebih kelima kakaknya sudah sibuk semua. Kami takut Ucha kehilangan figur seorang Ayah. Beruntung, Ucha ngga pernah kehilangan figur mama, meski mama sibuk melanjutkan kuliah S1-nya di usia ke 51 tahun.

Setelah Ayah meninggal, Ucha berkembang sangat pesat. Berkembang fisiknya. Ia layaknya anak kelas 1 SMP. Siapa sangka dia masih kelas 4/5 SD? Tak banyak juga yang tahu bahwa ia adalah anak yatim. Pun banyak yang tahu tapi abai terhadap kesejetahteraannya. Khususnya aku... kadang aku abai terhadap kebutuhan dia akan kasih sayang. Khususnya setahun belakangan ini. Dia semakin tumbuh besar tapi jiwanya masih jiwa anak-anak. Dia acap kali kena marah kakak-kakaknya karena kami ingin melindungi dia... memarahinya karena kemalaman bermain, memarahinya karena jajan sembarangan, dan marah-marah lainnya. Sampai kami sadar bahwa Ucha ini masih kecil! Dia butuh figur seorang Ayah. Dia bukan anak dewasa seperti kami para kakaknya. Meski kami memarahi dia karena kasih sayang.

Kami disibukkan oleh kesibukan masing-masing. Khususnya 2 tahun pertama sepeninggal Ayah, kami mati-matian membangun kembali ekonomi keluarga yang gonjang-ganjing. Selama ini ayahlah tumpuan keluarga. Ayah tak meninggalkan harta apa pun selain kebaikan-kebaikan dan nasehat yang lebih berharga dari harta. Beruntungnya tak ada hutang piutang yang melilit yang menyusahkan. Tapi kami, 6 bersaudara, baru 3 orang yang meretas. 3 Orang lainnya, 1 masih kuliah, 1 masih kelas 2 SMA dan 1 masih kelas 2 SD. Tentu butuh banyak pendanaan. Kesibukan kami membenahi keuangan membuat kami agak lengah dengan kesejahteraan hati Ucha. Sampai suatu hari... aku sadar, kami sadar, bahwa Ucha juga butuh pelukan. Ucha butuh kasih sayang dan kelembutan. Ucha butuh dimanja layaknya anak seumur dia.

Sejak aku punya anak, kasih sayangku padanya berkurang. Aku harus mencurahkan kasih sayangku kepada anakku. Beruntung... selalu ada kesadaran bahwa Ucha adalah anak yatim. Bahwa meski dia adikku, dia layak disayangi, layak dikasihi....

*curhat sore hari semata.



 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati