Antara Anne Shirley dan Sebuah Novel Islami Yang (menurut saya) biasa banget.

Monday, March 10, 2014

Antara Anne Shirley dan Sebuah Novel Islami Yang (menurut saya) biasa banget.

            Saya bukan pembaca buku yang pandai. Dulu waktu kecil, cita-cita saya ada 2, ingin menjadi komikus dan sastrawan. Akan tetapi referensi bacaan saya sedikit sekali, maklum Alm. Ayah saya guru SMK yang Insya Allah jujur, dengan 5 anak kecil yang harus dibesarkan, membeli buku termasuk hal mewah. Bahkan untuk berlangganan majalah Bobo saja hanya tahan beberapa edisi, sisanya saya harus nabung mati-matian untuk bisa punya buku dan majalah. Sejak SD, saya dan saudara-saudara saya sudah disuruh nyari uang sendiri. Kami akan dikasih uang saku kalau kami bekerja –dari sinilah saya belajar arti kerja keras-. Kalau mau membeli buku saya harus jadi loper Koran yang setiap jam 5 shubuh keliling 1 RW untuk memberikan Koran ke pelanggan. Kebetulan Ayah saya nyambi bikin agen Koran untuk menambah-nambah penghasilan. Jadi guru SMK di tahun 1990-an belumlah sesejahtera jaman sekarang.
            Saya pernah juga membantu Mama yang jualan air mineral gallon, mengantar gallon ke sana kemari, meski menepikan rasa malu sebagai ABG cewek yang baru tumbuh. Di saat anak-anak lain sibuk ke Mall, saya sibuk nabung dan kerja Cuma buat beli buku. Ayah saya sering bilang ke anak-anaknya. Urusan sekolah dan makan, semua ditanggung Ayah. Urusan senang-senang kayak beli Diary, buku, ke Mall dan lain-lain harus kerja dulu. Digaji dulu….
            Nah, dari sanalah, akhirnya saya condong untuk lebih banyak baca majalah Bobo bekas, di dekat SD saya ada tukang loak. Sesekali beli Bobo baru. Tapi setiap hari saya wajib baca Koran karena selama beberapa tahun Ayah jadi agen Koran, otomatis baca Koran jadi bacaan rutin. Dari uang yang saya punya, saya bisa beli komik-komik murah, donal bebek, petruk, mister Q, Pansy dan lain sebagainya. Sisanya hanya bisa beli novel-novel remaja dan novel anak yang murah. Sampai kuliah pun begitu, koleksi buku saya minim sekali. Koleksi perpustakaan sekolah saya pun minim banget. Gak kerenlah. Akhirnya saya sering nebeng baca komik sama tetangga yang kaya raya, sisanya saya jadi kerja jadi “tukang nagih denda buku” di sebuah rental komik langganan saya. Lumayan sekali dapat denda, saya bisa dapat puluhan ribu. Si pemilik rental sih santai aja, dia Cuma minta sedikit bagian yang penting koleksi bukunya balik.
            So’ jadi wajar (saya mewajarkan diri sendiri hehehe) kalau saya bukan pembaca buku yang pandai khususnya ngga pernah baca buku-buku klasik. Buku-buku terkenal seperti Life of pi, Old Man (apa ya lupa), terus Romeo Juliet, Mockingbird, dan lain-lain saya ngga bisa tuh bacanya. Bahkan buku-buku detektif terkenal penulis cewek luar negeri, saya ngga pernah baca. Karena saya memang ternyata lebih suka dengan komik, visualisasi, audio dan agak ngga ngerti baca buku terjemahan. Belakangan saya paham, bahwa ternyata bukan saya yang OON, ternyata ngga semua buku terjemahan diterjemahkan dengan baik dan bagus. Buktinya, setelah saya punya uang dan agak mapan, saya beli buku terjemahan banyak-banyak dan saya bisa ambil kesimpulan. Ada buku yang diterjemahkan dengan baik ada yang tidak.
            Saya tipe orang yang Cuma mampu baca buku terjemahan yang diterjemahkan dengan baik hehehe. Jangan suruh saya baca buku versi asli, karena bahasa inggris saya jongkok banget. Ngga bego-bego amat, sih, Cuma ngga punya motivasi kuat aja buat memelajarinya dengan semangat.
            Nah! Akhirnya, setelah agak mafan, pada suatu waktu saya memborong banyak novel klasik. Salah satunya adalah novel Anne Shirley before Green Gables. Kayaknya sih dia ngga klasik karena ditulis sama penulis masa kini, prekuel Anne Shirley begitulah. Singkat kata, setelah saya beli buku itu 2 tahun lalu, saya hanya membaca halaman awalnya dan udah pusing. Hadeh, kalimatnya membosankan, model-model buku klasik. Akhirnya saya tutup.
            2 Tahun pun berlalu, sungguh, saya sudah kehabisan bahan bacaan dan ngga sempat-sempat ke Gramedia. Akhirnya iseng ambil kembali buku Anne Shirley, awalnya say abaca sesekali saja, tapi semakin ke dalam ceritanya semakin asyik. Kenapa?
            Karena saya ingat masa kecil saya. Duluuuuuuuuuuuuu waktu kecil, saya kira orang tua saya jahat karena saya dipekerjakan hehehe, tapi sejak saya nikah saya paham bahwa orang tua saya sengaja memperlakukan anak-anaknya begitu supaya ngga manja. Duluuuu saya kira saya anak kecil yang menderita, sampai kemudian saya pernah baca komik Pansy tentang anak kecil yang hidup sendiri di hutan karena ortunya meninggal. Si Pansy yang sudah anak-anak ini pun hidup menderita saat dibawa pergi ke kota. Perjuangannya untuk menjadi Lady, benar-benar memecut semangat masa kecil saya untuk jadi Lady juga, eh, ternyata sampe sekarang ngga pernah jadi Lady L yang ada juga Lady gembrot.
            Nah, kembali ke novel Anne Shirley. Ternyata novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang anak yang ditinggal meninggal kedua orang tuanya sejak masih bayi, sungguh tragis emang dan sedih banget. Dia diambil/adopsi oleh pembantu rumah tangga ibunya, si pengadopsi ini berharap bisa mendapatkan barang-barang mewah orang tua Anne Shirley karena sudah mengadopsi si Anne tapi ternyata tidak. Apalagi si pengadopsi yang bernama Mrs. Thomas ini punya suami yang suka mabuk-mabukan yaitu Mr.Thomas.
            Entah apes atau apalah namanya, setelah mengadopsi si Anne Shirley, Mrs. Thomas yang sudah punya 3 anak gadis ini malah hamil. Hamilnya pun berturut-turut, setahun 1 anak. Sampai Anne berusia 5 tahun, Mrs. Thomas punya 4 bayi laki-laki. Walah walah… sampai di sini saya sudah berpikir bahwa si Anne pasti akan melewati masa sulit. Benar saja, ia kehilangan masa kanak-kanaknya, bayangkan di umurnya yang baru menginjak 4 tahun ia sudah disuruh merawat bayi, disuruh nyuci popok dan mengupas kentang.
            Saya jadi ingat masa kecil saya, umur segitu saya sih masih pake kutang dan lari-larian dengan rambut kepang. Saya jadi merasa masa kecil saya lebih indah ketimbang si Anne Shirley ini. Uniknya, dia punya segudang imajinasi. Banyak imajinasi. Saya pun jadi ingat memori masa kecil saya, saat saya lagi mencuci piring saya juga suka berimajinasi bahwa saya ada di negeri busa, saya punya pasukan bernama piring, gelas dan sendok. Eh, Si Anne gitu juga ternyata.
            Kalau sedang mengantar Koran, saya selalu berimajinasi sedang balapan naik motor di pagi hari atau naik kuda Pegasus sambil melempar Koran ke rumah pelanggan. Si Anne pun begitu, saat dia lagi mencuci popok, dia berimajinasi jadi puteri.
            Ah, dari segi cerita memang agak membosankan, terlalu detail, nyaris konfliknya ngga terlalu menukik. Tapi dari segi gaya bahasa, penceritaan, diksi dan karakter Anne, saya jatuh cinta. Saya jatuh cinta dengan deskripsinya, narasinya, dialognya. Indah banget. Saya jadi menyesal kenapa ngga baca novel ini 2 tahun yang lalu. Setelah menyelesaikan Anne Shirley itu saya bahkan terbawa-bawa dengan gaya bahasanya, saya mendapatkan mood nulis yang bagus dan belajar beberapa gaya menulis yang baru dan indah.
Saya pun buka –buka internet dan melihat ternyata novel Anne Shirley-nya yang ditulis Lucy M Montgomery, katanya lebih bagus. Gaya bahasanya lebih indah. Waaah saya jadi penasaran dan langsung berburu ke gramedia, sayang ngga ada. Ujung-ujungnya saya pun memesan online.
            Sambil menunggu kiriman, saya lalu kehabisan bacaan. Kebetulan saya sedang di rumah mertua di Jogja dan hanya membawa sedikit novel. Saya menuntaskan Anne Shirley di rumah mertua saya, komplit banget, bahasa yang indah dan suasana kampung yang syahdu. Lalu saya melihat ada novel karya penulis fenomenal. Penulis Indonesia yang novelnya laris ratusan ribu eksemplar, dijadikan film dan buku-bukunya juga dijadikan sinetron. Saya pikir untuk novel yang megabestseller itu karyanya bagus, gaya bahasanya indah, dan saya pikir novelnya yang lain, saya sedang say abaca pun juga akan bagus.
            Tapi ternyata saya menemukan kekecewaan mendalam. Novel ini, novel yang sudah difilmkan dan laris ratusan ribu eks ternyata gaya bahasanya jelek banget. Deskripsinya jelek, narasinya jelek. Aduh saya sok tahu banget ya mengatai seorang penulis besar dengan tulisan jelek hehehe. Kebetulan saja mungkin say abaca bukunya yang memang kurang bagus. Saya pun akhirnya menyadari satu hal : ternyata bukan tulisannya yang jelek, tapi karena saya baru saja menyelesaikan novel Anne Shirley, saya terbawa euphoria keindahan novel itu.
            Sehingga saat say abaca novel penulis Indonesia itu saya syok karena secara kualitas jauh panggang dari api, kayak langit dan bumi. Padahal itu adalah novel islami. Ya, yang saya suka dan saya kagumi, novel itu punya nilai lebih ketimbang Anne Shirley, tentu saja mengajarkan pemahaman-pemahaman islam dengan baik. Tapi gaya berceritanya lebih bagus novel Anne Shirley. Akhirnya saya membaca novel yang saya tulis sendiri dan manggut-manggut. Ternyata novel saya juga punya gaya bahasa yang jelek! Jelek!
            Ternyata saya juga harus banyak belajar menulis, tulisan saya juga masih kalah bagus dari Anne Shirley. Saya jadi yakin dan paham kenapa cerita Anne Shirley bisa bertahan sampai 100 tahun dan punya banyak penggemar. Jujur saya memaksakan diri membaca novel islami yang menurut saya biasa banget itu karena ada cover actor idola saya sebagai tokoh utama di novel itu. Saya kan penggemar dia juga hehehe….
            Tapi dibandingkan sama novelnya yang MegaBestseller yang filmnya pun laris di mana-mana, novel yang say abaca ini jauh berbeda kualitasnya. Kalau boleh jujur, bagusan novel yang MegaBestseller itu. Dari segi bahasa maupun cerita. Yaaa…. Dari sini saya belajar satu hal.
            Belajar untuk lebih membuka wawasan membaca saya. Mungkin selama ini saya cupet (istilah saya ya kurang update gitu) kurang buka wawasan sehingga bacaan yang say abaca Cuma novel-novel islami yang  kualitas bahasanya biasa aja. Pantes tulisan saya jadi biasa-biasa aja. Banyak novel islami yang keren, punya gaya bahasa bagus dan wajib saya pelajari. Saya bahkan belum baca novel klasiknya Buya Hamka, novel klasik islami lainnya juga belum say abaca. Jadi saya kemana ajaaaa? Plaaak!
            Jadi ceritanya, isi blog yang saya tulis ini hanyalah sebuah curahan hati atas kegelisahan saya mengenai kualitas penulis-penulis dalam negeri. Termasuk saya sendiri. Well… jadi penulis memang tidak bisa cepat berpuas diri. Harus terus menggali dan menggali bahan bacaan lain. Lebih banyak lagi dan lagi supaya kita tahu diri. Tahu bahwa tulisan kita masih cupet, masih picik, masih biasa banget. (SUMPAH INI NASIHAT BUAT SAYA SENDIRI)
            Saya tidak menyalahkan masa kecil saya yang kurang fasilitas. Toh banyak di luar sana penulis yang tumbuh dari kekurangan juga tapi bisa mendapat akses bacaan yang banyak. Saya murni menyalahkan diri saya sendiri yang terlalu “bodoh” untuk mau memahami bacaan-bacaan terjemahan atau sastra klasik Indonesia.
            Lalu saya pun memahami, mengapa seorang penulis wajib banyak membaca. Agar dia bisa berkata-kata dengan indah dan menghanyutkan pembacanya. Cita-cita saya, ingin novel-novel saya bisa bertahun 100 tahun atau lebih.

***
Bantul, 25 Januari 2014

Di teras rumah mertua, jam 5:47 WIB.
 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati