Curhat Seorang Mama Yang Tak Sempurna

Sunday, August 9, 2015

Saya termasuk korban parenting hehehe. Dalam artian begini :

Ketika saya punya anak pertama, saya melahap banyak buku parenting, mengikuti berbagai pelatihan parenting dll dll. Lalu saya terapkan pada anak saya. Untuk usia 1-4 tahun, menerapkan parenting ngga susah susah amat. Nah, kesulitan saya alami ketika anak saya berumur 5 tahun dan saya hamil anak kedua.

Dalam benak saya dulu, ilmu parenting yang bertebaran disajikan oleh orang terkenal adalah wajib dijalankan jika mau mendapat kehidupan yang sempurna. Mendidik anak sempurna : makanan sehat non msg, tidak membentak, lemah lembut, penyabar tingkat dewa, selalu bisa menjawab pertanyaan anak dengan baik, dan yang lebih hebat adalah bisa home schooling-in anak sampai anak masuk Universitas di luar Negeri. Kalau perlu kegiatan HS ini jadi inspirasi banyak orang. Terus anakku bisa dapat prestasi melejit di usia SD kelas 1 or kelas 2, misal juara menulis tingkat nasional, juara karate tingkat nasional or apalah.

Sempurna. Sempurna sekali. Dalam bayanganku.

Semua musnah ketika anak kedua lahir.

Baby blues yang butuh kekuatan ekstra untuk melawannya. Menghadapi anak pertama yang rewel karena ngiri dengan anak kedua. Saya pun baca parenting lagi gimana ngadepin si kakak yang mulai cemburu ini. Repot pun dobel karena si kakak dalam usia sekolah TK. HS? Hmm... itu pemikiran sempurna tapi tampaknya masih jauh dari jangkauan.

Karena apa? 3 Bulan setelah anak kedua lahir, perekonomian saya dan suami gonjang-ganjing. Kami mencoba peruntukan bisnis makanan, tambah bangkrut, bukannya untung. Alhasil sampai harus ngutang sana sini. Maka saya pun punya kesibukan baru, bahu membahu mencari uang bersama suami untuk tetap bisa hidup dan menghidupi kedua anak saya. Maklum kedua orang tua kami bukan dari kalangan berada, jadi hanya mampu membantu seadanya.

Lalu anak pertama mogok sekolah, dengan segala permasalahan khas sekolah dasar : dibully, tidak ditemanin, guru galak, tidak mau sekolah karena dibully, dll dll. Saya juga ikutin dia taekwondo dan mengaji, dengan harapan dia bisa mendapat prestasi, tapi dia ngga mau. Prestasi dia selama jadi kelas 1 cuma membaca lebih dari 50 buku anak : dari mulai bergambar sampai kumpulan cerpen dan ensiklopedia. Saya anggap itu prestasi karena seumuran dia belum banyak yang begitu. Dan prestasi itu tidak dapat sertifikat, medali atau dibanggakan ke sana sini. Dia juga belum minat nulis bikin cerita, tulis tangan masih kacau dll dll. Saat sedang crowded begitu, pembantu yang biasa datang pagi pulang sore, minggat mendadak. Lengkaplah sudah kerempongan saya.

Saya sempat stress campur baby blues, karena ngga bisa memberikan pendidikan yang baik buat anak saya. Rencana saya mau HS di rumah gagal total. Anak pertama saya juga susah ngaji dan susah disuruh belajar. Perlahan saya belajar melihat realita. Ngga semua orang bisa HS. Saya melihat kondisi saya, kondisi keluarga, kondisi keseluruhannya. Akhirnya saya menyerah sementara. Saya berdamai dengan diri saya. Meski ngga HS kamu bisa kok memberikan pendidikan terbaik buat Abiy.

Saat perekonomian saya dan suami membaik, kami lalu sepakat mau menyekolahkan Abiy ke SDIT. Padahal dulu saya termasuk kurang setuju jika harus sekolahin anak dari pagi sampai jelang sore kayak orang kantoran. Tapi melihat kondisi saya kurang bisa maksimal mendidik di rumah, apalagi suka sakit-sakitan, anak kedua juga butuh perhatian maksimal, megang sendiri rawat sendiri. Saya dan suami pun masukin ke SDIT. Niat kami baik, kami tahu diri belum bisa jadi ustadz dan ustadzah yang baik buat anak, belum jago hapalan qurannya, belum bisa bikin banyak kegiatan yang ngga bikin anak saya bosan.

Di sekolahnya yang baru. Anak saya terlihat capek fisik tapi dia bilang dia senang. Guru-guru baik, bermain, nonton film kartun, makan bersama, dan dalam seminggu hapalannya semakin baik. Kadang kalau melihat postingan ahli parenting atau share orang-orang yang mendewakan HS hati saya suka perih. Iya saya ngga bisa jadi ibu sempurna, ngga bisa jadi mama yang baik, saya "Nyiksa" anak saya di sekolahan yang masuk dari pagi sampai sore. Yang kata kebanyakan orang parenting ngga bagus... dll dll. Tapi saya di rumah, saya kerja di rumah, saya selalu ada buat anak saya setiap saat. Saya akui saya iri dengan ibu-ibu yang berhasil HS tapi ini hidup.

Hidup berani menghadapi realitas.

Pada akhirnya saya harus menerima. Setiap keluarga berbeda.

Berbeda kondisi maka berbeda pula penanganannya.

4 comments:

  1. Gpp, mba Achi. Kadang hidup ngga semulus buku2 parenting. Jadi dibikin santai aja, biar hidup nyaman dan selalu sehat, hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi iya Ila Rizky, udah lewat itu masa-masa pusing harus sempurna sesuai teori. Sekarang mah hidup jdi lebih nyaman gitu deh

      Delete
  2. Ah yaaaa, setujuuuu banget dengan postingan ini mbaaa

    ReplyDelete

 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati