PROLOG Novel INSYA ALLAH, SAH! Part 1 (plus Give Away)

Friday, June 12, 2015


Hosh… hosh....

Rambutku terurai tidak karuan, keringat membasahi sekujur tubuh dan wajahku. Aku akan menetapkan hari ini sebagai hari tersial dalam sejarah hidupku. Aku berlari begitu cepat, melintasi halaman perkantoran Sudirman hingga akhirnya tiba di gedung kantor Dion. Rusak semua dandananku! Angin siang ini bertiup kencang sekali bercampur dengan asap knalpot kendaraan yang terjebak macet di beberapa ruas jalanan Ibu Kota. Beberapa daun yang jatuh dari rantingnya mendarat di atas rambutku, aku menepis satu dua daun dan merapikan sedikit anak rambutku. Tinggal naik ke jembatan penyebrangan maka tibalah aku di depan kantor Dion. Kutiti anak tangga satu per satu, melintasi dua cewek SMA yang sedang cekikikan menuruni tangga. Aku berdecak kesal : apa mereka menertawakanku?

Keep positive Silviana.

Dengan langkah lebar-lebar, aku menyebrangi jembatan penyebrangan. Melintasi seorang kakek tua berbau minyak angin yang menyengat, berjalan pelan dengan tongkatnya. Nyaris saja aku menabraknya jika tidak segera melangkah ke samping dan mencari celah jalan lain. Udara ekstreem membuat angin berhenti mendadak dan segera menjebak semua manusia di Jakarta ini dengan udara panas lagi.

Aku tetap mengeluh, menyalahkan Madam Wulan atas semua kesialanku ini.

Dua jam yang lalu, akhirnya aku dipaksa membuat desain ulang oleh Madam Wulan. Dia mengancam akan membawaku ke polisi atas pasal penipuan. Duh, belum lagi kedua bodyguardnya yang tidak mau beranjak dari meja kerjaku. Memastikan aku benar-benar menyelesaikan desain ulang. Lebih tepatnya desain baru! Gratis pula. Benar-benar lagi apes.

Beruntung Madam Wulan senang dengan hasil desainku yang kilat. Satu jam lewat lima belas menit. Otakku benar-benar di push. Segala kemampuanku dikeluarkan. Aku merasa seperti Jet Li yang sedang melawan Kungfu Panda. Capeknya seperti Ang yang sibuk melawan serangan Negara Api seorang diri.

Madam Wulan membawa desain itu pergi. Dia tidak mau memakai penjahit butikku lagi. Desain itu akan dia bawa ke penjahit lain yang merupakan langganannya. Baju yang menurutnya ‘rusak’ semula dia onggokkan saja di mejaku tapi kemudian dia ambil kembali dengan alasan tidak mau rugi.

“Baju ini akan kuperbaiki dan kuberikan pada keponakanku yang kuliah di Amerika!” ujarnya seraya berbangga diri. Kemudian pergi.

Silakan saja Madam, bawa saja. Mau dikasih ke keponakan yang di Amerika atau di Afrika aku tidak peduli.

Begitu Madam Wulan pergi, aku menjerit memanggil Tasya. Dia adalah Quality Controlnya para penjahit, sekaligus pimpinan produksi. Dia yang harus disalahkan. Maka berhamburanlah segala macam kemarahan dari mulutku. Tentu saja aku menahan diri agar tidak mengucapkan kata-kata kasar, aku tak mau Tasya kabur. Aku tetap marah dengan elegan dan pitch control suara yang pas. Karena Tasya adalah salah satu karyawan terbaikku.

Lega karena semua emosiku sudah dikuras, aku mencoba menelepon balik Dion untuk meminta maaf. Rasanya tak mungkin dia masih menunggu di restoran itu. Aku harap dia mau memahami situasi yang menjengkelkan ini. Tapi teleponku sama sekali tak di angkat. Hanya dibalas dengan satu message BBM yang membuat aku melongo.

Padahal aku mau melamar kamu di sana….

Rahangku nyaris jatuh membaca pesan itu. Ruang kerja berukuran 3 x 4 meter ini mendadak jadi sempit menghimpit dan membuatku sesak napas. Nyaris empat tahun kami berpacaran dan selama itu pula aku menunggu dia melamarku. Selama ini wacana soal pernikahan terasa sulit untuk aku ungkapkan karena Dion adalah tipe lelaki yang ingin bebas. Beberapa wacana pernikahan yang mau aku gulirkan harus dimentahkan, dicuekin, diabaikan, acuh dan begitulah.

Kalau ditanya apakah aku sudah siap menikah? Aku akan menjawab dengan lantang : Sudah! Karena aku sudah menemukan Dion sebagai tulang punggung tempatku bernaung dan berlindung. Karena aku sudah yakin Dion adalah yang terbaik. Meski pangeran dari Mars melakukan invasi ke bumi untuk menculikku aku akan tetap mencintai Dion.

Apalagi umurku sudah 29 tahun dan Ibu berulang kali mengutarakan keinginannya untuk memiliki cucu. Ah, Ibu, seandainya seorang cucu bisa dibeli di minimarket, aku pasti akan beli setiap hari. Dion tak pernah suka membahas soal pernikahan. Never!

Bahkan kami pernah bertengkar hebat karena aku mendesak Dion untuk melamarku. Aku mencintai Dion seperti hutan yang tak mau kehilangan pepohonan. Pohon memang bisa menciptakan oksigen, tapi pohon tak bisa hidup tanpa tanah hutan. Aku memang bisa hidup, tapi aku tak akan bisa bernapas bahagia tanpa Dion di sisiku. Maka aku minta maaf pada Dion dan berjanji padanya agar tak akan membahas pernikahan sebelum dia yang menyinggungnya.

Sekarang? Dia bilang mau melamarku? Berarti makan siang romantis kali ini berbeda dengan biasanya? Lututku lemas, bahuku melorot hingga terjatuh di atas meja. Gara-gara Madam cerewet itu aku harus kehilangan momen istimewa yang aku tunggu selama 1357 hari. Bergegas aku mengumpulkan tenaga untuk berdiri, merapikan dandananku yang sudah hancur, menyambar tas dan pergi ke tempat parkir. Aku mengendarai mobil dengan tak sabar. Memencet klakson berkali-kali setiap aku menemui lampu merah. 1 Kilometer sebelum jalan Sudirman, tempat kantor Dion berada, ban depan mobilku pecah. Aarrghh… benar-benar musibah. Aku keluar dari mobil, mencari taksi.

Dengan cepat aku menghempaskan diri di kursi penumpang. Baru saja aku mau menarik napas lega, sopir taksinya salah belok. What? Napasku mendadak jadi tercekik lagi. Padahal aku bilang lurus, kenapa dia belok? Sekali salah belok di Jakarta maka harus memutar jauuuh jauuh sekalii… dan melewati beberapa area kemacetan sebelum akhirnya kembali ke tempat semula.

Tuhan pasti lagi bercanda.

Di dalam taksi aku menelepon Dion berkali-kali dan tetap tidak diangkat. Aku menelepon sekretarisnya dan minta disambungkan dengan Dion. Tapi sekretarisnya bilang Dion tidak mau menerima telepon dariku karena sedang meeting. Aku titip pesan, bahwa aku ke kantornya sekarang. Aku tak peduli dia sedang meeting atau sedang naik genting pokoknya hari ini aku harus dilamar! Tak boleh ada penundaan lagi.

Umurku sudah 29 tahun dan aku nggak mau Dion melamarku tahun depan.

Dan Tuhan benar-benar lagi bercanda. Taksi yang kutumpangi tiba-tiba berhenti tepat di belakang mobilku yang diparkir sembarang di pinggir jalan. Sopir taksi keluar dan melihat keadaan, dia mengetuk pintu belakang dan bilang :

“Ban depan bocor, mbak. Banyak ranjau paku di sini, nih… parah….”

Dezig! Rasanya kepala dan dadaku dilempar palu besar. Dengan terhuyung-huyung aku keluar dari taksi dan menatap nanar mobilku yang sedang didekati polisi. Hah? Polisi? Aku buru-buru mendekat dan bengong karena mobilku mau ditilang.

Setelah kena tilang aku diharuskan untuk menelepon bengkel terdekat dan menderek mobilku sampai bengkel. Oke… oke, Dion penting tapi mobil Peugeut 206-ku ini juga penting banget. Sia-sia waktu di jalan selama dua jam!

Sudah mau jam empat sore, matahari sudah mulai perlahan turun dari singgasana tertinggi. Dua jam lagi kantor Dion bubar. Dion pasti pergi entah ke mana. Biasanya dia tak pernah langsung pulang ke rumahnya. Pasti mampir meeting di suatu tempat bertemu dengan big bossnya atau dengan klien baru.

Aku berdiri mematung menunggu taksi lagi karena di sini tidak ada ojek. Dua puluh menit aku nyaris mengigil karena angin sore bertiup cukup kencang hari ini. Pepohonan sampai bergoyang dan awan kelabu perlahan menutupi sinar matahari. Maka lari adalah pilihan terakhir sebelum Dion pulang dan sebelum aku basah kuyup.

Aku berlari hingga sanggulan rambutku lepas, membuat rambut hitam panjang sebahuku tergerai. Keringat bercucuran dan di sinilah aku sekarang. Terengah-engah di dalam lift.

Aku menghela napas lega karena sudah ada di dalam lift dan perlahan-lahan pintu lift akan tertutup. Pintu lift baru setengah tertutup ketika seorang lelaki dengan rambut cepak tergopoh-gopoh menahan pintu lift dan masuk ke dalam. Sebelum pintu lift benar-benar tertutup aku sempat melihat petir mengilat di balik jendela gedung. Sayup-sayup suara hujan deras bersatu dengan suara pintu lift yang tertutup. Lega rasanya karena aku sudah ada di dalam gedung.

Aku memencet tombol lantai 12 sambil membayangkan akan minum cokelat panas bersama Dion di ruangannya. Sampai kusadari lelaki berambut spike itu tidak memencet tombol apa pun.

“Lantai berapa, Mas?”

“Oh…” dia menjawab sambil menunduk, “sama, lantai dua belas juga.” Jawabnya singkat tanpa mendongak dan sambil merapikan kertas-kertas di dalam map yang dia bawa. Kemudian kertas itu dimasukkan ke dalam ranselnya.

Bahuku terasa lebih rileks ketika lift ini sudah berjalan, menanjak ke atas. Kurang dari satu menit lagi, aku akan berada di depan ruang kantor Dion. Aku akan segera menghambur ke arahnya dan mengatakan I want marry you sebelum dia melamarku. Aku bersidekap dan tertawa sendiri.

Lelaki di sebelahku seperti terkejut akan sesuatu kemudian berjalan ke pojokan lift. Terkesan seperti menghindariku. Baiklah, mungkin dia berpikir aku agak kurang waras. Aku menoleh ke dinding sebelah kanan lift yang dilapisi cermin. Sosokku berantakan banget! Beberapa anak rambut terangkat ke atas, poni kebanggaanku lepek nempel di dahiku yang basah. Sebagian bedakku luntur. Maskaraku rusak.

Pantas saja lelaki di sebelahku langsung menjauh ke pojok. Sudah berantakan, ketawa sendiri, hiyy… jauh dari kata wibawa, seksi, dan anggun. Aku harus segera merapikan kekacauan ini dalam waktu kurang dari enam puluh detik. Rapikan rambut, ambil mascara, seka bagian yang rusak, pakai lagi… bruk!

“Aw!” maskaraku mencoreng nyaris separuh dahiku.

Sebisa mungkin aku menahan diriku agar tetap berdiri seimbang. Membuka kedua kaki lebar-lebar, setengah kuda-kuda silat, membentangkan kedua tangan dan melotot melihat ke depan pintu. Ada apa? Kenapa liftnya bergucang? Terus kenapa… kenapa liftnya berhenti? Aku menoleh ke belakang, sekelebat kudapati bayangan diriku semakin kacau. Lelaki beransel itu juga bengong di depan ranselnya yang masih terbuka. Beberapa kertas di tangannya jatuh. Setidaknya aku lega karena pose dia juga tidak lebih keren dari poseku.

Aku buru-buru memperbaiki posisi berdiri. Daripada jadi masalah lebih baik kuhapus mascara yang menganggu ini dengan tissue basah.

“Mm… Mbak… liftnya kenapa, ya?”

“Berhenti,” jawabku berusaha tenang. Silviana Harini tidak boleh terlihat kalut di depan orang lain. Harus tenang dan elegan. Meski jantungku berdebar-debar tidak karuan dan pikiranku dipenuhi oleh segala macam bayangan buruk.

Aku memencet-mencet tombol tanda pintu terbuka. Tapi pintu tak terbuka juga. Baru kusadari kalau lampu tombol telah mati. Lift ini berhenti? Rusak? Aku melihat ke sekeliling, lift ini sempit sekali. Lelaki itu hanya menunduk saja sambil merapikan kertas-kertasnya yang berjatuhan di lantai.

* bersambung *


Catatan Penulis :

Mau dapat FREE Novel Insya Allah, Sah, bertanda tangan Achi TM?

Caranya mudah, sharing Halaman Blog berisi Prolog Novel ini (dengan copas link) ke FB kamu dan twitter kamu lalu berikan komentar tentang prolog novel ini, jangan lupa mention @AchiTM di twitter atau Achi-tm-penulis di FB. Kalau belum berteman di FB bisa subscribe kok ^^

Akan dipilih 2 Orang pemenang yang akan diumumkan tanggal 20 Juni. Yuk... cekidot :D

Tertarik memesan novel Insya Allah, Sah! Edisi Tanda Tangan Penulis?
Silakan kontak Rumah Pena di 085643376193

9 comments:

  1. Udah ikutan

    https://www.facebook.com/Inokari/posts/502698709883722?pnref=story
    https://twitter.com/Inokari_/status/609736084172374017

    Terimakasih :))

    ReplyDelete
  2. Sudah ikutan, mbak.
    FB: Leli Erwinda
    Twitter: @lely_winda

    Terima kasih. ^_^

    ReplyDelete
  3. sudah ikutan mbak :D

    Nama: Eni Lestari
    FB: Eni Lestari
    Twitter: @dust_pain

    https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1603639446560548&id=100007435237196&refid=17&_ft_=top_level_post_id.1603639446560548
    https://twitter.com/dust_pain/status/610219249496231936

    yang di FB gak bisa tag mbak :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siaaap, thanks udah partisipasi dan kasih linknya ^^

      Delete
    2. Mbak aku ngga bisa lihat linknya :D mungkin dibuat publik bisa mbak? Hehehe. Thx ya

      Delete
  4. udah ikutan juga Mbak hehey

    https://www.facebook.com/nurul.fauziah.142
    https://twitter.com/nufazee

    ReplyDelete

 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati