Setelah Ayah Pergi # malam itu

Friday, June 22, 2012



                                         Ayah (5 bulan sebelum beliau meninggal) dan Mama 



2 Tahun setelah ayah pergi aku keguguran.
Janinku baru 3 bulan saat itu. Yang membuat aku sangat sedih adalah kehilangan ini lagi-lagi datang. Aku teringat saat Ayah pergi untuk selama-lamanya. Aku ingat bagaimana malam itu, setelah aku dan suamiku baru saja hendak pergi tidur, kakak iparku datang. Mengetuk pintu dan mengatakan bahwa Ayah sudah sembuh. Rasanya dunia begitu bahagia dan segala beban yang menghimpit terasa lega. Aku dan suami segera berpakaian, kami membungkus Abiy dengan selimut dan bersepeda di tengah malam menuju rumah Ayah.
           Jam 2 malam saat itu. Kami belum punya motor. Kayuhan suamiku terasa berat, setiap gelontor bannya terasa penuh tanda tanya. Keajaiban apa yang tiba-tiba datang sehingga membuat Ayah mendadak sembuh? Padahal baru kemarin, baru kemarin aku dan suamiku menjenguk Ayah. Kutatap mata terakhir Ayah yang penuh dengan berjuta nasihat. Aku tahu mata itu ingin berbicara banyak hal, sinarnya, sorotnya masih penuh semangat tapi apa daya Ayah sudah susah bicara. Bahkan untuk duduk pun tidak mampu!
            Bagaimana aku bisa dengan begitu bodohnya menyangka bahwa Ayah benar-benar sembuh. Saat aku tiba di rumah Mama, aku langsung pergi menyeruak masuk ke dalam rumah. Di sana kakakku tersenyum kecil lalu membisu sambil terus menyapu lantai, kakak iparku mengeluarkan kursi dan menyingkirkan lemari. Ruang tengah menjadi lengang. Pikiranku mendadak kusut dan campur aduk.
              Mana Ayah? Katanya Ayah sudah sembuh?
             Ayah lagi di jalan pulang, jawab kakak iparku tenang. Kutatap kakakku yang masih sibuk menyapu, mengepel, memberikan pengharum ruangan. Ia bekerja tanpa ekspresi tapi aku tahu dia tengah menahan tangis. Mendadak kakiku lemas. Sungguh aku masih memercayai keajaiban itu. Aku terus mendesak kakak iparku. Apa yang terjadi dengan Ayah? Berulang kali ia hanya bilang, Ayah sudah sembuh dan akan pulang ke rumah.
         Ya Allah… apa-apaan ini! Aku terduduk di kasur, menangis sesegukan. Membayangkan situasi terburuk dan aku tak mau mengakui bahwa ini adalah kenyataan. Berkali-kali aku memukuli pipiku, tetap sakit. Suamiku meletakkan Abiy yang masih tertidur di atas kasur kakakku, ia lalu memelukku lembut. Menenangkan aku agar sabar dan ikhlas.
            Sabar untuk apa!? Ikhlas untuk apa?! Aku sewot bukan main. Lalu meyakinkan diri sendiri. Ya… ya… Ayah sudah sembuh, ayah sudah sehat! Besok bisa main lagi sama cucunya. Ya… ya… pasti keajaiban itu datang.
           Kakakku menyuruh aku untuk mandi. Dia minta agar aku menyambut Ayah dengan badan yang bersih. Aku semakin nangis menjadi-jadi. Gila! Ini gila! Rumah sudah bersih, semua orang sudah mandi dan menyambut Ayah. Mengapa menyambut Ayah harus begini? Kenapa tikar harus digelar? Tepat setelah beberapa menit adzan shubuh berkumandang, aku melihat sosok Ayah datang. Dipapah oleh beberapa orang yang asing bagiku. Terbujur kaku. Dibungkus oleh kain batik. Bau harum kucium selintas lalu. Aku melihat Ayah sedang tidur di atas tikar. Aku tahu Ayah sedang tidur saja. Ayah pasti bangun. Aku meraih tangannya, masih hangat. Aku tahu Ayah pasti masih tidur. Bukankah Ayah sudah sembuh?
             Aku menunggu selama beberapa jam, matahari pagi sudah menyibak malam. Kokok ayam pejantan di kejauhan. Satu per satu tetangga berdatangan. Memberikan ucapan bela sungkawa. Kenapa? Ayah hanya tidur. Lihat dia terlihat damai, Ayah terlihat putih padahal kulitnya hitam. Ayah baik-baik saja, kok. Tak perlu ucapkan bela sungkawa. Aku ingin menangis dan meledak tapi begitu melihat Mamaku tersenyum menghadapi semua pelayat, air mata itu mendadak tertelan oleh senyum Mama.
            Mama sudah ikhlas.
        Itulah kenapa Mama bisa tersenyum. Mama tidak menangis. Itulah yang membuat anak-anaknya menahan tangis setengah mati. Tapi aku tak sanggup dan akhirnya meledak. Sebelum ayah dimandikan, berkali-kali aku menciuminya. Berharap dia akan bangun. Berharap ada keajaiban dari negeri dongeng yang sudi bertandang ke rumahku.
            Namun ayah tetap dimandikan. Di luar rumah, tepat di depan masjid yang berhadapan dengan rumah kami. Tubuhnya bersinar ditimpa cahaya. Membuat aku lega dan bahagia. Ayah begitu sempurna dalam kematiannya. Aku masih berharap Ayah hanya mati suri lalu mendadak membuka matanya. Saat Ayah dikafani, aku tak kuasa lagi menatap Ayah. Aku masuk ke kamar. Menangis sejadi-jadinya sampai kemudian kami harus pergi. Untuk mengantarkan Ayah ke tempat istirahatnya yang terakhir.
            Aku tahu aku akan berada di posisi Ayah saat itu. Aku, Mama, Kakakku, kita semua, akan melalui prosesi itu. Ditimbun tanah itu. Dan hanya meninggalkan anak shaleh, amal jariyah serta ilmu yang bermanfaat. Aku terduduk lemas di gundukan tanah yang masih basah. Aku yakin ini masih mimpi… aku berharap bangun. Tapi waktu terus berjalan….
            Aku bisa melalui dua tahun tanpamu, Ayah. Aku bisa melaluinya… meski kerinduan ini dan segala kenangan tentang kita tak akan pernah hilang.
            Dua puluh lima tahun aku mengenal Ayah. Dua puluh lima tahun aku punya ribuan kenangan yang kuingat maupun luput dari ingatanku. Dua tahun aku bisa menerima kepergianmu Ayah. Selama ini aku hanya berpikir kau pergi dinas ke Padang dan entah kapan pulang. Tapi aku salah… kau sudah berpulang ke tempat abadi.
            Malam ini aku mengelus perutku yang sudah kempes. Kosong.
            Dear my angel : baru tiga bulan kita berkenalan. Semoga aku tak butuh dua tahun untuk menerima kepergianmu. Baru tiga bulan kita bertemu di dunia yang berbeda. Semoga kelak kita berjumpa di Surga, Nak. Bersama Atok, Ayah, yang sudah mendahului kita.
            Ya Allah… jika ikhlas adalah sebuah pelajaran yang begitu sulit, izinkan aku untuk mempelajarinya. Lewat cinta kasih-Mu. Dekap Aku…. 


Achi TM
(Rumah Pena - 22 Juni 2012)

No comments:

Post a Comment

 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati