[Cerpen] CINTA AKAN MENEMUKAN TEMPATNYA SENDIRI

Wednesday, September 12, 2012


CINTA AKAN MENEMUKAN TEMPATNYA SENDIRI
~ Achi TM ~
                        

                Seperti semerbak harum hujan menyusup ke dalam bulu halus hidung, seperti itulah napas yang pecah-pecah datang pada Silvia. Napas yang selalu membacakan pesan cinta, pesan rindu angin pada titisan embun pagi. Pesan dari tanah untuk titik pasukan langit yang terus menghujam bumi. Suara camar yang hilang di cakrawala lautan lepas, Silvia tiba-tiba merindukan napas itu pada malam ini. Ia tersentak pada suatu kesadaran bahwa ia sudah melampaui batas perasaan.
            Ping!
            Sebuah pesan singkat masuk ke Facebooknya. Silvia sedang chating dengan seorang pria di ujung sana, namun bukan pria yang biasa memberikan ia napas cinta. Pria ini memberikan lebih dari sebuah napas. Ia menjulurkan sebuah nyawa bernama ‘selingkuh’.
            Dani : Sil… gimana? Besok bisa ketemu di kantin kampus?
            Silvia menghela napas. Ragu-ragu ia menjawab, mengetik tuts keyboard pelan-pelan.
            Silvi : Tapi aku ngga bisa meninggalkan Rangga. Dia masih di rumah sakit.
            Dani : Ini terakhir kalinya, Sil. Ijinin gue buat buktiin kalau cinta gue lebih besar dari Rangga.
            Silvi : Aku ngga bisa, Dan… ngga bisa … di saat Rangga sedang sakit. Maaf.
            Suara napas pecah-pecah itu datang kembali menerobos gendang telinga halus Silvia. Suara Rangga bertalu-talu, memaksa tangannya menutup layar laptop. Membiarkan Dani dalam ketidakpastian.
            Hujan masih mengguyur Jakarta malam ini. Silvia terkejut saat sebuah tangan menarik bahunya halus. Tergeragap ia memasukkan laptop kecilnya ke dalam tas laptop. Silvia tersenyum pias pada wajah Bu Azizah, calon mertua yang kini ada di hadapannya.
            “Silvia, Rangga sudah sadar. Ia terus memanggil nama kamu. Masuklah….”
            “I… iya, Bu….”
            Silvia mencangklong tas laptopnya lalu dengan takzim memohon diri. Berjalan memasuki kamar rawat inap Rangga. Koridor rumah sakit nampak senyap, menikmati nyanyian air bumi.
***
            Di ujung langit paling dalam yang terletak di hati Silvia sesungguhnya ada sedikit rongga yang membuat napasnya lega. Rongga menguap bersama rayu-rayuan seorang Dani. Ketika kekosongan mencabik-cabik hubungannya dengan Rangga, Dani datang menutupi rongga hampa di dalam jiwanya. Dani membawakan sekuntum tawa dan sebingkai mimpi-mimpi indah tentang sebuah hubungan.
            Bukan Rangga yang selalu memberikan kepastian dengan tergesa-gesa termasuk meminang Silvia di umurnya yang masih 20 tahun. Hanya tinggal menunggu Rangga mendapatkan pekerjaan, ia akan segera menikahi Silvia. Cinta lelaki itu pada Silvia melebihi cintanya pada diri sendiri. Tidak terlalu overprotektif namun cukup membuat Silvia merasa terkekang. Ia tak kuasa menolak segala kebaikan Rangga. Perhatian lelaki tampan, kebaikan Rangga yang terus membuncah-buncah, memanjakan Silvia seperti Putri Tidur yang baru terjaga dari mimpinya. Silvia terbuai… nyaman dalam ‘rahim’ ciptaan lelaki itu. Terkurung dalam selaput beningnya yang membuat napas Rangga selalu pecah-pecah di hati Silvia. Napasnya seolah ada menempel dalam setiap langkah gadis itu. Rangga sudah beranjak 25 tahun. Tepat di hari ulang tahunnya, ia sakit.
            Bukan sebuah sakit yang parah, hanya tipes biasa.
            Namun cinta kasih Bu Azizah yang luar biasa, membuat seolah Rangga sakit begitu keras. Rupanya segala curahan kasih Rangga mengucur dari keran cinta sang Bunda.
            Pagi ini Silvia menyuapi Rangga.
            “Dokter bilang, sore ini udah bisa pulang, say….”
            Rangga menerima suapan cinta dari Silvia. Ia mengunyah begitu bersemangat. Nafsu makannya sudah bertambah sejak dirawat seminggu yang lalu.
            “Bunda ngga percaya sama obat cina, sih….” Rangga bertahak di tengah kunyahannya, matanya menatap Silvia lekat-lekat. “Padahal kalau pakai obat tradisional itu, ngga perlu sampai selama ini di rumah sakit. Kalau gini terus, pernikahan kita bisa ketunda melulu…” jemari telunjuknya menghentikan sendok yang disuapkan ke arah mulutnya. Rangga menyadari sesuatu, mata Silvia menerawang jauh menembus jendela. Rangga menjentikkan jari. Silvia tergeragap dan berpura-pura batuk. Tanpa sengaja ia menjatuhkan sendok, suara dentingannya beradu dengan lantai. Silvia gugup, ia membenahi sisa-sisa bubur yang jatuh ke kasur.
            “Maaf, Rangga… aku ngelamun….”
            Segaris kekecewaaan mengerucut dalam mata Rangga. “Yes I know….”
            “Rangga… aku….”
            “Ya sayang?” suara Rangga kembali lembut. Menghentikan protes yang meledak-ledak dalam diri Silvia.
            Wanita itu menunduk, mengenggam asa yang pedih.
            Rangga aku… mencintai lelaki lain. Aku mencintainya….
***
            Dani berlari menyusuri koridor kampusnya, ia menerabas beberapa mahasiswa yang sedang bermain bola di koridor atau mengabaikan sapaan hangat mahasiswi cantik yang memuja ketampanannya. Dani bergegas, memanjangkan langkahnya demi menggamit lengan seorang Silvia. Gadis itu tersentak, ia takjub melihat lelaki berdada bidang, berambut cepak, dengan gingsul lucu di taringnya, tengah tersenyum padanya seraya menjulurkan sebuah kalung perak dengan bandul tiga tangkai bunga mawar.
            “Apaan, nih, Dan?” Silvia tergelak. “Pagi-pagi udah bikin rusuh aja….”
            “Aku, kan, udah janji… setiap pagi aku bakalan kasih kamu kejutan. Apapun itu. Besok kamu mau apa?”
            Jemari Dani menarik kelingking Silvia. Mata gadis itu nampak jenaka, sengaja diputar-putarkan seolah sedang berpikir keras.”Ngga tahu, ya, mau apa… coba dong sekali-sekali kamu yang bilang mau apa…. Nanti gantian aku kasih. Kamu, kan, udah ngasih banyak barang ke aku… tapi jangan mahal-mahal, ya.” Jawab Silvia setengah manja.
            “Ngga mahal, kok…” Dani memakaikan kalung perak ke leher Silvia. Gadis itu menyibakkan rambutnya. Dani menepuk kepala Silvia lembut. Ditatapnya gadis penuh senyum yang mempesona itu. “Aku cuma ingin kamu putus dari Rangga dan nikah sama aku….”
            Silvia menggeleng spontan. “Ngga bisa, Dan… ngga bisa. Rangga udah baik banget sama aku. Dia tunangan aku dan… dan kita….”
            “Dia baru jadi tunangan kamu Silvia… kita masih punya kesempatan buat bersama. Aku tahu kamu ngga bahagia sama dia….”
            “Aku bahagia!”
            “Lantas sama aku?”
            “Aku juga bahagia….” Silvia tercekat pada pernyataannya. Ya… ia memang bahagia bila berada di antara dua lelaki itu. Silvia berbalik badan dan hendak berlari ke dalam kelas. Memunggungi Dani begitu keras. Namun tangan Dani dengan cekat menariknya hingga tubuhnya terhempas jatuh, kepalanya membentur tiang tembok kampus. Dani spontan mengangkat Silvia. Gadis itu mendorong tubuh Dani menjauh. Dani memeluknya erat, Silvia terengah. Dani segera mengeluarkan sapu tangan putihnya dan menyeka darah di dahi Silvia. Silvia merebut sapu tangan putih itu.
            “Aku ngga apa-apa… minggir… malu dilihatin orang-orang tauk!” Silvia mendorong tubuh Dani. Beberapa orang sudah mengerubungi mereka untuk melihat apa yang terjadi. Dani mengejar Silvia.
            “Silvia maaf sayang… aku ngga sengaja….”
            “Oke… oke… oke… ugh….” Silvia mengerang kesakitan, ia menutupi lukanya dengan sapu tangan. Dani menarik Silvia ke arah ruang kesehatan. Pagi itu, mereka kembali tidak kuliah.
***
            “Sudah berapa lama kita pacaran?” tanya Rangga di teras rumah Silvia malam itu.
            “Tujuh tahun… sejak aku masih SMP dan kamu sudah SMA,” Silvia tersenyum kecil mengingat masa pertama perjumpaan mereka. Rangga merenggangkan tubuhnya lalu mengambil helm di stang motor Pulsar kebanggaannya.
            “Apa tujuh tahun belum cukup meyakinkan dirimu? Bahwa… pernikahan kita ini memang sebuah keniscayaan. Karena nasib sudah menjodohkan kita lewat benang-benang hening yang kita nikmati berdua.”
            “Bukan nasib yang menjodohkan kita tapi Tuhan…. Tuhan juga yang menentukan apakah nanti kita akan menikah atau tidak. Jadi pernikahan kita bukan keniscayaan.”
            “Udah ah… jangan beretorika terus… sekarang jujur sama aku. Siap ngga kamu buat nikah sama aku?”
            Silvia mengatupkan bibirnya sejenak. Bayangan-bayangan tentang Dani seperti berkelebat jauh di atas kepalanya, menumbuk-numbuk kepastian jiwa Silvia. Namun genggaman lembut Rangga mematutkannya pada sebuah anggukan kecil. Sebuah anggukan yang memaksanya untuk memilih. Mencintai Rangga seumur hidup dan meninggalkan nyawa kecil yang bernapas dalam rongga kesetiaannya.
            “Aku harus pulang secepatnya, ada janji sama pemilik percetakan. Besok kamu lihat hasil undangannya, ya… pasti kamu suka.”
            “Ya…” jawab Silvia kecil. Ia menahan urat-urat matanya mengguyurkan curahan tangis. Sebelum akhirnya Rangga menggas motornya kencang-kencang, keluar dari halaman rumah mungil orang tuanya.
            Silvia bersandar pada tiang kayu teras, mengelus bahunya yang digelitiki oleh desau angin malam. Dingin mengiris kesadarannya yang tipis.
            Bolehkah? Bolehkah jika aku memilih Dani?
            Silvia terisak.
            Tapi aku tak mampu kehilanganmu, Rangga… tak sanggup sendiri berjalan…. Selama ini langkah kita begitu nyata.
            Napas Rangga pecah-pecah pada kenangan cinta mereka.
***
            “Tulislah keluhanmu dengan ini….” Dani menyodorkan sebuah pulpen emas yang berharga mahal. Tinta pulpen itu awet dan tak mudah dihapuskan. Silvia meraih pulpen itu dengan sumringah lebar. Ia memekik girang. Hanya dengan Danilah ia bisa lepas, membebaskan segala gejolak jiwa mudanya. Meskipun Dani baru 22 tahun namun ia bisa mengimbangi Silvia. Ialah yang paling mengerti Silvia.
            “Ayo… katanya pengen banget punya tinta emas… ini mahal, lho.”
            “Mentang-mentang orang kaya, sombong… biar mobil kamu aja aku tulisin! Dani gombal! Dani gombal! Hahaha….”
            “Enak aja… baru di cat nih mobil… sini jidat kamu aku tulisin….”
            “Ngga mau!”
            Silvia terbahak-bahak. Tawanya menyeruak. Pecah dibawa oleh kepakan sayap burung gereja. Dani dan Silvia saling berebutan pulpen, berlarian mengelilingi mobil Honda Jazz Dani. Akhirnya pulpen emas itu hanya didekap di dada. Napasnya terengah. Ia masih dalam nuansa tawa.
            “Pulpennya aku simpan aja, ya… siapa tahu berguna….”
            Dani mengangguk. Membiarkan Silvia melakukan apa yang ia suka.
***
            Rangga menyematkan bros melati di kerah kemeja pink yang dikenakan Silvia. Gadis itu tersenyum manis. Ia menatap undangan pernikahan mereka penuh dengan rekahan bibir. Indah sekali undangan itu, membuat siapapun akan berdecak kagum menantikan mewahnya pesta pernikahan mereka.
            “Bagus banget Rangga… tapi ini foto kita dua tahun yang lalu, kan? Kenapa ngga pakai foto yang sekarang?”
            “Soalnya, di foto itu aku hanya melihat diriku di matamu… entah mengapa. Akhir-akhir ini aku tak menemukan bayanganku di matamu.”
            Jantung Silvia berdegup. Ya… tepatnya satu tahun yang lalu. Pancaran cinta itu meredup. Sejak Dani bertemu dengannya di Mall dekat kampus. Sejak Dani menolongnya dari tangan jahil om-om hidung belang. Sejak Dani mengajaknya berkeliling Jakarta dengan bus kota. Sejak Dani membiarkannya bebas, mendengarkan segala keluh kesahnya tentang Rangga dan sejak itulah sejumput rongga setia telah direnggut oleh Dani. Silvia tersenyum ringkih. Rangga menatap mata Silvia dengan pedih.
            Meski diam-diam, Silvia paham bahwa Rangga bukan lelaki bodoh. Ia tahu bahwa Silvia menduakan cintanya dan ia diam. Diam menunggu cintanya kembali penuh kepangkuannya. Rangga tak marah. Silvia terguncang dalam senyumnya.
***
            Ia tuliskan kalimat itu di sapu tangan putih milik Dani. Sapu tangan yang masih menyisakan seberkas darah di keningnya. Ia tuliskan kalimat itu dengan air mata.
            CINTA AKAN MENEMUKAN TEMPATNYA SENDIRI…..
            Cinta akan menemukan tempatnya sendiri….
            “Cinta akan menemukan tempatnya sendiri, Dan….”
            “Tapi cintaku sudah menemukan tempatnya, di hatimu, Silvia!”
            “Tapi hatiku telah diisi oleh Rangga. Begitu lama terisi sampai sesak rasanya membiarkan ia pergi. Aku tak bisa meletakkan dua cinta pada satu tempat, Dan. Maafkan aku… maafkan.”
            “Aku tak bisa menemukan tempat lain untuk cintaku kecuali hati kamu!”
            “Maaf, Dani! Maaf!”
            Silvia menyelipkan sapu tangan itu ke genggaman tangan Dani. Ia lambaikan satu salam perpisahan tanpa kesan. Ia biarkan air mata bebas mengumbar-ngumbar tariannya di udara. Ia sudah cukup tertekan mengambil keputusan ini. Biarlah kini Rangga yang bersarang di jiwanya. Menyuburkan kesetiaannya sebagai wanita. Menjadikannya perempuan yang memegang teguh pada komitmen. Silvia tak mau dimabuk cinta sementara. Ia yakin bahwa Rangga adalah terakhir dan terbaik. Melebihi segala kebaikan yang pernah Dani berikan.
            Dan ternyata….
            Malam itu kembali langit memecahkan mendung. Rintik pasukan langit menghujam jalanan setapak yang dilalui Silvia. Gadis itu beringsut di pinggir sebuah ruko. Ia menekan nomor HP Rangga. Saat ini yang ia butuhkan adalah Rangga.
            “Rangga… Rangga cepet ke sini, ya… aku butuh kamu.”
            “Kamu kenapa, Silvia?” suara Rangga terdesak di ujung saluran. “Kamu dimana?”
“Di depan ruko-ruko deket kampus….”
Silvia mengigil. Rangga bergegas mematikan HP. Ia keluar dari nyamannya balik selimut kamarnya lalu pergi ke garasi dan menyalakan motor Pulsar besarnya. Disambarnya jaket tebal, jas hujan dan helm. Rangga menyalakan mesin, meraung-raung melintasi suara halilintar. Ia gelisah, pandangannya kacau. Mengkhawatirkan cintanya yang terisak.
 Dani menghampiri Silvia dalam derasnya hujan. Tubuhnya basah kuyup.
“Jadi kamu udah milih dia?”
“Iya… maafin aku, Dan….”
“Oke! Oke! Terserah kamu SAYANG! Terserah! Aku emang cowok bodoh yang cuma mengharapkan cinta dari seorang Silvia!”
“Maafin aku, Dan!”
Dani berteriak keras. Memekakkan telinga Silvia. Ia menendang body mobilnya lalu membuka pintu mobil dengan kesal.
“Pulang, Sil… aku anterin kamu pulang.”
“Ngga… aku ngga bisa bikin Rangga terus sedih. Aku udah banyak nyakitin dia. Aku mau malam ini Rangga yang jemput aku pulang!” Silvia setengah berteriak dalam isaknya.
Dani menahan geram, dengan sedikit menyesal ia masuk ke dalam mobil. Memutar kemudi dengan kencangnya. Mobilnya melesat kencang, melaju gelap malam. Silvia memejamkan mata. Ia berharap ketika mata itu terbuka. Ia bisa melihat Rangga datang menghampiri dan memeluknya. Menenangkan ia bahwa semua baik-baik saja. Namun Rangga tak kunjung tiba. Meski mata itu telah lelah oleh air mata.
***
Suara tabrakan yang keras terdengar di sudut kota Jakarta. Sebuah mobil Honda Jazz yang melaju kencang menabrak Pulsar hitam seorang pemuda.
Silvia terhenyak dalam penantiannya. Hatinya berdebar. Ia berlari.
“Silvia! Rangga! Rangga kecelakaan!” suara panik suara di HP membuatnya tak ingin berhenti berlari.
***
“Rangga! Rangga bangun! Rangga bangun!” teriakan pilu Bu Azizah mengguncang nurani terdalam Silvia. Tubuh itu kini beku, berlumuran darah, basah oleh hujan yang mendera. Tubuh Silvia seolah terpasung sebelum akhirnya yang menghamburkan dirinya dalam kubangan darah. Perawat membawa tubuh Rangga ke ruang ICU namun terlambat. Tak ada lagi nyawa bersarang di sana.
Kini napasnya telah pecah-pecah. Benar-benar pecah. Napasnya pecah-pecah di pelipis Silvia. Napasnya terhenti pada emosi Dani yang menghantam Pulsarnya sedemikian hebat. Dan kini lelaki itu harus membujur bisu. Membiarkan cintanya luluh oleh maut.
Silvia menatap Dani, lelaki itu berjalan terseok dengan luka ringan di dahi dan tangannya. Ia meremas sapu tangan putih yang bertuliskan tinta emas ‘Cinta Akan Menemukan Tempatnya Sendiri.’
Dani menitikkan air matanya. “Aku menabraknya, Silvia… sumpah… aku tidak tahu bahwa yang aku tabrak adalah Rangga! Aku tidak tahu! Demi Tuhan aku tak bermaksud membunuhnyaaaa….!!!” Dani mulai histeris.
Silvia tak mengacuhkan jerit penyesalan Dani. Ia melewati tubuh itu tanpa rasa.
Kenapa Tuhan? Kenapa di saat aku letakkan cinta itu… kau merengutnya?
Dua orang berseragam polisi menahan tangan Dani dan menggiringnya menjauhi rumah sakit. Dani berteriak keras, menjelaga hingga ke dasar koridor rumah sakit.
“Silvia! Aku tidak akan mencintaimu lagi… Aku tidak akan mencintaimu lagi! Tapi aku akan menunggumu! Menunggu cintamu di tempatnya! Di hatiku!”
Bahu Silvia naik turun. Napasnya pecah-pecah. Sembilu oleh desakan waktu.
***
Rumah Pena
26 Januari 2010


Pesan penulis :
Nantikan novel terbaru Achi TM berjudul CLOUD(Y)
Diterbitkan oleh Sheila Book, imprint Penerbit Andi. Launching bulan OKTOBER tahun 2012

No comments:

Post a Comment

 
BLOGGER TEMPLATE BY Langit Amaravati